Mengapa Mayoritas Anak Muda di DKI, Aceh, dan Sumut Memilih Menunda Pernikahan?

8 Maret 2024 14:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi menentukan lokasi pesta pernikahan. Foto: YEINISM/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menentukan lokasi pesta pernikahan. Foto: YEINISM/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Angka pernikahan di Indonesia terus menurun ke titik yang paling rendah. Provinsi DKI Jakarta, Aceh, dan Sumatera Utara, tercatat sebagai provinsi yang anak mudanya paling banyak menunda pernikahan.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pemuda yang belum menikah di DKI Jakarta mencapai 80 persen. Sementara di Aceh 75,94 persen dan Sumatera Utara 75,43 persen.
Secara nasional, pemuda yang belum menikah ada di angka 68,29 persen. Tiga provinsi tersebut lebih tinggi dari angka rata-rata nasional.
Pertanyaannya, mengapa anak-anak muda saat ini lebih memilih menunda nikah? Mengapa mayoritas ada di tiga provinsi tersebut?

Perspektif Pilihan Rasional

Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho, menyebut salah satu motif pemuda yang belum nikah bisa jadi karena persoalan finansial. Menurutnya, generasi sekarang tengah menghadapi kondisi ekonomi yang tidak menentu.
"Yang kedua boleh jadi mereka masih memiliki banyak tanggungan. Dulu juga ada survei bahwa generasi muda ini jadi generasi sandwich ya," ungkap Wahyu saat dihubungi kumparan, Jumat (8/3).
Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho. Foto: Dok. Pribadi
Selain itu, kata dia, menunda pernikahan secara sosiologis dapat dilihat melalui perspektif pilihan rasional. Dalam perspektif pilihan rasional, lanjutnya, aktor menentukan pilihan untuk memaksimalkan tujuan.
ADVERTISEMENT
"Nah, dengan dia menunda pernikahan saya kira ada sesuatu yang dituju lebih dahulu. Ada seusatu yang urgent untuk dilakukan terlebih dahulu. Saya kira lebih pada persoalan risiko-risiko yang akan dihadapi. Jadi menunda pernikahan itu juga bisa sebagai upaya untuk mengurangi risiko-risiko ke depan yang akan dihadapi," sambungnya.

Modernitas, Ekonomi, atau Budaya?

Budayawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, menilai pada dasarnya anak muda di Aceh ingin menikah. Selain itu, menurutnya para orang tua di Aceh juga mendorong agar anak-anaknya segera menikah jika sudah siap.
Persoalannya, kata Tarmizi, keinginan tersebut terbentur oleh faktor ekonomi yang sangat dominan. Terlebih, kata dia, masyarakat Aceh menjunjung tinggi Pumeukleh, yaitu adat memisahkan diri dari orang tua jika sudah menikah.
ADVERTISEMENT
"Otomatis kalau mereka sudah menikah membentuk keluarga yang baru, ya. Jadi, tuntutan seluruh kebutuhan hidupnya, kan, harus ditanggung. Nah, faktor tadilah faktor ekonomi yang susah. Kemudian kesempatan kerja yang susah. Kemudian biaya hidup untuk masa sekarang yang sangat berat," ungkapnya.
Budayawan Aceh Tarmizi Abdul Hamid. Foto: Dok. Pribadi
Meski begitu, Tarmizi menampik soal tingginya mahar atau jeulame terkait keengganan untuk menikah. Menurutnya, hal tersebut sebetulnya masih bisa didiskusikan.
"Tidak mampu itu tidak jadi masalah. Yang penting bagi orang Aceh agamanya sesuai dan keturunannya jelas. Itu tidak ada masalah. Kalau memang hakikat daripada menuju pernikahan itu tidak bisa ditunda-tunda bagi orang Aceh. Jadi bukan masalah apakah karena maharnya tinggi sekali," katanya.
Berdasarkan penelusuran kumparan, jeulamee merupakan mahar berupa emas murni yang harus memakai takaran mayam. Satu mayam setara dengan 3,3 gram emas murni. Biasanya jumlah mayam yang harus dibayarkan sekitar 11 hingga 40 mayam. Namun jumlahnya bisa didiskusikan lagi ke keluarga mempelai perempuan. Tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan Aceh di abad ke 16 dan 17.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Tirmidzi, Kepala Batakolog Universitas Nomensen Medan Manguji Nababan, menilai adat bukanlah tembok penghalang bagi anak muda di Sumut menikah. Namun, yang menjadi soal justru adanya gengsi yang berbalut adat.
"Kalau faktor mahar saya kira ada semacam pemahaman yang keliru dari orang Batak. Kalau konteksnya bicara orang Batak memposisikan pelaksanaan adat menjadi gengsi, itu adalah pemahaman yang salah. Karena bagi masyarakt Batak bukan kemewahan materinya untuk melaksankan adat," ungkap Manguji saat dihubungi terpisah.
Kepala Batakolog Universitas Nomensen Medan, Manguji Nababan. Foto: Dok. Pribadi
Menurut Manguji, saat ini adat yang sakral sudah berubah menjadi gengsi yang dipaksakan. Seolah-olah, kata dia, pernikahan yang berhasil adalah pernikahan yang meriah.
"Ada sekarang penyimpangan bahwa harus ada mahar yang banyak. Siapa bilang itu. Dulu tidak begitu. Sekarang masyarakat Batak melaksanakan adat itu sudah cenderung pesta," ungkapnya.
ADVERTISEMENT