Cover Lipsus Saling Tuding di Kanjuruhan

Mengapa PSSI Pantas Disalahkan dalam Tragedi Kanjuruhan (2)

17 Oktober 2022 12:50 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Butuh waktu 13 hari sejak Tragedi Kanjuruhan terjadi bagi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk menyatakan bertanggung jawab seluruhnya atas peristiwa yang menewaskan 132 orang tersebut.
“Sebagai bentuk pertanggungjawaban, hari ini kami bersepakat membentuk task force atau Satgas Transformasi Sepak Bola yang berisi pemerintah, FIFA, AFC, Polri, Kemenpora, Kemendagri, Kementerian PUPR, dan Kemenkes,” kata Ketua Umum PSSI Komjen (Purn.) Mochamad Iriawan di Hotel Fairmont, Jakarta, Kamis (13/10).
Pernyataan PSSI itu keluar sehari sebelum Tim Gabungan Independen Pencari Fakta bentukan pemerintah menyerahkan laporan hasil investigasi soal Tragedi Kanjuruhan kepada Presiden Jokowi, Jumat (14/10), yang menyimpulkan bahwa PSSI ikut bersalah dalam kerusuhan besar di Kanjuruhan.
Saling tuding, siapa salah? Ilustrasi: Adi Wicaksono Prabowo/kumparan
Sebelumnya, para pihak yang terlibat dalam gelaran laga Arema FC versus Persebaya Surabaya itu sibuk menghindar sambil saling lempar tanggung jawab. Para pihak tersebut sebagaimana diungkap Ketua TGIPF Mahfud MD ialah PSSI, PT Liga Indonesia Baru, broadcaster Indosiar, dan Panitia Pelaksana Arema FC.
Salah satu subjek panas dalam aksi saling lempar tanggung jawab itu ialah ihwal jam kick off yang tetap digelar malam pukul 20.00 WIB meski sudah ada permohonan dari Polres Malang agar laga Arema vs Persebaya itu dimulai sore pukul 15.30 WIB karena pertimbangan keamanan.
Menurut anggota TGIPF Rhenald Kasali, PT LIB tetap menggelar laga malam dengan alasan selama ini jadwal sudah sering berubah, sementara perubahan jadwal harus dibicarakan dengan broadcaster dan sponsor.
PT LIB, ujar Rhenald, juga menyebut bahwa pihak broadcaster, yakni Indosiar, meminta agar laga tetap digelar malam karena nilai kontraknya besar.
“... sekitar Rp 230 miliar. Belum lagi BRI [sebagai sponsor] sekitar Rp 100 miliar,” kata Rhenald.
Laga terakhir Arema-Persebaya sebelum Liga 1 ditangguhkan. Foto: Ari Bowo Sucipto/ANTARA
Keterangan PT LIB itu lantas diverifikasi ke sponsor dan broadcaster. Dari pihak sponsor, TGIPF mendapat penjelasan bahwa tak ada klausul penalti apabila terdapat perubahan jadwal Liga 1. Sementara pihak broadcaster mengatakan tak mempermasalahkan jika laga digelar sore karena pertimbangan keamanan.
Dari para pemain bola, TGIPF mendapat keterangan bahwa mereka lebih gelisah main malam ketimbang sore hari. Dan para penonton pun merasa lebih lelah pulang larut malam usai pertandingan berakhir.
“Lalu siapa yang pengin malam hari?” tanya Rhenald.
Dua sumber kumparan yang turut menginvestigasi tragedi di Stadion Kanjuruhan menyebut dugaan pihak broadcaster-lah yang menginginkan pertandingan digelar pukul 20.00 WIB. Alasannya: untuk mengakomodir masuknya iklan rokok sesuai dengan regulasi.
Ilustrasi: REUTERS/Eric Gaillard
Berdasarkan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, iklan produk tembakau (rokok) di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 sampai 05.00 waktu setempat.
Jika total waktu pertandingan, tambahan waktu, dan turun minum berlangsung hingga 2 jam, maka apabila kick off dimulai pukul 20.00, setidaknya menurut sumber ini, iklan rokok bisa tayang di slot 21.30 hingga 22.00 waktu setempat.
“Indosiar bilang memang tidak ada sponsor rokok, tapi pada jam [21.30] itu [iklan rokok bisa] masuk di situ. Sama saja bohong,” kata sumber kumparan.
Sumber kumparan yang lain menguatkan dugaan tersebut. Menurutnya, keuntungan dari perusahaan rokok bukan berupa sponsor, melainkan dalam format penayangan iklan.
Direktur Programming Indosiar Harsiwi Achmad selaku pihak penyelenggara siaran pertandingan Liga 1. Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA
Merespons isu tersebut, Indosiar selaku penayang resmi Liga 1 lima tahun terakhir menampik bahwa selama ini mereka punya sponsor rokok di tayangan Liga 1. Jika pun ada iklan rokok saat program sepak bola, itu karena iklan tersebut sudah dijadwalkan sebelumnya.
“Jadi [iklan rokok] bisa di program apa saja yang tayang di jam tersebut. Yang penting tayang di atas jam 21.30,” kata Direktur Progamming Indosiar Harsiwi Achmad usai dimintai keterangan Komnas HAM, Kamis (13/10).
Ia menekankan bahwa penyelenggaraan pertandingan yang terkait dengan klub, liga, dan panpel, bukanlah wewenang broadcaster. Indosiar menegaskan hanya menerima tayangan pertandingan dari PT LIB dan tidak memproduksi tayangan pertandingan di lapangan atau stadion tempat laga berlangsung.
“Jadwal penayangan dan jadwal pertandingan itu otoritas final ada di PT LIB. Karena LIB adalah operator Liga 1. Satu-satunya operator Liga 1 di Indonesia,” kata Harsiwi.
Dus, ia menandaskan bahwa penyelenggaraan Liga 1 sepenuhnya merupakan tanggung jawab PT LIB.
Foto udara Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (13/10/2022). Foto: Kementerian PUPR
Siwi menjelaskan bahwa draf jadwal pertandingan disusun oleh PT LIB untuk setahun. Draf tersebut kemudian dibagikan ke Indosiar untuk didiskusikan dan disepakati. Jadwal itulah yang menjadi acuan penyelenggaraan pertandingan.
Jika ada perubahan jadwal pertandingan, menurut Siwi, PT LIB bakal mengomunikasikan hal tersebut ke broadcaster. Di situlah terjadi diskusi dan pemberian solusi yang mempertimbangan sejumlah aspek, termasuk konsiderasi apakah broadcaster bakal menayangkan laga atau tidak, atau apakah tayangan tersebut ditaruh di TV atau melalui live streaming di platform vidio.com.
“Selama ini sudah ada 20 perubahan [jadwal] dan itu baik-baik saja. Semua dengan solusi yang baik dengan LIB,” kata Siwi.
Sepanjang 2018–2022, rata-rata perubahan jadwal pertandingan adalah 20 persen, dan menurut Siwi tak ada klausul penalti untuk LIB apabila mengubah jadwal pertandingan. Namun, ia enggan membeberkan nilai kontrak Indosiar dengan PT LIB.

PSSI Sempat Berpangku Tangan

Sebagai asosiasi olahraga tunggal yang berwenang mengatur, mengurus, dan menyelenggarakan seluruh pertandingan sepak bola di Indonesia, PSSI sempat turut lepas tanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan.
Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan (tengah) didampingi Wakil Ketua Iwan Budianto (kanan) dan Sekjen Yunus Nusi tiba untuk dimintai keterangan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (13/10/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Ketua Tim Investigasi sekaligus Exco PSSI Ahmad Riyadh saat diwawancara kumparan pada Jumat (7/10), misalnya, menyalahkan Panpel Arema FC atas dasar Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI 2021.
“Panpel menjamin, membebaskan, dan melepaskan PSSI (beserta para petugasnya) dari segala tuntutan oleh pihak mana pun dan menyatakan bahwa Panpel bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kecelakaan, kerusakan, dan kerugian lain yang mungkin timbul berkaitan dengan pelaksanaan peraturan ini; dan menunjuk petugas keselamatan dan keamanan (safety & security officer),” tulis Pasal 3 nomor (1) huruf d dan e regulasi tersebut.
Ahmad juga membela PT LIB yang menurutnya tak bisa diseret ke dalam pusaran pertanggungjawaban atas tragedi yang menewaskan 132 orang tersebut. Sebab, ada klausul serupa di Manual Liga 1 Pasal 3 ayat (6).
“Klub menjamin, membebaskan, dan melepaskan LIB terhadap segala tuntutan dari pihak mana pun dan menyatakan bahwa klub bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kecelakaan, kerusakan, dan kerugian lain yang mungkin timbul berkaitan dengan pertandingan yang dilaksanakan oleh klub.”
Regulasi-regulasi tersebut terkesan dirancang agar asosiasi dan penyelenggara liga lepas tangan terhadap berbagai kecelakaan yang mungkin terjadi dalam pertandingan.
Menkopolhukam Mahfud MD rapat bersama jajaran PSSI terkait tragedi Kanjuruhan, Selasa (11/10/2022). Foto: Hedi/kumparan
Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris yang ditetapkan Polri sebagai tersangka dalam Tragedi Kanjuruhan ikut mendesak PSSI tak lepas tangan.
“Harus bertanggung jawab juga, terutama Ketua PSSI. Jangan hanya saat klub ini menang, dia beri piala, dia dapat nama. Saat posisi klub ada masalah, dia juga bertanggung jawab secara hukum,” kata Abdul melalui kuasa hukumnya, Taufik Hidayat, Selasa (11/10).
PSSI, berdasarkan kesimpulan TGIPF, juga “tidak melakukan sosialisasi/pelatihan yang memadai tentang regulasi FIFA dan PSSI kepada penyelenggara pertandingan, baik kepada panitia pelaksana, aparat keamanan, dan suporter.”
Sejumlah sporter menggendong korban terluka di stadion Kanjuruhan pada kerusuhan dipertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober 2022. Foto: AFP
Menurut Taufik, banyak suporter Arema yang meninggal dunia dan luka-luka karena gas air mata yang ditembakkan polisi. Dugaan itu diperkuat temuan serupa dari Komnas HAM dan TGIPF. Sebaliknya, Polri melalui Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengeklaim tak satu pun kematian korban disebabkan oleh gas air mata, melainkan karena kekurangan oksigen.
Pasal 19 huruf (b) Statuta FIFA sebenarnya memuat larangan penggunaan gas pengendali huru-hara alias gas air mata di pertandingan sepak bola. Larangan serupa turut diadopsi di Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI 2021.
Aturan larangan penggunaan gas air mata oleh FIFA Foto: Dok. digitalhub.fifa.com
Lantas, kenapa polisi tetap menggunakan gas air mata di Kanjuruhan meski sudah dilarang asosiasi sepak bola internasional dan nasional?
PSSI dan Mabes Polri sebenarnya telah bekerja sama dalam menerbitkan rekomendasi dan/atau pemberian izin, bantuan pengamanan, penegakan hukum, kesehatan dan hubungan luar negeri dalam kegiatan PSSI. Perjanjian kerja sama itu disepakati dan diteken pada 2021 dengan nomor 12/PSSI/VII-2021 dan PKS/27/VII/2021.
Namun, perjanjian tersebut tidak merinci larangan penggunaan gas air mata. Bahkan, frasa “gas air mata” tak ditemukan dalam salinan dokumen perjanjian itu. Meski demikian, PSSI mengeklaim telah menyosialisasikan larangan FIFA itu kepada Kepolisian.
“Dalam setiap workshop, dalam setiap rakor-rakor, [larangan] itu selalu disampaikan karena merupakan bagian dari Statuta FIFA... Tapi dalam MoU antara PSSI dengan Polri, ini tidak dicantumkan secara spesifik,” ujar anggota Exco PSSI Sonhadji usai diperiksa Komnas HAM, Kamis (13/10).
Gas air mata terlihat di selatan lapangan Stadion Kanjuruhan. Foto: Dok. RCBFM Malang
Pada persiapan laga Arema vs Persebaya, penyampaian larangan gas air mata memang sempat disampaikan Kasat Intelkam Polres Malang Iptu Bambang Sulistiyono pada rakor persiapan pengamanan 15 September. Namun, dalam dokumen rakor persiapan pengamanan kedua pada 28 September, tak ada imbauan tersebut.
Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto mengamini bahwa imbauan tak pakai gas air mata sudah disampaikan Polres Malang. Namun, itu bukan karena polisi tahu ada aturan FIFA yang melarang. Imbauan tersebut muncul lantaran ada pengalaman tahun 2018 ketika penggunaan gas air mata menyebabkan banyak orang pingsan dan seorang meninggal dunia.
Memang, Pasal 16 ayat (1) MoU PSSI dan Polri 2021 mengatur bahwa sosialisasi dilakukan para pihak terkait kepada jajarannya, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, guna diketahui dan dilaksanakan di pusat maupun daerah.
Namun, menurut Wahyu, sosialisasi aturan FIFA merupakan tugas dan tanggung jawab PSSI lantaran tak semua polisi dipersiapkan dan dilatih khusus untuk mengamankan pertandingan sepak bola. Bagi polisi, pengamanan pertandingan bola adalah tugas situasional.
“Misalnya polisi mengamankan pemilu, itu kan harus ikut aturan KPU. Yang sampaikan aturannya ya KPU. Sama dengan kasus ini,” kata Wahyu.

Tumpang Tindih Aturan

Komisioner Penyelidikan atau Pemantauan Komnas HAM M. Choirul Anam. Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA
Lebih jauh, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang turut menginvestigasi Tragedi Kanjuruhan mempertanyakan apakah MoU PSSI-Polri tersebut memang sejalan dengan aturan FIFA.
Setelah ditelusuri dalam MoU, ada klausa kesepakatan bahwa Polri memberikan jasa pengamanan kepada PSSI berupa pengerahan kekuatan dan perlengkapan sarana dan prasarana pengamanan (Pasal 7 ayat 1).
Salah satu bentuknya adalah pengamanan yang meliputi tindakan pertama di TKP (menolong korban, mendata saksi, mengamankan barang bukti) dan melaporkan tindak pidana ke kantor polisi terdekat. Khusus kejadian di lapangan hijau, pengamanan dikoordinasikan dengan komite pertandingan (Pasal 7 ayat 2).
Sementara dalam situasi kontingensi berupa konflik sosial maupun kerusuhan massa, PSSI dan Polri secara bersama-sama melakukan upaya penanggulangan dengan kekuatan skala besar di bawah kendali Polri sesuai eskalasi ancaman dengan mengedepankan fungsi pengendalian massa (Samapta) dan penanggulangan huru-hara (Brimob) (Pasal 7 ayat 4).
Aparat keamanan menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan. Foto: Ari Bowo Sucipto/ANTARA
Pengendalian massa dan penanggulangan huru-hara diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 dan Nomor 2 Tahun 2019. Dua beleid tersebut juga menjadi poin perhatian yang dimaktub di MoU PSSI dan Polri.
Pada dua aturan tersebut, ekskalasi ancaman terbagi menjadi hijau (massa tertib), kuning (massa tidak tertib), dan merah (massa sudah melakukan tindakan melawan hukum).
Dalam dua aturan tersebut, terdapat situasi yang memungkinkan polisi menggunakan gas air mata. Misalnya saat massa tidak menghiraukan imbauan atau semakin memuncak aksinya, maka komandan satuan penindakan huru-hara (PHH) memerintahkan pelontar gas air mata melakukan penembakan.
“‘Penembak Gas Air Mata Persiapan’, penembak mengambil posisi sikap salfo ke atas dengan kemiringan senjata sesuai kebutuhan. ‘Awas tembak’ sebanyak sesuai dengan kebutuhan,” tulis lampiran poin 2 Perkap Nomor 2 Tahun 2019.
Cara bertindak dalam PHH juga diatur dalam Pasal 11 Perkap Nomor 2 Tahun 2019. Pertama dilakukan imbauan tiga kali kepada massa. Apabila tak dihiraukan, maka satuan PHH Brimob melakukan: 1. pendorongan massa; 2. penyemprotan air dengan menggunakan water cannon; 3. penembakan gas air mata; 4. pemadaman api bila terjadi pembakaran; 5. penangkapan terhadap provokator atau agitator apabila dipandang perlu; dan/atau 6. pemasangan barikade dengan kawat barier atau auto barricade.
Dalam investigasi open source intelligence kumparan mengenai Tragedi Kanjuruhan pada artikel lipsus yang tayang Jumat (7/10), polisi tak terlihat melakukan penyemprotan dengan water cannon. Setelah beberapa kali mendorong mundur massa ke arah tribun, polisi langsung melontarkan proyektil gas air mata pada pukul 22.08.09 WIB.
Anehnya, dua aturan yang membolehkan polisi menggunakan gas air mata tersebut justru bersanding “mesra” dengan Statuta FIFA yang melarang penggunaan gas air mata. Ketiganya sama-sama termaktub pada poin “memperhatikan” dalam MoU antara PSSI dan Polri tahun 2021.
Oleh sebab itu, dalam temuannya, TGIPF menyebut bahwa selama ini aparat keamanan tak pernah mendapat pembekalan tentang larangan penggunaan gas air mata dalam pertandingan sesuai aturan FIFA.
“Juga tidak ada sinkronisasi antara regulasi keamanan FIFA (FIFA Stadium Safety and Security Regulations) dan Peraturan Kapolri dalam penanganan pertandingan sepak bola,” tulis temuan TGIPF.
Kini, PSSI tak bisa lagi mengelak.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten