Mengenal Hubungan Hak Berdaulat dan Masuknya Kapal Asing di Perairan Indonesia

29 Oktober 2020 19:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KRI Tjiptadi-381 mengikuti sailing pass di Laut Natuna, Rabu (15/1). Foto:  ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
KRI Tjiptadi-381 mengikuti sailing pass di Laut Natuna, Rabu (15/1). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menggelar webinar bertajuk "Hak Berdaulat vs Kapal Asing". Dalam webinar itu, dibahas mengenai dampak UU Cipta Kerja yang di dalamnya mengubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, khususnya ketentuan yang mengatur dapat dibukanya akses bagi kapal ikan asing yang didahului dengan perjanjian perikanan.
ADVERTISEMENT
Webinar ini juga untuk meluruskan pemahaman yang keliru bahwa UNCLOS mewajibkan Indonesia untuk membuka akses bagi kapal ikan asing sebagai pandangan yang keliru.
Yang pertama adalah pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) wajib dilaksanakan dengan mengacu pada UNCLOS karena Indonesia telah meratifikasinya melalui UU Nomor 17 Tahun 1985.
Selain itu berdasarkan Pasal 56 UNCLOS, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengelola sumber daya kelautan, baik yang hidup maupun yang tidak hidup.
"Frasa “hak berdaulat” (sovereign rights) memiliki 2 (dua) makna: (1) Indonesia tidak memiliki kedaulatan (sovereignty) atas Zona Ekonomi Eksklusifnya, yang berarti tidak semua kekuasaan negara dapat berlaku dan dilaksanakan di Zona Ekonomi Eksklusif; (2) Bahwa hak dimaksud bersifat eksklusif dan bukan hak preferensial (didahulukan)," tulis rilis tersebut, Kamis (29/10).
ADVERTISEMENT
"Ini berarti dalam hal Indonesia belum dapat memanfaatkan dengan sepenuhnya sumber daya perikanan di ZEE, di saat ada negara lain yang sebenarnya mampu melakukan hal tersebut, tidak menjadi dasar untuk membuka akses kepada negara yang mampu tersebut."
Tim Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Aceh menahan kapal yang diduga telah melakukan aksi ilegal fishing di perairan Indonesia. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Lebih lanjut, pembukaan akses sumber daya ikan di ZEE kepada pihak asing mengacu pada ketentuan Pasal 51 UNCLOSS mengenai traditional fishing rights dan Pasal 62 UNCLOS mengenai utilization of living resources. Atau melalui mekanisme kerja sama antar negara lainnya seperti yang terjadi antara Indonesia dan Australia (nelayan tradisional Indonesia dapat menangkap ikan di perairan Australia sesuai dengan perjanjian tahun 1974).
Sementara pada Pasal 51 UNCLOS, dijelaskan bahwa Traditional Fishing Rights adalah hak untuk menangkap ikan yang dimiliki nelayan tradisional dari negara tetangga langsung (immediately adjacent) di wilayah perairan sebuah negara kepulauan (archipelagic state) yang wajib dihormati dan diakui oleh negara kepulauan tersebut. Sebab, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional dimaksud telah berlangsung secara terus menerus sejak lampau.
ADVERTISEMENT
"Utilization of Living Resources pada Pasal 62 UNCLOS merupakan prinsip-prinsip pemanfaatan sumber daya perikanan yang wajib dilaksanakan dengan mengacu pada Pasal 61 UNCLOS tentang konservasi sumber daya, Pasal 69 tentang negara yang dikelilingi daratan (landlocked States), Pasal 70 tentang negara yang karena kondisi geografisnya tidak dapat menikmati manfaat dari laut (geographically disadvantaged States)," jelasnya.
Sementara berdasarkan definisinya, Landlocked States adalah negara yang tidak memiliki laut sama sekali misalnya Hungary dan Slovakia. Sedangkan Geographically Disadvantaged States adalah negara yang memiliki laut, namun tidak dapat mengklaim ZEE atau yang bergantung pada sumber daya ikan di ZEE negara lain.
"Contoh dari Geographically Disadvantaged States adalah negara-negara yang memiliki laut tertutup atau semi tertutup seperti negara-negara yang mengelilingi Mediterranean Sea, Black Sea, dan Caspian Sea," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
"Negara yang termasuk dalam kategori landlocked States atau Geographically Disadvantaged States diprioritaskan untuk diberikan akses dalam hal terdapat surplus sumber daya ikan dan telah terpenuhinya berbagai persyaratan lain yang diatur dalam Pasal 62 UNCLOS," lanjutnya.
Kapal Ikan asing BV 92398 TS asal Vietnam yang ditangkap TNI AL di perairan Natuna. Foto: Dok. Istimewa
Sementara untuk membuka akses sumber daya ikan di ZEE bagi pihak asing juga diatur dalam Pasal 62 UNCLOS. Di sana dijelaskan bahwa Negara Pantai (coastal State) wajib memperhitungkan segala faktor yang relevan dan kepentingan nasionalnya sebelum membuka akses tersebut.
Indonesia saat ini sangat membutuhkan sumber daya ikan untuk berbagai kepentingan antara lain: ketahanan pangan, pemberantasan stunting (pertumbuhan anak yang tidak normal), pengembangan ekonomi rakyat, pemenuhan kebutuhan industri, dan berbagai kebutuhan lainnya. Selain itu, isu perikanan berkaitan erat dengan isu keamanan dan geopolitik strategis lainnya, seperti halnya kasus di wilayah Natuna Utara.
ADVERTISEMENT
"Hal-hal ini wajib menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak membuka akses bagi pihak asing untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia," tuturnya.
Selain itu, kapasitas penangkapan ikan Indonesia oleh nelayan asli Indonesia dan perusahaan penangkapan ikan dengan modal 100% Indonesia masih sangat potensial untuk dikembangkan.
Sementara di Australia, Ghana dan Selandia Baru, akses bagi pihak asing tidak dibuka. Hal tersebut diatur secara tegas dalam Australia Fisheries Management Act 1991, Ghana Fisheries Act 625 tahun 2002 dan New Zealand Fisheries Act 1996.
New Zealand pernah mengizinkan kapal berbendera asing beroperasi di wilayahnya dan saat investigasi dilakukan pada tahun 2011, ditemukan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kondisi kerja yang buruk di atas kapal serta keamanan kapal. Sehingga berkaca pada hal tersebut, akhirnya diterbitkan peraturan baru yang melarang operasi kapal ikan asing dan pada akhirnya tingkat kepatuhan menjadi lebih baik setelah larangan diberlakukan.
ADVERTISEMENT

Dampak Pembukaan Akses Bagi Kapal Ikan Asing di ZEE

Di sisi lain, pembukaan akses bagi kapal ikan asing di ZEE akan mendukung berkembangnya armada kapal ikan jarak jauh (distant water fishing fleet) yang operasinya seringkali disubsidi oleh Pemerintah negara bendera. Hal ini bertentangan dengan semangat perundingan penghapusan subsidi berbahaya (harmful subsidy) yang sedang berlangsung di WTO (World Trade Organization),
Sementara implementasi UU Cipta Kerja, khususnya yang berkenaan dengan pembukaan akses bagi kapal ikan asing, wajib dilaksanakan sejalan dengan UNCLOS yang juga telah menjadi hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pembukaan akses yang hanya didasarkan pada perjanjian perikanan antar negara bertentangan dengan UNCLOS dan Conference on the Law of the Sea 1958).
ADVERTISEMENT
Majelis hakim ICJ dalam putusan kasus tersebut berpendapat bahwa, "Nationality is a legal bond, having as its basis a social fact of attachment, a genuine connection of existence, interests and sentiments, together with the existence of reciprocal right and duties…”.
“'Legal bond' artinya terdapat hubungan hukum pasca terbitnya kebangsaan tersebut berupa hak dan kewajiban di berbagai area. Dalam konteks warga negara, contoh-contohnya antara lain kepemilikan atas benda, perlindungan diplomatik, hak sipil pada saat perang, ekstradisi, dan lain-lain," jelasnya.
"Legal bond tersebut dilandasi (having as its basis) dengan sebuah interaksi sosial yang nyata, hubungan kepentingan yang nyata bersamaan dengan hubungan timbal balik hak dan kewajiban. Inilah genuine link itu," lanjutnya lagi.
ADVERTISEMENT
Sehingga meski saat ini Indonesia tidak membuka akses sumber daya ikannya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia bagi pihak asing, ancaman pencurian ikan oleh kapal ikan asing di berbagai Wilayah Pengelolaan Perikanan khususnya yang berbatasan dengan negara lain dan/atau laut lepas sudah sangat tinggi. Membuka akses bagi kapal ikan asing akan memperburuk situasi ini, terlebih lagi anggaran untuk pengawasan di laut berkurang akibat realokasi APBN untuk penanganan COVID-19.
"Pembangunan perekonomian perikanan Indonesia perlu difokuskan dengan memberdayakan sumber daya yang ada di dalam negeri agar kesejahteraan dapat dirasakan langsung oleh rakyat Indonesia," pungkasnya.