Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sudah 10 tahun terakhir ini Istu Prayogi mengurangi aktivitasnya. Semua bermula sejak 2003 silam, ketika ia kerap didera sakit kepala hebat disertai tersumbatnya pernapasan. Awalnya, Istu mengira keluhan itu disebabkan sinus.
ADVERTISEMENT
Tetapi, hasil pemeriksaan mematahkan dugaannya. Enam tahun bolak-balik beberapa rumah sakit, diagnosis pasti baru diperoleh pada 2009. Tes laboratorium menunjukan ada masalah di sistem pernapasan Istu.
“Dokter bilang paru-paru crowded,” ujarnya kepada kumparan. Vonis itu membuatnya bingung. “Saya selama ini tidak pernah merokok, kalau lingkungan juga bisa dilihat bersih.”
Paru-paru Istu, menurut dokter, sensitif terhadap udara kotor. Tak ada obat untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Dia hanya diberi semacam cairan semprot hidung yang digunakan bila penyakit tersebut kumat. Tak cuma mengurangi aktivitas, sejak itu pria berusia 54 tahun ini juga harus mengenakan masker tiap berada di luar ruangan.
Istu pun akrab dengan obat yang tiga kali sepekan diminum untuk mencegah sakitnya kambuh. Sakitnya sempat kumat ketika dia mengikuti seleksi pemilihan komisioner Komisi Pemilihan Umum Pusat pada 2014.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang yang sensitif terhadap udara kotor, Istu tergerak bergabung mengajukan gugatan warga negara (citizen law suit) mempersoalkan polusi udara di Jakarta . Terlebih, Pria yang berdomisili di Depok ini tiap hari bekerja di Jakarta.
Inisiator gugatan merupakan Koalisi Gerakan Bersihkan Udara, yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Pengacara publik dari LBH Jakarta, Ayu Ezra Tiara, menilai Pemprov DKI lalai menjalankan fungsi dan tugas pengendaliannya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pencemaran Udara.
Alhasil, banyak warga yang beraktivitas di Jakarta menjadi korban. Ini pula sebabnya, gugatan warga negara dipilih sebagai instrumen menggugat pemerintah. Untuk menjaring calon penggugat, LBH Jakarta membuka pendaftaran secara online yang dibuka 14 April-14 Mei 2019.
ADVERTISEMENT
“Kita mengajak masyarakat luas yang merasa pemerintah telah lalai memenuhi hak atas kesehatan dan lingkungan sehat (menggugat),” kata Ayu.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Green Peace Indonesia, Didit Haryo, mengungkapkan buruknya kualitas udara di Jakarta. Organisasinya merupakan salah satu anggota Koalisi Gerakan Bersihkan Udara. Data yang dikumpulkan Greenpeace menunjukan kualitas udara di Jakarta selama rentang Januari-September 2017 memprihatinkan.
Hanya 23 hari di Jakarta Pusat yang bisa dikategorikan sehat dari total 365 hari dalam satu tahun. Sementara jumlah hari dengan udara sehat di Jakarta Selatan lebih sedikit, hanya 11 hari. Tolok ukurnya mengacu pada United States Air Quality Index.
Dari sekian banyak polutan di udara Jakarta, menurut Didit, jenis PM(particulate matter)2,5 dianggap paling mengkhawatirkan. Selain keberadaannya sulit terdeteksi, dampak yang diakibatkannya pun bisa fatal.
ADVERTISEMENT
Bila masuk ke dalam tubuh, PM2,5 akan terakumulasi dan dalam jangka panjang berpotensi memicu penyakit seperti strok, jantung dan paru-paru. “Biasanya terbawa dalam darah dan menyerang organ terlemah,” kata Didit. Bagi ibu hamil, konsentrasi PM2,5 yang tinggi bisa mengganggu tumbuh kembang janin.
PM2,5 merupakan polutan berukuran 2,5 mikrometer ke bawah. Saking kecilnya, tubuh manusia tak mampu menyaring partikel ini. Bahkan, kata Didit lagi, masker yang biasa dikenakan masyarakat tak cukup ampuh mencegah PM2,5 terhirup. Perlu masker khusus jenis N95 untuk menyaring partikulat ini.
Konsentrasi PM2,5 di udara Jakarta, berdasarkan temuan Greenpeace Indonesia, cenderung meningkat tiap tahun. Indikatornya bisa dilihat dari data pemantauan kualitas udara pada dua sensor yang dimiliki Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Pada 2017, rata-rata tahunan kadar PM2,5 di Jakarta Selatan mencapai 26,9 mikrogram/meterkubik atau µg/m3.
ADVERTISEMENT
Angkanya melonjak menjadi 42,2 µg/m3 di tahun berikutnya. Data dari alat pemantau di Jakarta Pusat juga menunjukan peningkatan. Konsentrasi rata-rata PM2,5 pada 2017 ada di angka 27,6 µg/m3. Sementara data 2018 menunjukan kenaikan menjadi 37,5 µg/m3. Konsentrasi PM2,5 di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat selama dua tahun itu jauh melampaui batas.
Bila mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 41/1999, baku mutu kandungan PM2,5 tahunan tak lebih dari 15 µg/m3. Artinya, kadar PM2,5 di Jakarta pada 2017 dan 2018—berdasarkan alat pantau Kedutaan Besar Amerika Serikat—sudah lebih dari dua kali lipat ambang batas yang ditetapkan.
“Paparan PM 2.5 jika terus dibiarkan, berdasarkan riset kita bersama Harvard menyebabkan 6.500 kematian dini setiap tahunnya” ujar Didit.
ADVERTISEMENT
Buruknya polusi udara menempatkan Jakarta di peringkat kesepuluh dalam daftar ibu kota dengan udara paling tercemar di dunia yang disusun IQAir pada 2018. Berdasarkan laporan bertajuk ‘Kualitas Udara Dunia’ itu, Jakarta berada di posisi pertama paling terpolusi PM2,5 di Kawasan Asia Tenggara.
Kepala Laboratorium Lingkungan Provinsi DKI Jakarta, Diah Ratna Ambarwati. mengungkapkan Pemprov DKI baru memasang alat pemantau PM2,5 pada awal 2019. Pasalnya, partikel terkecil yang diatur pemerintah untuk menentukan indeks standar pencemaran udara selama ini hanya sampai PM10.
Itu sebabnya, selama ini Pemprov menganggap kualitas udara di Jakarta baik-baik saja. “Begitu kita pasang PM2,5, waduh (buruk) begini,” ungkap Ambar. “Saya lihat sudah melebihi baku mutu.” Data tersebut selama ini tidak disampaikan ke publik lantaran belum ada kewajiban pemerintah daerah mempublikasikan hasil pengukuran PM2,5.
ADVERTISEMENT
Karena Indonesia belum punya standar baku pencemaran PM2,5, Pemprov DKI sementara menggunakan United States Air Quality Index sebagai patokan. Ambar berpendapat, Indonesia harus punya standar baku mutu PM2,5 sendiri. “Kita kan karakteristiknya berbeda, jadi rumus itu harus kita lihat lagi,” ia berujar. Sebagian besar PM2,5, menurutnya, berasal asap pembuangan kendaraan bermotor.
Gubernur DKI Anies Baswedan juga tak menampik buruknya kualitas udara Ibu Kota. Ia malah mengapresiasi rencana gugatan yang akan dilayangkan. Mantan Menteri Pendidikan ini berjanji akan membuat payung regulasi untuk mengendalikan pencemaran udara.
Hanya saja, Anies belum mau menjabarkannya dengan rinci. “Saya enggak mau umumkan kebijakan parsial. Kalau sudah lengkap semua baru kami umumkan,” katanya. Secara lebih spesifik, menurut Anies, regulasi DKI akan mengatur sumber polusi yang berasal dari kendaraan bermotor. Bila tak ada aral, implementasinya akan berlaku pada 2020.
ADVERTISEMENT
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru mengklaim tren kualitas udara di Jakarta makin membaik. Menurut Direktur Pengendalian Pencemaran Udara, Dasrul Chaniago, enam tahun yang lalu hanya ada empat hari udara baik di Jakarta dalam setahun. Pada 2018, Jakarta memiliki 34 hari baik dan 189 hari kurang sehat serta sisanya sedang.
Gugatan soal polusi udara Jakarta tak cuma menyasar Gubernur Anies Baswedan. Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Jawa Barat, serta Gubernur Banten, juga masuk dalam daftar tergugat.
“(Sebab) kalau kita bicara udara nggak bisa plot ke satu provinsi. Pasti akan berpengaruh pada provinsi sekitarnya dan udara itu kan mengalir, terbawa angin segala macam, itu salah satu penyebabnya,” papar Pengacara publik dari LBH Jakarta Ayu Ezra Tiara.
ADVERTISEMENT
Data terakhir pada Rabu (24/4), tercatat ada 23 orang yang mendaftar sebagai calon penggugat polusi udara di Jakarta. Selanjutnya, kelayakan mereka akan diverifikasi. Kendala terbesarnya, kata Ayu, adalah membuktikan penyakit yang dialami para penggugat diakibatkan paparan polusi udara di Jakarta .
Calon penggugat seperti Istu Prayogi punya harapan besar gugatan itu dikabulkan hakim. Ia ingin kualitas udara di Jakarta semakin baik.
Simak ulasan lengkap konten spesial Menggugat Polusi di Jakarta di kumparan dengan topik Polusi Udara Jakarta