Konten Spesial Ilustrasi Anies membendung banjir

Menguji Strategi Anies Atasi Banjir Jakarta

9 Mei 2019 14:25 WIB
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Anies membendung banjir Foto: Argy Pradipta /kumparan
Dengan kontur geografis datar dan dilalui 13 aliran sungai, Jakarta punya semua syarat untuk menjadi kota rawan banjir. Air yang menggenangi 37 titik pada akhir April 2019 lalu menjadi penegasan bahwa Ibu Kota belum bebas dari ancaman banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI mencatat peristiwa itu mengakibatkan dua orang meninggal dan 1.539 orang mengungsi.
ADVERTISEMENT
Sorotan publik tertuju kepada orang nomor satu di Ibu Kota, Anies Baswedan. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, bagaimana pun ia dianggap yang paling bertanggung jawab. Beberapa hari setelah banjir surut, Anies mencoba meyakinkan bahwa rencana Pemprov untuk mengatasi banjir sudah di jalur yang tepat.
Infografik banjir Jakarta dalam angka Foto: Putri Arifira/kumparan
“Naturalisasi kita jalankan. Bahkan 2019 nanti kita sudah jadi hasilnya akhir tahun ini, insyaallah sudah selesai,” ujar Anies di Monas, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (2/5) lalu.
Naturalisasi di sini merujuk jurus Anies untuk mengatasi problem aliran sungai di Jakarta. Sederhananya, ia ingin daerah aliran sungai kembali ke fungsi asal sebagai wilayah penyerapan air. Bila air terserap ke dalam tanah, aliran air di permukaan yang bisa menyebabkan banjir diharapkan bisa berkurang.
ADVERTISEMENT
Solusi ini berbeda dengan pendekatan normalisasi sungai yang selama ini diterapkan gubernur-gubernur sebelumnya. Dengan normalisasi, pinggiran sungai diperlebar kemudian dibeton untuk meningkatkan kapasitas debit air. Konsekuensinya, aliran air dipermukaan semakin cepat dan tak bisa terserap tanah.
Suasana Sungai Ciliwung yang meluap dan merendam pemukiman di Kampung Pulo, Jakarta, Selasa (6/2). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Pemprov DKI baru merampungkan aturan tata laksananya melalui pengesahan Peraturan Gubernur nomor 31 tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi. Regulasi itu diteken 1 April 2019 lalu. Belum jelas kapan realisasi program naturalisasi sungai dimulai.
Henry Albar, Kabid Aliran Barat Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI, hanya menjelaskan naturalisasi akan dilakukan secara bertahap. Pendekatan naturalisasi, menurutnya, tak lantas membuat Pemprov DKI alergi dengan betonisasi daerah aliran sungai.
ADVERTISEMENT
“Kalau kondisi di situ kiri kanannya tebing, ini kan harus diperkuat dengan beton,” kata dia. Naturalisasi juga akan dilakukan dengan selektif. “Tidak semua sungai akan dinaturalisasi. Lihat kondisi di lapangan, tapi kita mengarah ke sana (naturalisasi). Sifatnya situasional.”
Anak-anak bermain layangan di atas turap beton yang terbengkalai di Kali Ciliwung, kawasan Rawajati, Jakarta Selatan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Henry menegaskan, pendekatan Pemprov DKI kini lebih ramah lingkungan. Yang menjadi soal sekarang justru ketersediaan lahan. Naturalisasi sungai butuh ruang di daerah aliran sungai, yang diperkirakan dua kali lebih lebar dari pendekatan betonisasi.
Ilustrasinya begini: bila normalisasi memerlukan lebar lahan 30 meter dari pinggir sungai, maka normalisasi butuh lahan 60 meter. Masalahnya jadi rumit karena Pemprov DKI meminimalisasi penggusuran warga di bantaran kali
“Yang sifatnya penggusuran-penggusuran itu kita hindari,” ungkap Henry. “Mungkin ada (penggusuran) sedikit, tapi hanya untuk (warga) yang bisa diajak berkompromi. Intinya kita tidak menggusur secara masif.”
ADVERTISEMENT
Posisi itu menyebabkan Pemprov DKI berada dalam dilema. Nirwono Joga berpendapat pengambil alihan lahan di daerah aliran sungai merupakan keniscayaan proses penataan, tak peduli naturalisasi atau normalisasi. Peneliti Pusat Studi Perkotaan ini menilai, Anies tersandera janji berkampanye tak akan melakukan penggusuran.
“Gubernur tidak mau mengambil risiko itu. Karena pasti ini kan nanti akan mendapatkan resistensi dari warga. dan ini tentu urusannya dengan politik,” kata Nirwono.
Ia juga mengkritik keberadaan penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Hal itu, menurutnya, justru meningkatkan risiko warga mengalami banjir. Sebab, banjir yang paling sering terjadi di Jakarta justru disebebkan air kiriman dari hulu.
Sejumlah anak bermain air banjir yang merendam kawasan permukiman penduduk Cililitan Kecil, Jakarta, Jumat (26/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Bila curah hujan di hulu tinggi, debit air sungai yang mengalir di Jakarta akan melebihi kapasitas sungai. Sementara, kontur geografis Jakarta yang relatif datar tidak memungkinkan air mengalir secara alami dengan cepat. Arus yang tersendat membuat air dari sungai luber ke permukiman di sekitar sungai—fenomena yang kerap disebut sebagai banjir kiriman.
ADVERTISEMENT
“Kata-kata banjir ini muncul kalau di dekat bantaran sungai itu ada permukiman. Air sungainya meluap, kemudian dia menggenangi permukiman berikutnya banjir,” ungkapnya
Persoalan lain yang muncul, kata Nirwono, adalah tak satu suaranya pemerintah pusat dan pemprov DKI soal penataan sungai. Saat pemprov DKI mulai menekankan ke naturalisasi, pemerintah pusat masih mendorong normalisasi. Alhasil, proyek normalisasi sungai yang telah berjalan di empat sungai yang mengalir di Jakarta mandek.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di perayaan hari Ciliwung. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pangkal masalahnya, pemerintah pusat mengandalkan pemprov DKI untuk melakukan pembebasan lahan. Ketika pembebasan lahan tak dilakukan, praktis proses normalisasi di empat sungai juga ikut tersendat.
“Yang kalau kita lihat rata-rata progressnya 30 sampai 50 persen, sementara masih ada sembilan sungai belum tersentuh” kata Nirwono. Padahal menurut hitung-hitungannya, bila per tahun Jakarta mampu merevitalisasi satu sungai, Jakarta bisa terhindar dari banjir ‘kiriman’ dalam waktu 13 tahun.
ADVERTISEMENT
Tetapi, pekerjaan rumah Anies Baswedan tak cuma mengatasi banjir ‘kiriman’ yang merupakan imbas curah hujan tinggi di daerah penyangga Ibu Kota. Banjir lokal juga perlu diantisipasi. Hujan lokal dengan intensitas curah hujan tinggi pernah terjadi pada 2017 dan menyebabkan banjir besar di Jakarta.
Langkah antisipasi Pemrov DKI adalah dengan program membangun drainase vertikal. Gubernur Anies Baswedan menargetkan Jakarta punya 1,8 juta drainase vertikal. Sebagai langkah awal, Anies mewajibkan drainase vertikal dibangun di lahan milik pemerintah melalui Instruksi Gubernur nomor 131 tahun 2018.
Selain untuk mencegah banjir, drainase vertikal juga bisa berfungsi untuk menampung air agar terserap tanah. “Seperti membuat sumur, yang diameternya bisa satu meter dengan kedalaman tiga sampai empat meter. Prinsipnya, air hujan di permukaan masuk lagi ke sumur itu. Di sumur itu lahannya tidak dicor, jadi bisa menyerap lagi ke tanah,” kata Henry Albar.
ADVERTISEMENT
Namun, strategi ini dinilai belum memadai untuk mengatasi banjir yang disebabkan hujan lokal. Yang menjadi persoalan, drainase vertikal, hanya berdampak di wilayah lingkungan kecil setingkat RT atau RW. Dalam konteks semua kota, Nirwono berpendapat, Jakarta butuh daerah resapan air yang besar.
Suasana di Kali Ciliwung, kawasan Rawajati, Jakarta Selatan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ia mencontohkan Jepang dan Singapura. Dua negara itu punya hutan kota yang sewaktu-waktu bisa dialiri air di musim hujan. Taman yang luas, kata dia, akan dibiarkan tergenang air. “Toh pada musim hujan enggak ada kan orang yang main ke taman,” ujar Nirwono. Lahan taman di Jepang dan Singapura dilengkapi pula dengan kolam penampungan air. Dengan demikian, air meresap secara alami ke dalam tanah
Ironisnya, lanjut dia, pertumbuhan daerah resapan air di Jakarta sangat lambat. Tengoklah data ketersedian ruang terbuka hijau di DKI. Pada tahun 2000, luasnya 9 persen dari total wilayah. Di tahun 2019, Jakarta cuma punya 9,98 persen wilayah yang bisa dikategorikan ruang terbuka hijau.
ADVERTISEMENT
"Berarti dalam dalam waktu hampir 20 tahun, penambahan satu persen saja enggak bisa," kata Nirwono. Sementara pada waktu yang sama, penambahan pusat perbelanjaan dan apartemen melebihi angka satu persen. Nirwono bahkan memprediksi angkanya tembus tiga persen.
Bagi Nirwono rumusnya mudah saja untuk menekan kejadian banjir di Jakarta. Ada lima langkah yang ia sarankan, yakni rehabilitasi saluran air; revitalisasi menyeluruh situ, danau, embung dan waduk; penataan bantaran sungai; pembangunan ruang terbuka hijau; dan pelibatan masyarakat membangun sumur resapan di halaman rumah.
Masalahnya tinggal konsitensi Pemprov DKI menjalankannya. Selama ini, menurut Nirwono, belum ada gubernur yang bisa konsisten mengawal lima langkah itu. “Daripada kita bingung dengan gonta-ganti nama, gonta-ganti konsep malah enggak jalan-jalan,” keluhnya.
ADVERTISEMENT
Simak ulasan lengkap jurus Anies mengatasi banjir di Jakarta dengan ikuti topik Anies Membendung Banjir
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten