Menimbang Hukuman Mati untuk Edhy Prabowo dan Juliari Batubara

18 Februari 2021 6:59 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Juliari P Batubara dan Edhy Prabowo. Foto: Kemensos RI dan Fahrian Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Juliari P Batubara dan Edhy Prabowo. Foto: Kemensos RI dan Fahrian Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
Edhy Prabowo dan Juliari Batubara merupakan dua eks menteri yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK dan kini dibui. Keduanya sama-sama menerima suap saat Indonesia sedang melawan pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dalam jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan 100.000 dolar AS terkait izin ekspor benih lobster. Adapun Juliari diduga menerima suap senilai Rp 17 miliar dari fee pengadaan bansos sembako untuk warga terdampak COVID-19.
Keduanya sejauh ini baru disangka melanggar pasal penerimaan suap dengan ancaman maksimal penjara seumur hidup. Juliari dan Edhy Prabowo masing-masing dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor.
Kondisi ini membuat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej alias Prof Eddy, menilai Juliari dan Edhy layak dituntut hukuman mati. Menurut Eddy, mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman maksimal pada pidana mati.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, saat konferensi pers hentikan kegiatan FPI, Rabu (30/12). Foto: Youtube/Kompas TV
"Yang pertama, mereka melakukan kejahatan itu dalam keadaan darurat, dalam konteks ini adalah COVID-19," ujar Eddy dalam diskusi daring 'Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi' di FH UGM, Selasa (16/2).
ADVERTISEMENT
"Dan yang kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatan. Jadi, dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi," sambungnya.
Berikut isi Pasal 2 UU Tipikor:
Ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ayat (2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
ADVERTISEMENT
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Apakah KPK berani?
Plt juru bicara KPK, Ali Fikri, menyatakan, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor memang mengatur ancaman mati bagi pelaku yang korupsi saat bencana. Namun, penerapan hukuman mati bisa dilakukan apabila seluruh unsur dalam Pasal 2 ayat (1) terpenuhi.
Ali menegaskan, penanganan perkara kasus ekspor benih lobster dan bansos saat ini baru mengusut pasal suap. Perkara yang diawali dari proses OTT selalu menggunakan delik pasal suap, sementara hukuman mati ada di pasal berbeda.
ADVERTISEMENT
Namun, ia mengaku tak menutup kemungkinan pengembangan kasus dilakukan untuk menjerat tersangka dengan pasal lainnya, termasuk Pasal 2 ayat (2).
"Pengembangan sangat dimungkinkan seperti penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor bahkan penerapan ketentuan UU lain seperti TPPU," kata Ali.
"Kami tegaskan, tentu sejauh ditemukan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk penerapan seluruh unsur pasal-pasal dimaksud," tuturnya.
Lebih efektif dimiskinkan
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Zaenur Rohman, menilai, ancaman pidana mati dapat dijerat kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.
"Dalam konteks bencana, yaitu bencana alam nasional. Bencana alam nasional itu ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa diberi status bencana alam nasional," kata Zaenur.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk bencana nonalam, meski bersifat nasional, kasus tersebut dinilai tidak dapat diancam pidana mati. Sedangkan, pandemi corona masuk dalam bencana nonalam.
Terlebih, kata Zaenur, kedua mantan menteri itu baru dijerat dengan pasal suap yang ancaman hukumannya berbeda.
"Dalam konteks Juliari dan Edhy Prabowo, ada dua hal yang menjadi syarat tidak terpenuhi. Yang pertama, pasal 2 ancaman pidananya sangkaan pidananya pasal 2 Undang-Undang Tipikor itu tidak dipenuhi karena yang diancamkan dua eks menteri ini suap atau gratifikasi," katanya.
"Dan yang kedua, bencananya bukan merupakan bencana alam nasional tapi bencana non-alam nasional. Aspirasi dari publik, kegeraman publik terhadap perilaku korupsi di saat situasi bencana seperti ini itu hal yang wajar karena memang perbuatan korupsi tersebut sangat melukai perasaan keadilan di saat masyarakat sedang kesusahan para pejabat negara malah melakukan korupsi terlebih dana bantuan untuk menghadapi tersebut," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Zaenur menilai hukuman berat yang mungkin dilakukan ialah dengan dimiskinkan. Caranya dengan melakukan pengembalian harta hasil kejahatan atau asset recovery.
"Tentu di sini KPK perlu mengoptimalkan Undang-Undang atau pasal-pasal TPPU Tindak Pidana Pencucian Uang karena kan ada dugaan uang hasil kejahatan dua korupsi ini diduga mengalir ke banyak pihak terus di-tracking KPK kemudian seluruh harta hasil kejahatan itu harus disita begitu," katanya.
"Meskipun dalam suap belum tentu ada kerugian negara. tapi dalam konteks kejahatan ini, uang hasil kejahatan jangan sampai dinikmati. Cara memiskinkan dengan TPPU," ujar dia.
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Penjara seumur hidup?
Indonesian Corruption Watch (ICW) juga buka suara terkait opsi tersebut. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyatakan pihaknya memahami masyarakat yang menginginkan agar dua tersangka tersebut dapat dituntut hukuman mati.
ADVERTISEMENT
Namun, ia menyebut, ketentuan soal ancaman hukuman mati terdapat dalam Pasal 2 UU Tipikor. Sementara Juliari dan Edhy o baru dijerat dengan pasal suap.
Menurut Kurnia, ada hukuman yang dinilai akan lebih efektif bila dijeratkan kepada kedua mantan menteri itu.
"ICW beranggapan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi lebih tepat jika dikenakan kombinasi hukuman berupa pemidanaan penjara maksimal serta diikuti pemiskinan koruptor," kata Kurnia.
Sementara untuk dimiskinkan, ICW menilai KPK dapat menerapkannya dengan membebankan uang pengganti atau menjerat keduanya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut ICW, praktik hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu, ICW menyebut, belum ditemukan adanya korelasi konkret pengenaan hukuman mati dengan menurunnya jumlah perkara korupsi di suatu negara.
ADVERTISEMENT
"ICW berpandangan, untuk saat ini, lebih baik fokus perhatian diletakkan pada penanganan perkaranya saja," kata Kurnia.
Misalnya, kata dia, untuk perkara yang menjerat Juliari Batubara, alih-alih mengenakan Pasal terkait Kerugian Negara, sampai saat ini saja KPK seperti enggan atau takut untuk memproses atau memanggil beberapa orang yang sebenarnya berpotensi kuat menjadi saksi.
"Maka dari itu, daripada berbicara mengenai tuntutan hukuman mati, lebih baik pemerintah mendorong agar KPK berani untuk membongkar tuntas dua perkara tersebut," tuturnya.