Menimbang Pernyataan Mendagri tentang Pemberhentian Kepala Daerah

21 November 2020 9:00 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat launching Gerakan 26 Juta Masker se-Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Malang. Foto: Dok. Kemendagri
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat launching Gerakan 26 Juta Masker se-Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Malang. Foto: Dok. Kemendagri
ADVERTISEMENT
Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, yang mengancam mencopot kepala daerah yang tidak menegakkan protokol corona menimbulkan polemik. Tito mengingatkan soal adanya sanksi pemberhentian kepala daerah, merujuk pada Pasal 78 UU Pemda.
ADVERTISEMENT
Tito kemudian mengeluarkan instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 yang ditujukan bagi kepala daerah agar disiplin menerapkan protokol kesehatan di wilayahnya masing-masing. Soal kemungkinan pemberian sanksi pemberhentian juga dicantumkan dalam Instruksi Mendagri ini.
Anggota Komisi II DPR Fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid, menilai upaya Tito tersebut sudah cukup bagus, namun sanksi pemberhentian kepala daerah harus dikaji lagi.
"Jadi kita hargai semangat Mendagri untuk menegakkan hukum dalam prokes demi terjaganya kesehatan dan keselamatan rakyat dari COVID-19," kata Sodik.
Sodik Mujahid, Politikus Gerindra. Foto: Ferio Pristiawan/kumparan
"Hanya jika ada regulasi apalagi dalam bentuk Inpres bisa memecat kepala daerah, ini harus dikaji dengan lebih cermat dasar konstitusi dan regulasinya," tambahnya.
Sodik menjelaskan, berbeda dengan menteri yang dipilih presiden, kepala daerah adalah jabatan politik yang diraih melalui pemilihan umum. Sehingga, pemecatannya tidak bisa dilakukan begitu saja, harus melalui proses di DPRD.
ADVERTISEMENT
Sementara Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, berpandangan Instruksi Mendagri tak bisa dijadikan dasar memecat kepala daerah.
Menurut Yusril, Inpres, Instruksi Menteri merupakan perintah tertulis dari atasan kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Yusril Ihza Mahendra (tengah) saat konferensi pers terkait putusan MK. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sehingga, jika Inpres apalagi Instruksi Menteri dilanggar, tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran UU.
"Bahwa di dalam Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu ada ancaman kepada Kepala Daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol Kesehatan, hal itu bisa saja terjadi. Namun proses pelaksanaan pemberhentian Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," ucapnya.
Yusril menjelaskan, semua proses pemberhentian kepala daerah harus mengacu UU Pemda yakni melalui DPRD.
ADVERTISEMENT
Adapun Pakar Hukum Tata Negara lainnya, Refly Harun, mengatakan pemberhentian kepala daerah tak serta merta bisa dilakukan begitu saja. Sebab, ada proses yang harus dilewati dengan melibatkan sejumlah pihak mulai dari DPRD hingga Mahkamah Agung (MA).
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Haru. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Pemberhentian kepala daerah itu ada syarat-syaratnya. Harus proses hukum yaitu putusan Mahkamah Agung, enggak bisa ujug-ujug begitu saja. Jadi kalau memberhentikan kepala daerah itu pertama ada proses politik dan hukum yaitu penggunaan hak-hak politik DPRD," kata Refly.
Di tingkat DPRD pun harus melalui sejumlah tahapan untuk diputuskan bersama melalui hak wakil rakyat. Tidak bisa dengan kesimpulan pemberhentian kepala daerah begitu saja. Jika proses di DPRD diselesaikan dengan lancar maka tahapan selanjutnya ada di MA.
ADVERTISEMENT
"Kalau setelah proses hak menyatakan pendapat atau memberhentikan gubernur misalnya, hak menyatakan pendapat kan bisa didahului dengan hak angket misalnya baru kemudian disampaikan kepada Mahkamah Agung," ujarnya.
Dukungan Hamdan Zoelva sebagai capres 2019. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, menyatakan instruksi Mendagri yang menyebut pemerintah bisa langsung memberhentikan kepala daerah karena tak menjalankan protokol kesehatan tidak bisa dilakukan.
"Mendagri tidak bisa memberhentikan kepala daerah. Pemberhentian harus melalui proses panjang di DPRD dan diputuskan oleh Mahkamah Agung," kata Hamdan.
Ia kemudian merujuk UU Pemda seperti yang disebut Tito, bahwa seorang kepala daerah dapat diberhentikan dengan alasan tertentu. Namun, harus ada serangkaian proses di tingkat DPRD dan MA, yakni pansus angket atau hal interpelasi.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sedangkan politikus PKS, Hidayat Nur Wahid, menilai ancaman pemberhentian kepala daerah bersifat tendensius dan politis.
ADVERTISEMENT
Hidayat menilai pernyataan Tito keluar setelah adanya kerumunan massa terkait Habib Rizieq Syihab maupun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Dan tidak perlu disertai dengan ancaman pemberhentian yang bikin gaduh, pecah konsentrasi atasi COVID-19, karenanya kontraproduktif, tendensius dan terkesan politis,” ujar Hidayat.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini menilai, toh banyak kerumunan massa yang terjadi sebelumnya tapi tidak ada pernyataan soal pemberhentian kepala daerah.
Anies dan Tengku Zulkarnain bertemu Habib Rizieq. Foto: Instagram/@tengkuzulkarnain.id
“Sudah banyak sebelumnya terjadi kerumunan massa di banyak provinsi terkait demonstrasi-demonstrasi menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pengajian/peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, apalagi terkait Pilkada baik pendaftaran maupun kampanye," kata Hidayat.
"Bawaslu malah mencatat adanya 1.315 pelanggaran. Tapi tidak dari dulu instruksi Mendagri itu dikeluarkan, padahal masalahnya ada dan keperluannya juga ada,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, lanjut Hidayat, ketidakadilan yang ditunjukkan Tito terkesan menyasar Anies Baswedan dan Habib Rizieq.