Menyoal Penonaktifan 75 Pegawai KPK yang Tak Lolos Tes ASN

13 Mei 2021 6:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status dari pegawai menjadi ASN kini telah dinonaktifkan. Keputusan tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak yang mengkritik dan mempertanyakan TWK yang dinilai bermasalah dan tak ada hubungannya dengan pemberantasan korupsi tersebut. Bahkan, ada yang menyebut TWK sebagai alat untuk menyingkirkan pihak-pihak tertentu.
Salah satu dari 75 pegawai yang dinonaktifkan adalah Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko. Ia menduga keputusan mengenai TWK sebagai alih status pegawai merupakan keputusan salah satu pimpinan saja. Padahal, keputusan pimpinan KPK harus bersifat kolektif kolegial.
Saat ini, pimpinan KPK yang menjabat adalah Firli Bahuri, Lili Pintauli, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango. Meski demikian, Sujanarko tak menyebut nama pimpinan yang dimaksud.
"Sebetulnya sistem pemimpinan KPK itu kolektif kolegial. Jadi harusnya 1 orang tidak bisa mengendalikan organisasi," ujar Sujanarko di kanal YouTube Haris Azhar yang diunggah Selasa (11/5).
Sujanarko saat mengikuti tes wawancara dan uji publik capim KPK di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis, (29/8). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Ia pun menantang empat pimpinan yang lain agar berani berbuat menyelamatkan para pegawai yang tak lolos TWK.
ADVERTISEMENT
"Saya tantang di sini, di forum ini, untuk 4 pimpinan yang lain itu lebih menonjolkan hati nurani. Harus lebih berani maksud saya gitu," kata Sujanarko.
"Publik menurut saya harus menagih mereka, gaji mereka sudah besar, loh," lanjutnya.
KPK pun semakin dihujat publik usai 75 pegawai itu dinonaktifkan. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) meminta peralihan pegawai tidak dipersulit.
Hal ini pernah dibahas dalam putusan perkara nomor 70/PUU-XVII/2019. Gugatan itu diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof Fathul Wahid dkk.
Dalam putusan itu disebut alih status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan pegawai.Sebab peralihan status pegawai KPK menjadi ASN berbeda dengan masyarakat yang melamar sebagai PNS atau ASN.
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: Humas KPK
MK menyebut peralihan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan konsekuensi hukum dari berlakunya UU KPK hasil revisi.
ADVERTISEMENT
"Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019, maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan tersebut," ujar Hakim MK, Enny Nurbaningsih, saat membacakan pertimbangan putusan di ruang sidang MK, Jakarta.
"Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan," lanjutnya.
Lebih lanjut, Sujanarko mengungkapkan 75 pegawai yang tak lolos tes juga berasal dari beberapa direktorat. Bahkan seorang deputi yang termasuk jajaran pejabat struktural pun disebut tak lolos.
ADVERTISEMENT
Pejabat yang dimaksud adalah Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi yang diisi Herry Muryanto. Herry disebut pernah bersinggungan dengan Firli Bahuri, ketika Ketua KPK itu diduga melanggar etik saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK pada akhir 2018.
"Sebelum jadi pimpinan KPK, waktu jadi deputi, kan, gonjang ganjingnya banyak, bahkan di internal pernah dilakukan pemeriksaan," ungkapnya.
"Saya tidak tahu persis [kasusnya], ada beberapalah," lanjutnya.
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: KemenPAN RB
Meski demikian, belum diketahui apakah ada kaitannya antara pemeriksaan etik Firli Bahuri pada 2018 lalu dengan hasil TWK ini.
"[Herry Muryanto] paling tinggilah jabatannya [di antara 75 pegawai KPK yang tak lulus ASN]," ujar Sujanarko.

Respons Eks Ketua KPK

Eks Ketua KPK Busyro Muqqodas terus menyoroti masalah ini, salah satunya dominasi Firli Bahuri dibalik tes ASN pegawai KPK. Menurutnya, penonaktifan 75 pegawai KPK menunjukkan betapa otoriternya sosok Firli.
ADVERTISEMENT
"Ada apa di balik itu semua? Nah, sekarang itu terjawab dengan sikap dia yang otoriter di KPK. Di KPK itu sekarang punya (pimpinan) kolegial, kolektif, tapi dia yang paling otoriter," kata Busyro, Rabu (12/5).
Selain itu, Busyro menilai, 4 pimpinan itu harusnya berani dan menunjukkan integritas mereka. Bukan malah menuruti dominasi Firli Bahuri.
"4 pimpinan lainnya itu tidak menunjukkan integritas sebagai pimpinan juga. Padahal mereka dipilih juga. Nah, jadi faktor Firli ini faktor yang paling krusial," kata dia.
Dengan sikap seperti ini, Busyro menilai seharusnya Firli dan 4 pimpinan KPK tersebut mundur saja.
Eks Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas. Foto: Fanny Octavianus/ANTARA
"Sekarang saatnya dipertimbangkan dengan saksama bahwa 4 orang ini mundur atau dimundurkan oleh masyarakat sipil, bersama dengan Firli," kata dia.
ADVERTISEMENT
Busyro yang juga Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum itu memberikan peringatan kepada Jokowi. Sebab, sejarah akan mencatat di bawah pemerintahan saat ini, KPK tumbang dan tak lagi punya gigi memberantas korupsi.
Ia bahkan mengaku selama ini bersama sejumlah tokoh-tokoh aktivis masyarakat sipil intensif melakukan pertemuan-pertemuan daring membahas nasib KPK di masa pemerintahan Jokowi.
"Dari bahasan-bahasan itu kesimpulan besar saya begini, bahwa penonaktifan 75 pegawai KPK melalui proses tes wawasan kebangsaan itu mempertegas pernyataan saya sebelumya, yaitu di tangan Presiden Jokowi sistem pemberantasan korupsi itu tumbang," beber Busyro.
"[KPK] tumbang karena ditumbangkan, itu kesimpulan besarnya," lanjutnya.
Busyro kembali mengingatkan Jokowi soal janji-janji saat kampanye Pilpres dahulu. Dalam dua kali pemilu, 2014 dan 2019, Jokowi menegaskan komitmennya memperkuat KPK.
ADVERTISEMENT
"Janji-janji itu berujung dengan Surpres Jokowi untuk DPR tentang revisi UU KPK. Kedua, rangkaian langkah-langkah pemilihan pimpinan KPK terpilih ini tidak bisa dilepaskan dari RUU itu," jelas dia.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM serta mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Busyro mengaitkan di masa kepemimpinan Komjen Firli Bahuri, kini BNPT dilibatkan dalam proses seleksi pimpinan dan juga pegawai KPK untuk menjadi ASN.
"Itu badan yang menggambarkan isu yang tandus moralitasnya. Yang menyesatkan bahwa KPK itu sarang militan taliban. Sampai ada taliban itu dikaitkan dengan tokoh DI/TII Kartosurwiryo, Kahar Muzakkar, dan sebagainya. Itu, kan, kengerian yang dahsyat sekali itu," ujar dia.
Busyro lalu menyentil saat Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan melanggar etika karena bertemu Tuan Guru Bajang, yang saat itu Gubernur NTB. Padahal, Firli yang kala itu menjadi Deputi Penindakan tengah menyidik kasus terkait korupsi di NTB.
ADVERTISEMENT
"Nah, hasil pemeriksaannya, Deputi Penindakan dalam hal itu dinyatakan melanggar etika. Tapi oleh pimpinan KPK era Agus Rahardjo itu tidak dikembalikan lagi ke Mabes Polri. Ketika polri dipimpin Jenderal Tito Karnavian," tuturnya.
Lebih lanjut, Busyro menjamin akan ada bantuan hukum bagi 75 pegawai yang dinonaktifkan. Ia mengatakan LBH Muhammadiyah akan pasang badan.
"Dalam kapasitas saya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah memposisikan dirinya lewat LBH Muhammadiyah untuk menjadi tampil untuk kuasa hukum teman-teman KPK, 75 yang dinonaktifkan itu," ucap Busyro.
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
Busyro juga akan menggugat putusan tersebut ke PTUN, untuk memperjuangkan nasib para pegawai KPK yang dinonaktifkan ini. Karena, banyak kejanggalan dari TWK yang membuat beberapa pegawai senior seperti Novel Baswedan dan ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo.
ADVERTISEMENT
Busyro juga mengusulkan agar Jokowi mengambil langkah ekstrem dengan mencopot empat orang pimpinan KPK yang sekarang atas kontroversi pada tes TWK ini.
"Adanya kasus seleksi TWK yang isinya sama sekali tidak memiliki konsep yang secara akademis bertanggung jawab secara kebangsaan bahkan melecehkan kebangsaan itu sendiri, melanggar HAM, melecehkan wanita, itu sudah cukup alasan bagi presiden," ucap Busyro.

75 Pegawai yang Dinonaktifkan Bisa Gugat ke PTUN

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan banyak cara yang bisa dilakukan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan untuk menuntut keadilan. Salah satunya, mereka bisa menanggapi surat keputusan pimpinan KPK dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Banyak, ya, salah satunya bisa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena ini berkaitan dengan tindakan dan kebijakan yang sewenang-wenang, yang menurut UU Administrasi Pemerintahan tidak boleh dilakukan oleh pejabat atau Badan Tata Usaha Negara," kata Feri.
ADVERTISEMENT
Feri mengatakan penonaktifan atau nonjob 75 pegawai KPK tidak dikenal dalam Perkom Alih Status, tidak juga dikenal dalam PP 41 Tahun 2020 tentang Alih Status, bahkan tidak dikenal dalam UU KPK. Sehingga penonaktiFan ini bisa jadi menunjukkan satu hal penting, bahwa 75 pegawai tersebut memang sudah ditargetkan supaya tak lagi menangani perkara korupsi.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Sebab itu di dalam SK penonaktifan, ada perintah untuk mengembalikan kasus-kasus yang sedang ditangani ke atasannya, maka jelaslah target dari pimpinan KPK terhadap 75 orang ini. Yakni agar mereka tidak bisa menangani perkara-perkara mega korupsi dan korupsi politik yang sedang mereka lakukan penyelidikannya," tutur Feri.
Pendapat Feri pun disetujui Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. Selain mengajukan gugatan ke PTUN, Kurnia mengatakan 75 pegawai KPK itu bisa meminta pengujian materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menjadi alasan mereka dinonaktifkan.
ADVERTISEMENT
"Ada banyak instrumen hukum yang bisa diambil. Kenapa saya katakan banyak, karena pelanggaran hukumnya atas TWK ini sangat terang benderang, sangat jelas. Misalnya dapat dilakukan gugatan PTUN. Sebelum itu, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan uji materi Perkom 1 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung," kata Kurnia saat dihubungi terpisah.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: