SQR- Ilustrasi PHK

Mereka Putus Kerja Tanpa Pesangon

9 April 2020 15:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi PHK. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PHK. Foto: Pixabay

Banyak pekerja di-PHK tanpa pesangon. Apakah Kartu Pra Kerja cukup manjur mengobati gelombang pengangguran baru?

“Kalian mau bertahan, boleh. Tapi nggak dapet gaji ataupun THR. Mau kerja di tempat lain, boleh. Nanti kalau kondisi udah membaik, kerja lagi di sini juga boleh. Tapi ikut interview lagi dari awal.”
Pesan itu masih tertancap dalam ingatan Jodi, pekerja di salah satu kafe di bilangan Jakarta Selatan. Ia dan sepuluh rekannya sudah diliburkan selama tiga hari. Pekan ketiga Maret 2020, akhirnya mereka diberhentikan tanpa pesangon, tanpa apapun.
Padahal baru tujuh bulan Jodi menjalani tugas sebagai barista di sana. Masih ada lima bulan sisa kontraknya dari total satu tahun masa kerja sesuai perjanjian kerja yang ia teken di awal.
Tapi sejak kasus corona meruak, kafe tempatnya bekerja sepi pengunjung. Total penjualan turun hingga 50 persen.
Jodi tahu kondisi itu, tapi kecewa karena diputus kerja tanpa uang saku apapun. Ia hanya berharap setidaknya pemutusan hubungan kerja bisa berjalan sesuai aturan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh, sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Artinya, Jodi dan pekerja kontrak lainnya berhak menerima gaji sisa kontrak yang belum habis sebelum waktunya itu.
“Buat gue ya itu artinya di-PHK aja gitu. Gue sangat kecewa. Nggak ada pesangon atau apapun itu,” keluhnya kepada kumparan, Rabu (8/4).
Tapi ia tak berdaya, lembar kontrak kerja tak ada di tangannya. Dulu, usai meneken perjanjian kerja, semua berkas dikembalikan ke HRD (Human Resource Department). Tak ada salinan selembar pun untuk disimpannya
“Jadi gue gak tau dan lupa isinya apa aja,” ucap Jodi.
Ilustrasi PHK. Foto: shutterstock
Nasib serupa juga terjadi pada Jihan (bukan nama sebenarnya). Sudah satu tahun lebih dua bulan ia bekerja di sebuah tempat bimbingan belajar, tanpa memiliki kontrak kerja dalam bentuk apapun.
“Di sini nggak pake kayak gituan. Interview, kalau lolos lalu di-training. Udah, langsung kerja,” ucap Jihan saat berbincang dengan kumparan.
Sejak tanggal 23 Maret, Jihan tak lagi dipekerjakan sebagai guru bimbel. Namun saat itu belum ada kepastian apapun.
Tempatnya bekerja masih berupaya untuk mengadakan kelas online. “Tapi nggak ada peningkatan,” ucap Jihan.
Ia sudah mendapat firasat akan kehilangan pekerjaan setelah melihat empat orang rekan kerjanya di-PHK lebih dulu.
“Aku bisa dibilang kloter kedua. Pertama itu empat orang, terus dua orang, kemarin katanya dua orang lagi,” papar gadis asal Tegal ini.
Beberapa hari setelah dipecat, Jihan akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Ia tahu tanpa penghasilan, meskipun hanya sekitar Rp 3,5 juta per bulan, tak mungkin ia tetap bertahan di Jakarta.
“Apalagi karena ada kabar Tegal mau di-lockdown. Jadi sebelum di-lockdown, aku udah pulang sih.”
Status kerja yang tak jelas membuat Jihan tak bisa menagih uang pesangon. Penghasilannya bulan terakhir memang dilebihkan, tapi tak mencapai setengah dari nilai gaji.
“Kemarin sih ada uang tambahan, tapi nggak tahu itu pesangon atau bukan. Infonya cuma dibilang itu bonus tambahan,” ucap Jihan.
Pilihan kembali ke kampung halaman jadi opsi paling masuk akal, sebab dengan begitu ia bisa mengirit pengeluaran dan bertahan dengan sisa uang tabungan.
“Di tempat kerjaku nggak ada istilah pesangon. Kita sebagai karyawan yang nggak jelas ini bisa apa? Paling bisanya pasrah aja,” keluhnya lemas.
Jodi dan Jihan hanya dua dari jutaan orang yang bernasib hampir serupa. Kehilangan pekerjaan, satu-satunya sumber penghasilan, dan tanpa kepastian di masa depan.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 7 April 2020, terdapat 39.977 perusahaan yang merumahkan 873.090 karyawan dan mem-PHK 137.489 pekerja. Sementara di sektor informal, ada 189.452 orang kehilangan pekerjaan.
Merumahkan yakni tetap terikat kontrak, namun karyawan tidak dipekerjakan untuk sementara waktu. Gaji dibayarkan setiap bulan, namun dipotong sebagian bahkan sampai 70 persen. Sebagian lainnya sama sekali tidak mendapat gaji selain janji untuk bisa kembali bekerja nanti. Sementara untuk yang di-PHK jelas mendapat pemutusan kontrak kerja secara resmi dan permanen.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
“Total jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan PHK sebanyak 74.430 perusahaan, dengan jumlah pekerja/buruh/tenaga kerja sebanyak 1.200.031 orang,” kata Menaker Ida Fauziyah melalui keterangan tertulis, Rabu (8/4).
Sebelum gelombang PHK karena wabah corona berlangsung, Ida pernah mengeluarkan Surat Edaran No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Dalam surat edaran itu, selain imbauan untuk mencegah penyebaran virus, tak ada kalimat tegas bahwa perusahaan dilarang memecat karyawannya.
“Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha... sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja tidak masuk kerja... perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan sesuai dengan kesepakatan pekerja dan pengusaha,” bunyi terakhir dari surat edaran tersebut.
Kebijakan tersebut membuat Jodi dan Jihan, bahkan mungkin jutaan pekerja lain yang di-PHK tanpa pesangon, dibiarkan berjuang sendiri. Sebab, tak ada penegasan dari pemerintah bahwa setiap pengusaha harus mematuhi aturan untuk memberikan uang pesangon atau ganti rugi sisa kontrak yang belum terpenuhi kepada pekerjanya.
Kebijakan Jokowi soal corona. Foto: Nadia Wijaya/kumparan
Kebijakan pemerintah lainnya adalah dengan mempercepat perilisan Kartu Pra Kerja. Salah satu program yang jadi bahan “dagangan” kampanye Jokowi ini menarget 5,6 juta jiwa di tahun 2020.
Padahal berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga akhir 2019 terdapat 7,05 juta pengangguran di Indonesia dan 8,14 juta warga setengah menganggur, baik karena kerja paruh waktu, tanpa kontrak, atau serabutan.
Maka total pengangguran dan setengah menganggur mencapai 15,19 juta jiwa. Artinya, hanya sekitar sepertiga dari total pengangguran yang ada, dan masih mungkin bertambah, yang bisa mendapat Kartu Pra Kerja.
Seperti apa mekanismenya? Cukup efektifkah? Perlu waktu berminggu-minggu untuk mengetahui jawabannya. Lagi pula program tersebut hanya bersifat sementara waktu.
Kebijakan jangka panjang di masa depan? Belum ada yang tahu. Sementara gelombang PHK masih terus berlanjut.
Ilustrasi pemutusan hubungan kerja. Foto: Pixabay
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu mencegah penyebaran coronavirus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten