Migrant Care Menilai Respons Kemlu Atas Perbudakan ABK WNI Normatif

7 Mei 2020 10:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Migran Care, Wahyu Susilo. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Migran Care, Wahyu Susilo. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
Lembaga advokasi pekerja migran Indonesia, Migrant Care, menilai respons Kementerian Luar Negeri RI atas dugaan perbudakan ABK WNI di kapal China normatif. Menurut Migrant Care, respons Kemlu harus menuju ke pokok persoalan.
ADVERTISEMENT
"Migrant CARE menilai respons Kementerian Luar Negeri RI bersifat normatif namun belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia, juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut," ujar pernyataan Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, yang diterima kumparan, Kamis (8/5).
Wahyu mengatakan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia belum maksimal memperjuangkan penegakan hak asasi pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan.
Sebelumnya Kemlu RI telah menyatakan akan memanggil Duta Besar China di Jakarta untuk mengklarifikasi soal tuduhan perbudakan dan pelarungan jasad WNI di kapal Long Xing 629. Saat ini, sekitar 14 ABK WNI tersebut berada di Busan, Korea Selatan, menunggu pemulangan ke tanah air.
Ilustrasi Kapal Penangkap Ikan. Foto: Getty Images
Kemlu dalam pernyataannya mengatakan telah memastikan pemenuhan hak-hak para WNI oleh perusahaan mereka. Kemlu juga akan memastikan bahwa pelarungan jenazah para ABK sesuai dengan aturan kelautan Organisasi Buruh Internasional (ILO).
ADVERTISEMENT
Migrant Care menyayangkan belum adanya respons dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia terkait masalah ini.
"Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap pro-aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut (berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan) untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dan apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku," ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, sektor kelautan dan perikanan memang tempat praktik perbudakan modern yang terburuk. Wahyu mengutip laporan Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 yang mencatat ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern.
Wahyu Susilo, adik kandung Wiji Thukul. Foto: Utomo Priyambodo/kumparan
"Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan," kata Wahyu.
ADVERTISEMENT
Di masa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiastuti, tulis Wahyu, Pemerintah Indonesia pernah terlibat dalam upaya memerangi perbudakan di sektor kelautan. Namun inisiatif ini lebih banyak menyangkut soal perbudakan di perairan Indonesia, tidak meluas pada nasib ABK WNI di kapal asing.
"Inisiatif ini pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan atau BNP2TKI (waktu itu, sekarang menjadi BP2MI)," ujar Wahyu.
Selain itu, Wahyu menganggap para ABK ini rentan karena tak ada instrumen perlindungan yang memadai sebagai payung perlindungan bagi mereka.
"Meskipun UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran Di sektor Kelautan dan Perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit," kata Wahyu.
ADVERTISEMENT
"Bahkan terlihat ada kecenderungan berebut kewenangan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan perlindungan Pekerja Migran Indonesia," kata dia lagi.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona