Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dalam rapat dengan Komisi III DPR, 29 Maret 2023, itu bikin geger. Ia menyebut dugaan pencucian uang Rp 189 triliun tersebut merupakan bagian dari dugaan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun terkait pegawai Kementerian Keuangan.
Mahfud menengarai kasus Rp 189 triliun itu hendak ditutupi oleh pejabat Kemenkeu agar tak sampai ketahuan sang atasan, Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kecurigaan itu muncul berdasarkan percakapan yang terjadi dalam rapat antara Kemenkeu dan PPATK dua minggu sebelumnya, 14 Maret 2023.
“Semula ketika ditanya Bu Sri Mulyani ‘Ini apa? Kok ada uang Rp 189 triliun?’ Pejabat tingginya, eselon I [Kemenkeu], bilang ‘Oh, enggak ada, Bu… Enggak pernah ada.’ [Ditanya lagi], ‘Ini tahun 2020,’ kata Bu Sri Mulyani. [Ditimpali Kepala PPATK] Pak Ivan, ‘Ini ada,’ baru dia [cek],’” papar Mahfud, menceritakan percakapan dalam rapat itu.
Mahfud tak menyebut gamblang siapa pejabat eselon I Kemenkeu yang ia maksud.
Dalam rapat bersama Komisi III DPR pada 11 April 2023, Sri Mulyani menyatakan kasus Rp 189 triliun merupakan tindak lanjut dari penindakan ekspor emas oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 2016 yang melibatkan sebuah perusahaan. Namun, proses hukum terhadap perusahaan tersebut selesai pada 2019 dengan hasil mengecewakan.
Alhasil, Kemenkeu berkoordinasi dengan PPATK untuk memantau transaksi keuangan perusahaan tersebut pada 2017–2019. Hasilnya, berdasarkan surat bernomor SR-205 yang disampaikan PPATK ke Kemenkeu pada 2020, ditemukan transaksi mencurigakan oleh perusahaan itu dan beberapa entitas terkait senilai Rp 189 triliun.
Dirjen Bea Cukai Askolani menjelaskan, penindakan pada 2016 tersebut dilakukan petugas Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Soekarno-Hatta. Perusahaan dengan transaksi mencurigakan itu mengaku mengekspor perhiasan, tetapi ternyata setelah dicek, barang yang diekspor berupa emas batangan (ingot) seberat 218 kg.
“Nilainya mencapai USD 6,8 juta,” kata Askolani.
Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo melalui akunnya di Twitter menjelaskan, kasus yang melibatkan perusahaan tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang dengan nomor perkara 2120/Pid.Sus/2016/PN.Tng.
Berdasarkan penelusuran kumparan, perusahaan itu adalah PT Tujuan Utama dengan direktur Dicson Liusdyanto. Ketika itu, perusahaan dan direkturnya tersebut dijerat sebagai tersangka korporasi dan tersangka perorangan dalam berkas perkara berbeda.
Jejak Kasus Emas Rp 189 Triliun
Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum, PT Tujuan Utama merupakan perusahaan ekspor impor emas yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak penghasilan, yakni PPh 22 Impor, sesuai Surat Keterangan Bebas Nomor KET00001/IMPOREMAS/WPJ.13/KP.0103/2015 tanggal 10 April 2015. Surat tersebut diterbitkan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak.
Fasilitas bebas pajak PPh 22 Impor itu membuat PT Tujuan Utama bisa mengimpor emas batangan dan mengekspornya lagi dalam bentuk perhiasan. Namun, jika PT Tujuan Utama mengekspor emas batangan itu mentah-mentah (tidak diolah menjadi perhiasan), maka ia harus membayar 2,5 % dari nilai impor.
Kasus bermula ketika PT Tujuan Utama membuat perjanjian kerja sama dengan perusahaan Xin Zhong Cheng Pte. Ltd. yang berkedudukan di Hong Kong pada 13 Februari 2015. Isinya, PT Tujuan Utama mengimpor emas batangan dari perusahaan tersebut, lalu akan mengolahnya menjadi perhiasan untuk diekspor kembali ke perusahaan yang sama, Xin Zhong Cheng.
Dalam prosesnya, PT Tujuan Utama menyerahkan pekerjaan mengolah emas itu kepada PT Loco Montrado. Kerja sama termuat dalam surat tertanggal 25 Februari 2015 yang diteken Direktur PT Tujuan Utama Dicson Liusdyanto dan Direktur PT Loco Montrado Siman Bahar.
Hampir setahun kemudian, 14 Januari 2016, PT Loco Montrado memberitahukan kepada PT Tujuan Utama bahwa terdapat sisa emas hasil pengolahan sebanyak 218 kg.
Manajer Operasional PT Tujuan Utama, Benny, lantas menginformasikan hal itu kepada sang direktur, Dicson. Selanjutnya, Dicson memerintahkan Benny untuk berkomunikasi dengan Xin Zhong Cheng Pte. Ltd.
Xin Zhong Cheng Pte. Ltd. kemudian meminta PT Tujuan Utama mengirimkan sisa emas ke Metalor Technologies Ltd. di Hong Kong sebelum 25 Januari 2016. Hal ini sesuai perjanjian antara Dicson dan Direktur Xin Zhong Cheng, Marry Liu, yang diteken setahun sebelumnya pada 13 Februari 2015.
Maka, pada 19 Januari 2016, Dicson dan Benny menggelar rapat di Pontianak untuk membahas pengiriman emas sisa produksi perhiasan (scrap jewelry) seberat 218 kg ke Metalor Technologies (Hong Kong) Ltd.
Saat rapat, Benny membawa dua lembar surat, yakni packing list No. 069/TU/MT/2016 dan commercial invoice No. 069/TU/MT/2016 tertanggal 22 Januari 2016. Dalam kedua surat itu, deskripsi barangnya adalah jewelry, bukan scrap jewelry. Meski tak sesuai, Dicson tetap menandatangani dua surat tersebut.
PT Loco Montrado pun mengirimkan sisa emas tersebut ke PT Tujuan Utama pada 21 Januari 2016. Sisa emas tersebut dibungkus dalam 27 paket. Sisa emas itu telah dimurnikan dalam bentuk pilinan dan batangan yang terbungkus rapi dengan lakban coklat.
Berbekal surat packing list dan commercial invoice yang telah diteken Dicson, perusahaan jasa logistik dan kepabeanan yang dipekerjakan PT Tujuan Utama mengurus surat Pemberitahuan Ekspor Barang. PEB Tujuan Utama terdaftar dengan nomor 027080, dengan Nota Pelayanan Ekspor bernomor 023497/WBC.06/KPP.01/NPE/2016 tanggal 21 Januari 2016.
Namun, Bea Cukai mengendus ketidakberesan. Maka, pada 22 Januari 2016, petugas Bea Cukai mencegat dan memeriksa pengiriman tersebut. Saat dibuka, paket tersebut berupa emas batangan dan pilinan, bukan perhiasan (jewelry) seperti yang tertera pada surat packing list dan commercial invoice yang ditandatangani Dicson.
“Dalam setiap kemasan disisipkan emas gelang dalam jumlah kecil untuk mengelabui X-ray. Seolah yang akan diekspor adalah perhiasan. Sehingga dilakukan pencegahan dan penyegelan barang dalam rangka penyelidikan lebih lanjut,” kata Yustinus Prastowo.
PT Tujuan Utama juga tidak memiliki surat persetujuan ekspor scrap jewelry seperti yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/MDAG/PER/7/2012. Maka, mereka diduga berupaya mengelabui petugas Bea Cukai dengan menulis jewelry pada dokumen kelengkapan kepabeanan.
Padahal sesuai aturan, ekspor emas batangan harus mendapat persetujuan dari Kementerian Perdagangan. Selain itu, ekspor emas batangan yang berasal dari importasi emas batangan dengan fasilitas perpajakan seharusnya membayar 2,5 % dari nilai impor.
Bea Cukai pun menyerahkan kasus tersebut ke kejaksaan. Persidangan berlangsung di PN Tangerang. Jaksa menjerat PT Tujuan Utama dan direkturnya, Dicson, dengan tuduhan pemalsuan dokumen pabean. PT Tujuan utama dituding melanggar Pasal 108 ayat (1) huruf a Jo. Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan, sedangkan Dicson dijerat Pasal 108 ayat (1) huruf b Jo. Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan.
PT Tujuan Utama dituntut hukuman denda Rp 500 juta, sedangkan Dicson dituntut pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Jaksa juga meminta agar emas-emas yang menjadi barang bukti, dirampas untuk negara. Barang bukti itu terdiri dari emas 189 batang, 91 pilinan, 1 lempeng, dan 1 stik berkadar 24 karat, serta emas 17 batang berkadar 23 karat.
Dianggap Bukan Tindak Pidana
Tak disangka, majelis hakim membebaskan PT Tujuan Utama dan Dicson, bahkan mengembalikan barang bukti emas kepada Dicson.
Majelis hakim yang terdiri dari Sun Basana Hutagalung, I Ketut Sudira, dan Sri Widodo berpendapat bahwa kasus ini terjadi bukan karena kesengajaan, melainkan karena keteledoran Benny, Manajer Operasional PT Tujuan Utama.
“Terjadi kelalaian Benny dalam membuat dokumen invoice dan packing list yang menyebutkan barang berupa ‘jewelry’ padahal seharusnya ‘scrap jewelry’... karena biasanya pembuatan dokumen invoice dan packing list dilakukan oleh Jessy (staf) dan kemudian diteliti Benny. Namun, karena Jessy saat itu sedang makan siang, maka yang membuat dokumen adalah Benny,” demikian bunyi pertimbangan putusan tersebut.
Jaksa tak terima dengan putusan tersebut dan berkoordinasi dengan Ditjen Bea Cukai untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, MA mengabulkan kasasi jaksa dan menolak alasan ‘kelalaian’ oleh PT Tujuan Utama.
“Bahwa alasan Benny dalam penulisan packing list dan commercial invoice dalam bentuk jewelry sebagai bentuk kelalaian administratif, sebagaimana pertimbangan Judex Facti adalah tidak dapat dipercaya kebenarannya, karena seorang manager yang telah bergerak di bidang ekspor impor emas pasti sudah tahu perbedaan perhiasan (jewelry) dan emas batangan/emas pilin,” jelas pertimbangan majelis hakim kasasi yang terdiri dari Salman Luthan, Sumardijatmo, dan Margono, 20 November 2017.
Majelis kasasi MA menghukum PT Tujuan Utama dengan denda Rp 500 juta. Sementara Dicson dihukum pidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun serta denda Rp 2,3 miliar subsider 8 bulan kurungan. Majelis hakim pun memutuskan barang bukti emas disita untuk negara.
Tapi, urusan rupanya belum beres.
Dicson tak terima dengan putusan kasasi itu dan mengajukan Peninjauan Kembali ke MA. Langkah Dicson ini berbeda dengan perusahaannya, PT Tujuan Utama, yang memilih tidak mengajukan PK.
Perkara kian runyam karena di tahap PK, Dicson kembali diputus bebas. Majelis PK berpandangan sama dengan majelis hakim PN Tangerang, bahwa Dicson bukannya sengaja mengelabui petugas pabean. Menurut mereka, kasus terjadi karena kelalaian Benny.
“Kelalaian Benny bukan merupakan tindak pidana pemalsuan surat, melainkan kesalahan administrasi semata,” ucap majelis hakim PK MA yang terdiri dari Sofyan Sitompul, Desnayeti, dan Gazalba Saleh.
Dicson pun menerima emasnya lagi.
“[Barang bukti emas] dikembalikan kepada Terpidana Dicson Liusdyanto selaku Direktur PT Tujuan Utama,” ujar majelis hakim PK MA dalam sidang 17 Juli 2019.
Benar-benar bolak-balik emas yang membingungkan.
Sumber kumparan menyatakan, data transaksi PT Tujuan Utama dan entitas terkait yang diduga pencucian uang sesungguhnya sudah terpotret pada 2014–2016. Data tersebut diserahkan ke Bea Cukai pada 2017, namun tidak ditindaklanjuti.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana yang dimintai konfirmasi oleh kumparan terkait hal ini, tidak merespons. Begitu pula Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Bea Cukai Sudiro, dan Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Hatta Wardhana.
Meski demikian, dalam rapat di Komisi III DPR pada 29 Maret 2023, Ivan pernah menyampaikan bahwa perusahaan terkait kasus emas itu pertama kali terpantau dalam radar dugaan transaksi mencurigakan pada 2014–2016 dengan nilai Rp 180 triliun.
PPATK kemudian menyerahkan Laporan Hasil Analisis transaksi tersebut pada 2017 secara langsung kepada Irjen Kemenkeu Sumiyati dan Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi.
Ivan tak menyebut apakah LHA 2017 tersebut ditindaklanjuti Kemenkeu atau tidak. Yang jelas, PPATK kembali memonitor pergerakan transaksi perusahaan tersebut pada 2017–2019. Pada pemantauan tahap kedua ini, PPATK menemukan bahwa perusahaan itu sadar telah dipantau transaksi keuangannya sehingga mereka mulai bersih-bersih.
“Subjek terlapor (PT Tujuan Utama) melakukan pola transaksi dengan mengubah entitas. Tadinya aktif di suatu daerah, lalu berpindah ke daerah lain. Tadinya menggunakan nama tertentu, kemudian pakai nama lain,” kata Ivan.
Walau begitu, PPATK tetap menemukan transaksi jumbo perusahaan tersebut beserta entitas terkaitnya senilai Rp 189 triliun. Temuan itulah yang diserahkan ke Kemenkeu dalam surat bernomor SR-205 pada Mei 2020.
Wamenkeu Suahasil Nazara menyatakan, laporan PPATK mengenai perusahaan emas tersebut seluruhnya ditindaklanjuti. Namun, majelis hakim menilai tindak pidana kepabeanan yang dilanggar perusahaan itu tidak dapat dibuktikan sehingga mereka tidak bisa dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU).
TPPU selalu berkaitan dengan tindak pidana asal (TPA). Artinya, ketika TPA tidak bisa dibuktikan di pengadilan, maka upaya mengusut TPPU-nya juga tidak bisa dilakukan. Kandas.
Upaya Hukum Kejar Rp 189 Triliun
Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo menyatakan, proses hukum kasus emas Rp 189 triliun yang telah sampai di tahap PK tak menyurutkan upaya Satgas TPPU untuk mengembalikan kerugian negara. Kini, Satgas TPPU tengah mencari celah hukum di luar kepabeanan.
“Dalam case building apakah masih ada yang belum di-capture, apakah selain kepabeanan ada pidana lain semisal ilegal mining, narkoba, atau lingkungan hidup,” kata Yustinus.
Ucapan Yustinus bukan tanpa alasan. Menurut sumber kumparan, PT Tujuan Utama pernah masuk dalam laporan Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN), semacam PPATK di Amerika Serikat, pada 2020. FinCEN sempat mencatat transaksi janggal yang dilakukan PT Tujuan Utama dengan Metalor Technologies Ltd. yang punya basis di Swiss.
Pada sebuah artikel di Washington Post , Metalor USA Refining Corp—yang masih segrup dengan Metalor Swiss dan Hong Kong—pernah mengaku bersalah telah membantu pencucian uang dari para pihak di Amerika Selatan senilai USD 4,5 juta pada tahun 2004.
Sumber pencucian uang di Metalor itu salah satunya merupakan hasil penjualan narkoba.
Laporan FinCEN juga menyebut PT Tujuan Utama tidak memiliki kedudukan yang jelas. Kantor operasional PT Tujuan Utama di Ruko Pluit Kencana No.128 Jakarta Utara setelah ditelusuri merupakan restoran.
Eks Kepala PPATK Yunus Husein mendukung PPATK untuk terus mencari celah hukum di luar kepabeanan. Ia mengusulkan agar KPK ikut dalam Satgas TPPU, dan bila perlu menjadi leading sector.
Kasus emas Rp 189 triliun ini, ujar Mahfud, menjadi prioritas Satgas TPPU. Ia tak ingin kasus ini hanya berhenti di soal pajak.
“Ini dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas, tapi apa laporannya? Menjadi pajak. Sehngga [ketika] diteliti, ‘Oh, ini perusahaannya hartanya banyak, bayar pajaknya kurang.’ Padahal ini cukai laporannya,” kata Mahfud.
Yustinus membenarkan bahwa ketika kasus tersebut tidak terbukti memuat tindak pidana kepabeanan, maka pemeriksaannya dilanjutkan di Ditjen Pajak. Hasilnya, ada tambahan setoran pajak Rp 20 miliar dari perusahaan itu.
Sri Mulyani mengatakan, PPATK juga mengirim laporan ke Ditjen Pajak terkait perusahaan emas tersebut dalam surat nomor 595. Menurut surat itu, jumlah transaksinya lebih besar dari Rp 189 triliun. Persisnya mencapai Rp 205 triliun dengan melibatkan 17 entitas.
Empat entitas di antaranya, menurut Srimul, adalah seseorang berinisal SB yang omzetnya mencapai Rp 8,24 triliun; PT BSI yang sahamnya dimiliki SB; PT IKS yang SPT-nya Rp 3,5 triliun tapi transaksinya di data PPATK Rp 4,8 triliun; dan seseorang berinisial DY yang SPT-nya Rp 38 miliar namun transaksinya dipotret PPATK mencapai Rp 8 triliun.
PT BSI dalam catatan PPATK menyetor pajak Rp 11,77 triliun, namun pada data SPT di Kemenkeu hanya Rp 11,56 triliun.
“Perbedaannya Rp 212 miliar, dan kalau memang buktinya nyata, maka perusahaan itu harus membayar denda plus 100 persen,” kata Sri Mulyani.
Ragam Modus Pencucian Uang
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyatakan, emas merupakan salah satu modus pencucian uang yang sulit terlacak, seperti halnya pembelian mata uang asing. Selama ini, pembelian keduanya tidak terdata.
Menurut Pahala, modus pencucian uang yang paling sering digunakan adalah menyamarkan harta hasil kejahatan dengan nama keluarga. Kini, bukan hanya nama keluarga atau orang lain yang dipakai, tapi juga nama perusahaan.
“Karena di laporan harta tidak perlu disebut perusahaannya seberapa besar, cukup sahamnya berapa,” kata Pahala, Jumat (13/4).
Sementara itu, dalam kasus yang melibatkan Kemenkeu, Mahfud MD menyatakan telah memetakan 6 modus dugaan pencucian uang sebagai berikut:
Keenam modus tersebut, merujuk pada penjelasan peneliti ICW Lalola Easter, secara garis besar dapat disederhanakan menjadi 3 tipe pencucian uang, yakni penempatan (placement), pengelabuan (layering), dan pengintegrasian (integration).
“Contoh placement itu sesimpel menyimpan uang hasil kejahatan di bank. Sementara layering itu ketika misalnya melakukan transaksi pembelian rumah tapi dicatatkan atas nama orang lain. Terakhir, integration, itu misal uangnya dipakai beli saham sehingga ditransaksikan kembali untuk masuk ke sirkulasi keuangan yang seolah-olah itu halal,” tutup Lola.