MK dan Nasib Jutaan Orang yang Tak Bisa Nyoblos karena Tak Punya e-KTP

20 Maret 2019 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pemilih pada Pilkada. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilih pada Pilkada. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Kurang dari sebulan jelang pemungutan suara pada Rabu, 17 April, nasib hak pilih jutaan orang belum jelas. Mereka tersangkut aturan dalam UU Pemilu yang mewajibkan e-KTP sebagai syarat memilih, namun barang berisi data diri itu belum juga didapat dari Kemendagri.
ADVERTISEMENT
Data Kemendagri mencatat, mereka yang belum melakukan perekaman mencapai 4.231.823 orang. Belum termasuk warga yang sudah rekaman, tapi belum punya e-KTP. Warga dengan nasib tak punya e-KTP inilah yang suaranya terancam tak bisa disalurkan saat Pemilu 2019.
KPU menegaskan, e-KTP menjadi syarat wajib bagi masyarakat jika ingin menggunakan hak pilihnya pada 17 April mendatang. Selain itu, masyarakat juga harus terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) jika ingin memilih.
"Prinsipnya kalau sudah ada dalam DPT, bisa menggunakan hak pilihnya. Kalau belum ada di DPT, hanya bisa menggunakan hak pilihnya apabila menggunakan e-KTP," kata Komisioner KPU Viryan Azis.
KPU belum mempunyai solusi bagi mereka yang tidak mempunyai e-KTP dan belum terdaftar di DPT jika ingin menggunakan hak pilihnya. Sebab, aturan itu disebutkan dengan jelas dalam UU Pemilu bahwa e-KTP menjadi syarat wajib jika pemilih ingin menggunakan hak pilihnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau belum terdaftar di DPT, harus punya KTP elektronik. Mengapa bahasanya harus? Karena ketentuan dalam UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 Pasal 372, di situ disebutkan apabila ada pemilih yang belum punya KTP elektronik, tidak ada di DPTb, maka yang bersangkutan tidak bisa memilih," terang Viryan.
Menanggapi hal itu, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, mengaku heran dengan aturan e-KTP sebagai salah satu syarat wajib mencoblos. Hadar menuturkan seharusnya KPU sebagai penyelenggara Pemilu punya solusi memfasilitasi para warga yang ingin menggunakan hak pilihnya.
"Saya bingung juga sekarang kalau penyelenggara pemilu (KPU) bersikap sama DPR itu sepakat seperti itu. Tapi juga menurut saya, ya penyelenggara pemilu itu juga tidak wajib untuk mengikuti konsultasi ya," kata Hadar saat dihubungi kumparan, Rabu (20/3).
ADVERTISEMENT
"Jadi saya kira penyelenggara mesti mengambil posisi yang harus lebih berupaya besar melindungi hak pilih begitu karena dia tugasnya untuk menyelenggarakan pemilu itu dan pemilu itu adalah seharusnya melayani penuh warga-warganya yang memang punya hak pilih walaupun dokumen administrasinya itu belum lengkap, belum selesai, kan kira-kira begitu," jelas Hadar.
Selain itu Hadar juga menyoroti KPU periode sekarang yang tidak kunjung mencari solusi untuk menyelamatkan nasib dari 4,2 juta warga yang terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Hadar berpendapat pencatatan administrasi di Indonesia terutama pembuatan e-KTP masih carut-marut sehingga banyak warga yang belum memiliki e-KTP. 
Pimpinan KPU RI Foto: Helmi Afandi/kumparan
"Saya kira, kita ini sudah dihadapkan situasi dimana memang kita tidak mampu untuk membenahi dokumen administrasi kependudukan ini dalam hal ini KTP elektronik. Kalau sudah nyatanya demikian, sementara di konstitusi hak pilih dijamin, ya jangan diteruskan dong, berarti kita ini melaksanakan pemilu yang tidak sesuai dengan konstitusi," jelas Hadar.
ADVERTISEMENT
"Jadi harus dicari itu apa untuk memastikan orang ini bisa tetap memilih tetapi kita juga bisa memastikan orang itu juga orang yang berhak gitu harus ada dokumennya, pencatatannya, administrasinya gitu. Nah itu kan bisa mungkin dia sudah punya KK mungkin sudah punya akte lahir, mungkin dia sudah punya SIM atau apa coba dipikirkan itu," tutur Hadar.
Hadar menilai, masalah ini bisa selesai bila KPU membolehkan warga memilih menggunakan suket. Tapi, ketentuan suket yang dibuat KPU di PKPU 3, masih berpotensi digugat. Sebab, bisa jadi ditafsirkan e-KTP untuk seluruh kategori pemilih, bukan hanya DPT.
"Kami ingin pastikan bahwa landasan hukumnya kuat. Jadi jangan sampai nanti KPU mengatur suket tapi sebetulnya UU Pemilu pakainya suket," ucap Hadar.
NETGRIT Hadar Nafis Gumay di Diskusi Polemik Pencalonan Napi Korupsi di Indonesia Corruption Watch, Kalibata Timur, Jakarta, Minggu (9/9/2018). Foto: Eny Immanuella Gloria

Menanti Putusan MK

Secercah harapan datang dari para pegiat pemilu dan hukum yang ingin memperjuangkan mereka yang hak pilihnya terancam karena tak punya e-KTP. Sebanyak 7 orang menggugat ketentuan mencoblos wajib pakai e-KTP ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Para pemohon yakni Titi Anggraini (Perludem), Hadar Nafis Gumay (Netgrit, mantan komisioner KPU), Feri Amsari (Direktur PUSaKO FH Universitas Andalas), Agus Hendy (warga binaan Lapas Tangerang), A. Murogi (warga binaan Lapas Tangerang), Muhamad Nurul Huda, didampingi oleh kuasa hukum dari Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (Integrity).
Permohonan uji materil diajukan terhadap Pasal 348 ayat 9, Pasal 348 ayat 4, Pasal 210 ayat 1, Pasal 350 ayat 2, dan Pasal 383 ayat 2 UU Nomor 7 tentang Pemilu.
Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (INTEGRITY) foto bersama di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pasal 348 Ayat 9 dianggap menyebabkan pemilih yang tidak memiliki e-KTP kehilangan hak pemilihnya. Padahal, Denny mengatakan, berdasarkan data dari Dukcapil pemilih yang tidak memiliki e-KTP jumlahnya mencapai 4 juta lebih.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan gugatan itu bukan semata untuk menggugurkan syarat e-KTP dalam pemilu , tapi lebih mendasar e-KTP sebagai syarat menyusun DPT.
"Untuk masuk DPT syaratnya sudah wajib KTP el, dulu tidak wajib e-KTP untuk masuk DPT," ucap Titi saat dihubungi.
Para penggugat meyakini MK akan memutus perkara ini sebelum pencoblosan pada 17 April 2019. Harapan itu juga yang diamini oleh KPU.
"KPU berharap JR (judicial review) itu bisa segera, karena ini kondisinya darurat," ucap komisioner KPU Viryan Aziz.
"Misalnya kalau tidak dikabulkan, maka sudah jelas langkah-langkah KPU, kalau ada putusan tertentu KPU perlu menyesuaikan diri, maka KPU bisa segera putuskan oleh MK," pungkasnya.