news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

MK Kabulkan Gugatan 2 Komisioner KPU: Putusan DKPP Bisa Digugat ke PTUN

29 Maret 2022 15:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang Uji Materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Uji Materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang diajukan oleh dua Komisioner KPU terkait dengan ketentuan mengenai putusan DKPP.
ADVERTISEMENT
Kedua Komisioner KPU itu ialah Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman. Keduanya menggugat Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu.
Pasal tersebut mengatur bahwa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat. Berikut bunyinya:
"Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat".
Komisioner KPU Arief Budiman dan Evi Ginting daftarkan gugatan ke MK. Foto: Dok. Arief Budiman
Keduanya pernah berurusan dengan DKPP terkait dugaan pelanggaran etik penyelenggaraan pemilu.
Pada Maret 2020, DKPP memecat Evi Novida terkait sengketa pemilu DPRD Kalbar. Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Surat Pemberhentian.
Namun, Evi kemudian mengajukan gugatan ke PTUN atas pemberhentiannya itu. Gugatannya dikabulkan sehingga Presiden Jokowi mencabut SK pemberhentian itu.
Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik, usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/2). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Namun Evi Novida menilai DKPP atau setidaknya sejumlah anggota DKPP masih tidak mengakui kembali dirinya sebagai anggota KPU yang sah. Padahal sudah ada putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Keppres sebagai tindak lanjut putusan DKPP. Presiden Jokowi pun tak melakukan banding atas putusan tersebut. Hal itu tak terlepas dari sifat putusan DKPP yang final dan mengikat.
ADVERTISEMENT
Pada saat gugatan Evi Novida bergulir di PTUN, Arief Budiman turut hadir. Hal itu berimbas pada sidang DKPP terhadap Arief Budiman.
Ketua KPU, Arief Budiman. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Arief membela diri bahwa kehadirannya bukan untuk mendampingi Evi Novida mendaftarkan gugatan di PTUN. Melainkan hanya hadir untuk memberikan dukungan.
DKPP menyatakan Arief Budiman bersalah. Ia pun dicopot dari jabatan Ketua KPU tapi masih menjabat komisioner.
Buntut polemik ini, Evi Novida dan Arief Budiman menggugat perihal sifat putusan DKPP ke MK. Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dinilai telah mengakibatkan tidak adanya mekanisme koreksi terhadap putusan DKPP secara langsung oleh peradilan tata usaha negara. Sehingga dinilai menimbulkan pelanggaran atas hak konstitusional para Pemohon dalam hal mencari keadilan atas putusan DKPP yang cacat yuridis.
ADVERTISEMENT
Menurut Pemohon, DKPP berkukuh bahwa putusannya tidak dapat dikoreksi oleh lembaga peradilan. Sebab putusan DKPP adalah putusan peradilan etik yang berlaku terus menerus sebagai implikasi adanya frasa final dan mengikat.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Suasana sidang pembacaan amar putusan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019 dan 58/PUU-XVII/2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/12). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai kedua Pemohon telah menjelaskan soal kerugian hak konstitusi mereka akibat frasa "final dan mengikat" dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017.
Hal ini terkait bahwa DKPP sejak putusannya, sudah tidak lagi menganggap para Pemohon sebagai Anggota KPU RI. Padahal sudah ada putusan PTUN. Atas pertimbangan itu, Mahkamah menilai kedua Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan.
Sementara dalam pokok permohonan, Mahkamah menilai inti gugatan ini ialah frasa "final dan mengikat" dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dalam Penjelasannya dinyatakan “cukup jelas”. Hal itu telah menyebabkan Putusan DKPP tidak dapat ditafsir lain oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya DKPP menafsirkan bahwa putusan mereka tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun. Termasuk diuji ke peradilan TUN. Sehingga DKPP dinilai lebih superior dibanding KPU dan Bawaslu yang sama-sama merupakan penyelenggara pemilu.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan. Sebagaimana KPU dan Bawaslu, DKPP merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara.
Ilustrasi sidang DKPP. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
Ketiga lembaga penyelenggara Pemilu tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior.
Berdasarkan pertimbangan itu, Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa "bersifat final dan mengikat" dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final. Putusan itu dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.
ADVERTISEMENT
"Terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan Putusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud, dengan mengajukan gugatan pada peradilan TUN," bunyi pertimbangan MK.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian gugatan tersebut,
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," bunyi amar putusan sebagaimana dibacakan Ketua MK, Anwar Usman.
"Menyatakan ketentuan Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN”," sambung Anwar Usman.
ADVERTISEMENT