MK Mulai Sidangkan Gugatan Uji Formil Putusan MK soal Syarat Capres-cawapres

28 November 2023 14:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Hakim MK Suhartoyo, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat memimpin persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/11/2023). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Hakim MK Suhartoyo, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat memimpin persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/11/2023). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan gugatan uji formil putusan MK terkait syarat capres-cawapres. Gugatan ini diajukan oleh Denny Indrayana hingga Zainal Arifin Mochtar.
ADVERTISEMENT
Sidang ini digelar pada pukul 10.00 WIB di Gedung Mahkamah Konstitusi, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/11).
Mereka mempersoalkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana diubah oleh Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu menjadi polemik karena menambahkan syarat bagi capres dan cawapres.
Polemik itu berujung pembentukan Majelis Kehormatan MK yang berujung pencopotan Anwar Usman dari Ketua MK. Uji formil ini diajukan secara paralel sambil menunggu putusan MKMK pada Selasa, 7 November 2023.
Permohonan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar terdaftar dalam nomor 145/PUU-XXI/2023. Mereka menilai Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 mengandung cacat formil sebab dihasilkan dari proses putusan yang mengandung konflik kepentingan.
Denny Indrayana dampingi perwakilan masyarakat Kalsel temui PBNU. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Persidangan dihadiri oleh Kuasa Hukum dari Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.
ADVERTISEMENT
"Pemohon menilai norma pasal yang telah dimaknai Putusan MK itu tidak memenuhi syarat formil karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman," ujar Kuasa Hukum Denny dan Zainal, Muhamad Raziv Barokah, dalam persidangan.
Pemohon menilai Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimaknai Putusan 90 sarat akan skandal. Pemohon mengungkapkan hal tersebut banyak diungkap oleh sejumlah pemerhati hukum serta tokoh dan pejabat nasional.
"Kehadiran pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai Putusan 90 jelas-jelas adalah bentuk pelembagaan dinasti politik yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dan merusak sistem hukum tata negara sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," jelas Raziv.
Kuasa Hukum Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar usai melakukan persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/11/2023). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
"Menyatakan pembentukan Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang memaknai Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pemohon juga mengajukan petitum dalam provisi pada permohonan tersebut yaitu MK menunda pemberlakuan ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023.
Kemudian menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan pasal tersebut. Lalu memeriksa permohonan ini secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya.
"Serta, Hakim Konstitusi Anwar Usman tidak ikut memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini," pungkas Raziv.
Dalam Provisi:
1. Mengabulkan Permohonan Provisi Para Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023
ADVERTISEMENT
3. Menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023
4. Menyatakan memeriksa Permohonan Para Pemohon secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya
5. Menyatakan memeriksa, mengadili, dan memutus Permohonan Para Pemohon dengan komposisi hakim berbeda dari Putusan 90/PUU-XXI/2023 dengan mengecualikan Yang Mulia Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M. H.
Dalam Pokok Permohonan:
1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan pembentukan Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang memaknai Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
ADVERTISEMENT
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya

Catatan Hakim MK

Ketua Hakim MK Suhartoyo, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat memimpin persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/11/2023). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
Permohonan ini disidangkan oleh majelis hakim pleno. Dipimpin Hakim Suhartoyo dan didampingi Hakim Arief Hidayat dan Hakim Guntur Hamzah.
Dalam persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan masukan terhadap permohonan yang dibacakan tersebut. Arief mengapresiasi permohonan dari para pemohon, sebab pemohon menggunakan pendekatan yang progresif bukan normatif.
"Dalam permohonan ini saya berterimakasih dengan pemohon prinsipal dan para kuasa hukumnya. Kita diajak bersama-sama untuk berpikir yang sifatnya tidak menggunakan pendekatan normatif tapi mencoba dengan pendekatan yang progresif," ujar Arief dalam persidangan.
Menurut Arief, pemohon mengajak para hakim, pemerhati hukum dan masyarakat Indonesia melepas penggunaan metode formalistik legalistik.
ADVERTISEMENT
"Karena itu tadi saya sampaikan kalau kita menggunakan pendekatan yang legalistik dan formalistik pasti para pemohon dan kuasa hukumnya atau bahkan seluruh masyarakat Indonesia, pemerhati hukum terutama hukum tata negara dan yang memperhatikan bagaimana beracara pengujian Undang-Undang di Mahkamah (Konstitusi) itu sudah tau persis (bagaimana hasil akhirnya)," ucap Arief.
"Oleh karena itu saya minta supaya kita bersama-sama menggunakan pendekatan yang lain. Supaya kita bisa keluar dari kondisi yang terjadi akhir-akhir ini. Yang menimpa Mahkamah Konstitusi, yang menimpa putusan Mahkamah Konstitusi, dan menimpa proses bernegara secara demokratis di Indonesia," sambungnya.
Bagi Arief, permohonan dari pemohon masih banyak kelemahannya. Permohonan tersebut harus menggunakan paradigma pendekatan yang progresif.
Jika pendekatan yang digunakan bersifat linier dan bukan pendekatan eksponensial maka perkara akan dapat terlihat jelas kemana arahnya.
ADVERTISEMENT
"Tapi mencoba saudara dengan permohonan ini mau keluar dari situ. Keluarnya itu kuncinya menurut saya pendekatan yang sifatnya out of the box," ungkap Arief.
"Kalau linier kan ini pengujian formil, pengujian formil itu terhadap Undang-Undang yang dibentuk oleh Badan Legislatif. Itu harus memenuhi syarat, apa saja syaratnya anda sudah tahu semua. Tapi ini menguji dengan menggunakan pendekatan formil, pengujian formil terhadap putusan Mahkamah. Itu kan sangat lain, sehingga mari kita bersama-sama tunjukkan, belajar bersama kepada bangsa Indonesia tunjukkan kita bisa," pungkasnya.