MK Nilai Pasal Pemutusan Akses Internet di UU ITE Konstitusional, Ini Alasannya

28 Oktober 2021 19:35 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020).  Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020). Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pemutusan internet oleh pemerintah sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (2b) UU 19 Tahun 2019 tentang ITE tak perlu menggunakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Sebab, proses yang lama dinilai akan menghambat kerja pemerintah dalam memblokir konten-konten negatif yang bisa tersebar di internet.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut termuat dalam pertimbangan yang disampaikan MK di dalam putusan uji materi gugatan nomor 81/PUU-XVIII/2020. Diketahui, seorang warga Jayapura bernama Arnolds Belau dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menggugat Pasal 40 ayat (2b) UU ITE itu, tetapi ditolak oleh MK.
Gugatan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah yang memutus akses internet di Papua saat gelombang demonstrasi bergulir akhir 2019 lalu. Pasal 40 ayat (2b) UU ITE digugat karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 1 ayat (3); Pasal 28D ayat (1); dan Pasal 28F.
Dalam salah satu petitum pemohon, MK diminta menyisipkan norma bahwa pemutusan internet dalam Pasal 40 ayat (2b) di UU ITE harus disertai dengan KTUN.
"Pemohon a quo mendalilkan juga pemutusan akses dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tanpa didahului dengan menerbitkan KTUN secara tertulis merugikan hak konstitusional para pemohon untuk memperoleh informasi dan hak berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945," demikian bunyi pokok permohonan yang dikutip putusan perkara di MK, Kamis (28/10).
ADVERTISEMENT
MK menyatakan dalil itu tak berlandaskan hukum dan menyatakan bahwa pemutusan internet oleh pemerintah dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE tak melalui KTUN.
Menurut Pasal 1 angka 9 UU PTUN, Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Ada pun KTUN ini dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Itu merupakan ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ilustrasi pelanggaran UU ITE. Foto: Shutter Stock
Sebab, kata mahkamah, pola teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini banyak digunakan adalah internet yang merupakan wadah komunikasi digital yang dapat melibatkan siapa pun dengan karakteristik penyebaran informasi elektronik dan dokumen elektronik yang sangat cepat, luas, dan masif dengan tidak mengenal ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
"Apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum tersebut telah terlebih dahulu diakses, sebelum dilakukan pemblokiran maka dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan masif yang dalam batas penalaran yang wajar dapat menimbulkan kegaduhan, keresahan dan/atau mengganggu ketertiban umum," kata mahkamah.
Atas dasar hal tersebut, kata mahkamah, diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh pemerintah untuk dapat sesegera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum.
"Sebab, virtualitas internet memungkinkan konten terlarang yang bersifat destruktif dan masif, yang memiliki muatan yang melanggar hukum, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebar dengan cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja," kata mahkamah.
ADVERTISEMENT
Peran pemerintah dalam menjaga dan membatasi lalu lintas dunia siber dinilai oleh mahkamah sangat diperlukan mengingat karakteristik dari internet tersebut yang mudah membawa dampak buruk bagi masyarakat.
Ilustrasi pelanggaran UU ITE. Foto: Shutter Stock
Oleh karena itu, pemerintah dinilai tidak mungkin untuk menunggu KTUN secara tertulis terbit sebagaimana yang diminta oleh para pemohon dalam petitumnya, baru kemudian melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelanggara eletronik untuk melakukan pemutusan akses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 PP 71/2019.
"Sebab, proses penerbitan KTUN tertulis membutuhkan waktu yang tidak mungkin akan lebih cepat dari waktu sebaran muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang," ucap mahkamah.
"Terlebih, jika muatan/konten dilarang (ilegal) tersebut telah berada di area komunikasi privat maka sebarannya pun semakin tidak terkendali," ungkap mahkamah.
ADVERTISEMENT
Mahkamah menilai jika pemblokiran harus didasarkan penerbitan KTUN tertulis dapat menghambat peran pemerintah dalam memblokir konten yang bertentangan dengan hukum.
"Maka adanya penambahan frasa di atas justru akan menghambat peran pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan muatan/konten dilarang (ilegal)," ujar mahkamah.
Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
MK Tolak Gugatan
Secara garis besar, Arnolds Belau dan AJI, mendalilkan bahwa Pasal 40 ayat (2b) UU ITE bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 1 ayat (3); Pasal 28D ayat (1); dan Pasal 28F. Sehingga dalam petitumnya, meminta menyisipkan norma putusan pengadilan dalam melakukan pemutusan internet.
Berikut norma dalam petitum:
"Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintah atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."
ADVERTISEMENT
Namun, mahkamah menolak petitum itu dan menyatakan bahwa pasal 40 ayat (2b) UU ITE konstitusional dan tak bertentangan dengan undang-undang dasar 1945 baik Pasal 1 ayat (3); Pasal 28D ayat (1); dan Pasal 28F.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dua Hakim Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda dengan tujuh hakim konstitusi lainnya. Keduanya menyatakan bahwa dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE sama sekali tidak termuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses internet.
Padahal, kata keduanya, dalam batas penalaran yang wajar, wewenang yang diberikan dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE kepada pemerintah adalah menyangkut atau berdampak pada pembatasan hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara, sehingga seharusnya juga diatur secara jelas.
ADVERTISEMENT
"Dalam hal ini, norma dalam undang-undang mestinya memberikan kepastian mengenai bagaimana pembatasan hak tersebut dilakukan sehingga warga negara atau lembaga yang terdampak akibat pembatasan hak tersebut mengetahui dasar atau pertimbangan pemerintah memutuskan dan/atau melakukan tindakan pembatasan hak atas informasi dimaksud," kata Saldi Isra.
Saldi menilai, dengan merumuskan konstruksi hukum yang mengharuskan adanya ketentuan bagi pemerintah untuk melakukan pemutusan akses pemerintah melakukan proses secara jelas dapat ditempatkan sebagai bagian dari bentuk etika dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, proses dengan alasan yang jelas dapat pula ditempatkan sebagai bagian bekerjanya mekanisme saling cek dan saling mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang sangat mungkin dari waktu ke waktu penyalahgunaannya akan semakin meningkat seiring dengan kian kuatnya negara dalam menjalankan kewenangannya.
ADVERTISEMENT
"Dalam konteks itu, pemerintah harus dibebani kewajiban menggunakan kewenangan dalam konstruksi hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dengan cara menerbitkan penjelasan secara tertulis dalam melaksanakan wewenang dimaksud," kata Saldi Isra.
Hakim Suhartoyo memimpin sidang uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Di sisi lain, Saldi turut memberikan pertimbangan terkait dengan pemutusan internet harus dengan KTUN sebagaimana petitum pemohon.
Pada dasarnya, ia sepakat dengan 7 hakim konstitusi lainnya bahwa pemutusan internet harus dengan KTUN prosesnya bisa menghambat kinerja pemerintah karena prosesnya yang lama. Namun, ada langkah lain yang bisa dilakukan untuk menjamin hak masyarakat, yakni dengan memberikan pemberitahuan tertulis.
"Kewajiban pemerintah tidaklah harus sama sebagaimana yang dimohonkan Pemohon berupa “setelah menerbitkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis”, tetapi cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun lewat digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik," kata Saldi Isra.
ADVERTISEMENT
"Sebab, bila diwajibkan sebagaimana Petitum yang dimohonkan para Pemohon, tindakan atau keputusan pemerintah demikian sebenarnya telah dapat diuji melalui peradilan tata usaha negara karena sudah meliputi tindakan dan keputusan. Apabila norma a quo dimaknai sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon, hal demikian dapat menutup ruang bagi “tindakan” pemerintah dalam penyelenggaraan negara," pungkas dia.