MK: Pemerintah Perlu Terbitkan Peraturan Pelaksana Pj Kepala Daerah

12 Mei 2022 11:55 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Dalam Negeri telah melantik lima orang sebagai Penjabat (Pj) kepala daerah. Sebab kepala daerah di daerah tersebut telah merampungkan masa bakti selama 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Para Pj tersebut dilantik pada hari ini, Kamis (12/5). Mereka akan menjabat hingga pemilu serentak 2024 dilaksanakan.
Pelantikan ini mendapatkan sorotan dari sejumlah pihak. Sebab, dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wali kota. Salah satunya termaktub dalam putusan nomor 15/PUU-XX/2022.
Dalam putusan tersebut, salah satu isinya, menyebutkan MK menilai perlu dibuatnya aturan pelaksana dalam proses penunjukan Pj kepala daerah. Namun hal ini dinilai oleh sejumlah pihak belum dilakukan hingga saat ini. Terlebih, Kemendagri sudah melantik 5 orang sebagai Pj kepala daerah.
"Perintah MK untuk membuat peraturan teknis penjabat kepala daerah jangan dianggap remeh. Ini bisa berimbas pada legitimasi yang dipimpin penjabat tersebut (terlebih mereka tidak dipilih langsung oleh masyarakat)," kata politikus PKS Mardani Ali Sera dikutip dari akun Twitter pribadinya.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama menjadi sorotan politikus lainnya, yakni Anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus. Dia bahkan membeberkan bahwa ada sejumlah hal yang ditekankan MK dalam proses pemilihan Pj kepala daerah, mulai dari pemetaan kondisi riil hingga memperhatikan kepentingan daerah masing-masing
"Putusan MK itu bukan untuk didiskusikan tapi harus dilaksanakan," tegas politisi PAN ini.
Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Lantas seperti apa sebenarnya pertimbangan MK tersebut?
Dalam pertimbangan putusannya, MK menilai perlu dibuatnya aturan pelaksana dalam Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 dalam pemilihan Pj kepala daerah. Pasal tersebut mengatur soal penunjukan Pj kepala daerah untuk gubernur, bupati, dan wali kota yang masa jabatannya habis sebelum pemilu serentak 2024.
Ada 12 ayat dalam Pasal 201 ini. Ayat 1 hingga 7 menyebutkan soal masa jabatan kepala daerah yang habis dari tahun 2017-2023. Pada ayat 8 hingga 12 barulah diatur ketentuan penunjukan Pj kepala daerah tersebut. Berikut bunyinya:
ADVERTISEMENT
Ayat 8: Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Ayat 9: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Ayat 10: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat 11: Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Wali kota, diangkat penjabat Bupati/Wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat 12: Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), dan ayat (8) diatur dengan Peraturan KPU.
Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Menurut MK, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah, pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah. Pemerintah juga harus melihat kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah serta dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang.
ADVERTISEMENT
Hal itu agar menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024.
Atas pertimbangan itu, MK menilai perlu ada peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016.
Hal tersebut pun ditegaskan oleh MK dalam pertimbangan putusan nomor 67/PUU-XIX/2021 tertanggal 20 April 2022.
Berikut bunyi pertimbangan MK:
"Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.
Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif."
ADVERTISEMENT
Adapun putusan tersebut terkait dengan gugatan yang dilayangkan oleh enam orang pemohon dari unsur mahasiswa, dosen, hingga wiraswasta. Dalam permohonannya juga, mereka meminta agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang masa jabatannya habis di tahun tersebut. Artinya ada perpanjangan masa jabatan sebagai Pj.
Dalam dalil para pemohon, hal tersebut perlu dilakukan agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah dan pejabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan Pilkada Serentak 2024. Sehingga, hak konstitusional para pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh pejabat dari hasil pemilihan umum sebelumnya.
Terkait dalil pemohon tersebut, MK menyatakan bahwa kekhawatiran para Pemohon tersebut dapat dipahami sehingga dalam penunjukan penjabat kepala daerah harus dipertimbangkan secara cermat bahwa penjabat dimaksud mampu menjalankan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan sesuai dengan visi misi RPJP daerah dimaksud.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, penjabat kepala daerah yang diangkat tersebut mempunyai kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kepemimpinan penjabat kepala daerah sesuai dengan ketentuan peralihan tersebut tetap berupaya mencapai agenda pembangunan di daerah yang bersangkutan.
Kendati demikian, gugatan tersebut ditolak MK. Mahkamah menilai gugatan tidak beralasan hukum.
Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Dalam putusannya, MK juga turut mempertimbangkan sejumlah hal dalam pengisian Penjabat kepala daerah. Yakni ketentuan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/wali kota.
MK menyatakan, pengisian jabatan ASN Kepala Daerah sudah diatur dalam sejumlah aturan perundang-undangan. Seperti apabila hendak diduduki oleh prajurit TNI dan anggota Polri, hanya boleh saat mereka sudah pensiun dari jabatannya.
ADVERTISEMENT
Non-PNS pun berpeluang mengisi jabatan pimpinan tinggi Madya sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Jika sudah menjadi mengisi jabatan tersebut, mereka bisa dipilih menjadi Pj kepala daerah.
"Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah," demikian putusan MK.
MK juga memastikan, bahwa Pj kepala daerah bekerja dengan fungsi yang seharusnya. Hal tersebut dikarenakan adanya fungsi-fungsi berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014. Sehingga para Pj wajib melakukan fungsi-fungsi tersebut. Yakni:
ADVERTISEMENT
"Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/wali kota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/wali kota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya," kata MK.
Selain itu, para Pj tersebut dalam menjalankan fungsinya harus netral. Pj kepala daerah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik.
Pj juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara.
ADVERTISEMENT
"Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/wali kota harus dapat bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang," kata MK.
"Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024," kata MK.
Sementara Mendagri Tito Karnavian menyebut bahwa peraturan pelaksana itu hanya bagian dari pertimbangan MK, bukan putusan.
ADVERTISEMENT
Tito tak menjelaskan alasan Kemendagri tak membuat aturan khusus soal Pj sebagaimana permintaan MK. Namun, dia mengeklaim proses penunjukan Pj sudah demokratis.