MK Tak Terima 3 Gugatan Penghapusan Presidential Threshold 20%

20 April 2022 17:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Berulang kali gugatan terkait penghapusan presidential threshold dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berulang kali juga permohonan tersebut ditolak atau bahkan tidak dipertimbangkan pokoknya alias tidak diterima.
ADVERTISEMENT
Teranyar, ada tiga gugatan yang diputus oleh MK terkait dengan penghapusan presidential threshold 20 persen ini. Putusan tersebut dibacakan oleh majelis hakim MK pada Rabu (20/4). Berikut ketiga gugatan tersebut.
Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Gugatan Pertama
Gugatan pertama yang ditolak MK tercantum dalam putusan Nomor 13/PUU-XX/2022. Gugatan ini dilayangkan oleh 7 orang dari berbagai latar belakang seperti wiraswasta dan pengurus rumah tangga yang merupakan Warga Negara Indonesia.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon menyatakan bahwa Pasal 222 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Berikut bunyi pasal 222 tersebut:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”
ADVERTISEMENT
Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut:
“Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”
Sementara pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”
Para pemohon menilai pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 ini merugikan kelompok masyarakat pemilih. Sebab secara teoritis mengurangi jumlah pasangan calon yang berkompetisi dalam pemilu. Jika pasal ini dijadikan inkonstitusional, kata pemohon, calon bisa lebih banyak sehingga persaingan lebih kompetitif.
Para pemohon tersebut meminta pasal 222 di UU Nomor 7 Tahun 2017 itu tidak memiliki kekuatan dasar hukum mengikat.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, MK tidak mempertimbangkan pokok permohonan tersebut. Sebab, para pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan itu. Sehingga, permohonan tersebut tidak dapat diterima.
"Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," demikian putusan MK, yang dibacakan Rabu (20/4).
Gugatan Kedua
Gugatan kedua dibacakan dalam putusan nomor 20/PUU-XX/2022. Gugatan ini diajukan oleh empat orang, salah satunya Marwan Batubara.
Gugatan ini juga mempermasalahkan soal Pasal 22 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang presidential threshold. Para pemohon menilai pasal tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945 yakni:
Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pokok permohonan disampaikan para pemohon. Mulai dari penilai pasal soal presidential threshold ini menghilangkan atau mereduksi hak konstitusional parpol peserta pemilu hingga menyebabkan polarisasi di masyarakat.
Para pemohon meminta agar pasal 222 UU Nomor 17 Tahun 2017 itu tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Namun demikian, MK menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sehingga mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para pemohon.
"Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," demikian putusan MK.
Gugatan Ketiga
Gugatan ketiga ini dilayangkan oleh lima orang anggota DPD RI. Mereka adalah Akbar; Muhammad J Wartabone; Eni Sumarni; M Syukur; dan Abdul Rachman Thaha.
Gugatan ini juga terkait dengan Pasal 222 UU Nomor 17 Tahun 2017 yang dinilai bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Pasal tersebut yakni:
ADVERTISEMENT
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945; Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; Pasal 28J UUD 1945; Pasal 6 ayat (2) UUD 1945; Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sepanjang mengenai 'partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum'; Pasal 6 A ayat (2) sepanjang frasa mengenai 'partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum'; Pasal 6A ayat (2) UUD 1945; 6A ayat (5) UUD 1945; PASAL 22E Ayat (1) UUD 1945; 22E ayat (2) UUD NRI 1945.
kumparan mengambil salah satu contoh permohonan yang dinilai pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan pasal dalam UUD 1945. Para pemohon menilai itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Berikut bunyinya pasal 6A:
“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum”
Para pemohon menilai, ketentuan Pasal 6A ayat (2) bukan lagi menjadi open legal policy, melainkan close legal policy, karena sudah disebutkan syarat calon presiden dan wakil presiden agar dapat dicalonkan.
Maka dengan demikian, kata para pemohon, merumuskan norma “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya” sebagaimana ketentuan pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Adalah bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Para pemohon meminta agar pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tesebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Namun demikian, MK menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sehingga mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para pemohon.
"Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," demikian putusan MK.