MK Tak Terima Gugatan Rizal Ramli soal Hapus Presidential Threshold 20%

14 Januari 2021 13:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rizal Ramli di Gedung KPK, Jumat (19/7). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rizal Ramli di Gedung KPK, Jumat (19/7). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima (niet ontvankelijke verklaard) gugatan eks Menko Maritim, Rizal Ramli, yang meminta syarat ambang batas capres atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen di Pasal 222 UU Pemilu dihapus.
ADVERTISEMENT
Gugatan nomor 74/PUU-XVIII/2020 itu diajukan Rizal Ramli selaku pemohon I bersama seorang warga negara bernama Abdulrachim Kresno selaku pemohon II.
MK tak menerima gugatan tersebut lantaran Rizal dan Abdulrachim tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Sehingga, MK tak mempertimbangkan pokok permohonan tersebut.
"Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK, Anwar Usman, saat membacakan putusan di ruang sidang, Jakarta, Kamis (14/1).
MK menyatakan Rizal tak memiliki kedudukan hukum lantaran tidak mampu membuktikan bahwa Pasal 222 UU Pemilu merugikannya secara konstitusional.
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Sementara dalam permohonan tersebut, Rizal mengaku pernah didekati beberapa parpol untuk maju di Pilpres 2009. Namun beberapa parpol itu meminta Rizal membayar Rp 300 miliar, imbas adanya aturan ambang batas presiden yang mengharuskan parpol berkoalisi dengan parpol lain. Sehingga ia berharap MK menghapus syarat tersebut dan bisa maju di Pilpres 2024 tanpa politik uang.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, MK menyatakan Rizal tak menyertakan bukti omongannya pernah didekati beberapa parpol dan dimintai uang.
"Tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan mahkamah bahwa pemohon I pernah dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai capres. Terlebih pemohon I tidak menjelaskan parpol mana saja yang memberikan dukungan ke pemohon 1 dalam Pilpres 2009," ucap Hakim MK, Arief Hidayat.
Hakim Mk Arief Hidayat pada saat sidang lanjutan Sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
"Seandainya pemohon I memang benar didukung parpol atau gabungan parpol, dalam batas penalaran yang wajar pemohon I mestinya menunjukkan bukti dukungan itu kepada mahkamah, atau menyertakan parpol pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan pemohon I," lanjut Arief.
Sementara itu Abdulrachim dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum lantaran argumen bahwa Pasal 222 UU Pemilu membatasi calon yang bertarung di Pilpres dianggap tidak beralasan. Menurut MK, Pasal 222 UU Pemilu itu tidak membatasi berapa paslon yang bisa ikut Pilpres.
ADVERTISEMENT
"Norma itu tidak membatasi jumlah paslon yang mengikuti Pilpres, permasalahan berapa paslon yang mengikuti syarat mengikuti Pilpres tidak ditentukan norma yang diajukan pemohon II. Sehingga bukanlah persoalan norma, melainkan implementasi atas norma yang dimaksud. Terlebih norma yang diajukan para pemohon tidak menghalangi pemohon bebas memberikan suaranya kepada paslon mana pun," ucap Arief.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

4 Hakim MK Beda Pendapat

Meski demikian, putusan tersebut tidak bulat. Terdapat 4 hakim MK yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Keempat hakim MK itu tak setuju Abdulrachim dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum.
Hakim Saldi Isra menilai Abdulrachim telah memaparkan dampak Pasal 222 UU Pemilu telah membuat Pilpres 2014 dan 2019 hanya diikuti 2 paslon. Sehingga pemilih dirugikan karena terbatasnya calon presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
"Fakta empiris akibat ambang batas penyelenggaran Pilpres 2014 dan 2019 hanya memunculkan 2 paslon dengan capres yang sama yaitu Jokowi dan Prabowo. Penerapan ambang batas dapat menjadi alat ampuh untuk menyingkirkan pesaing dan calon penantang di Pilpres," ucap Saldi.
"Berdasarkan argumentasi tersebut di atas demi melindungi hak konstitusional warga negara, kami berpendapat tidak ada alasan yang mendasar untuk menyatakan pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum. Karena itu seharusnya MK memberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, dengan diberikannya kedudukan hukum bagi pemohon II, MK seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan pemohon II," tutup Saldi.