MK Tak Terima Gugatan soal Presidential Threshold WNI Diaspora dan Partai Ummat

29 Maret 2022 15:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus dua permohonan judicial review (JR) terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait Presidential Threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden. Gugatan tersebut yakni permohonan dari 27 WNI diaspora dan Partai Ummat.
ADVERTISEMENT
Pembacaan putusan tersebut dilakukan majelis hakim MK pada hari Selasa (29/3) siang. Berikut putusannya:

Gugatan Diaspora WNI

Permohonan ini diajukan oleh 27 WNI Diaspora. Mereka berada di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Belanda, Prancis, Swiss, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Australia, dan Qatar. Mereka mengajukan permohonan gugatan Pasal 222 tentang Presidential Threshold dalam UU tentang Pemilu yang dinilai inkonstitusional.
Mereka menunjuk Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun dan Denny Indrayana, menjadi kuasa hukum mereka.
Namun demikian, dari 27 pemohon 19 di antaranya dinyatakan oleh MK permohonannya cacat formil. Sebab, belum menyertakan legalitas keberadaan mereka di luar negeri berupa keterangan dari KBRI di masing-masing negara.
Sementara kedelapan pemohon lainnya pun dinilai oleh hakim tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sehingga Mahkamah tidak menerima gugatan tersebut dengan alasan cacat formil.
ADVERTISEMENT
Adapun yang diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan yakni:
Gugatan yang diajukan diaspora sebagai perorangan. Namun terkait kedudukan hukumnya, diaspora ini menyatakan terdapat kerugian konstitusional terkait hak untuk dipilih dan memilih. Majelis menilai hak untuk memilih para diaspora ini sudah terpenuhi.
Sebab, pada 2019 lalu saat pemilihan legislatif, para diaspora ini ikut memilih dan mengetahui bahwa hasil tersebut akan menjadi modal penentuan partai politik menentukan kandidat untuk pemilu 2024 berdasarkan presidential threshold yang sudah ditentukan.
"Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional in casu terhambatnya hak untuk memilih yang dialami oleh para pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum," kata hakim konstitusi Arief Hidayat, Selasa (29/3).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, para pemohon mendalilkan mengalami kerugian konstitusional karena keterbatasan memilih calon presiden dan wakil presiden karena adanya Presidential Threshold. Mahkamah menyatakan itu bukanlah sebuah keterbatasan yang kemudian menjadi kerugian konstitusional.
"Menurut Mahkamah pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan mengikuti pemilihan umum presiden dan wakil presiden," kata hakim Arief.
"Dengan demikian, selain pada pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 ayat 7/2017 tidak terdapat hubungan sebab akibat antara norma a quo dengan anggapan kerugian hak konstitusional para pemohon untuk memilih," sambung hakim Arief.
Sementara, hak untuk menjadi kandidat untuk dipilih yang didalilkan pemohon, mahkamah menekankan lagi soal konteks pilpres harus mendapatkan dukungan partai politik untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Sehingga perorangan tidak bisa mengajukan hak untuk dipilih. Sementara persyaratan dukungan parpol ini tidak bisa dipenuhi oleh pemohon. Sehingga, menurut hakim konstitusi, tidak ada kerugian konstitusional untuk dipilih sebagai calon presiden atau wakil presiden.
"Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," kata Arief Hidayat.
"Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata hakim Anwar Usman.

Gugatan Partai Ummat

Amien Rais saat peresmian kantor DPP Partai Ummat. Foto: dok YouTube Partai Ummat Official
Gugatan Partai Ummat diwakili oleh Ketum Ridho Rahmadi dan Sekjen Muhajir. Sementara kuasa hukumnya adalah Refly Harun, Denny Indrayana, dkk.
Gugatan Partai Ummat ini juga tak diterima oleh hakim atas tak adanya landasan kedudukan hukum. Sebab, kata majelis hakim, Partai Politik yang memiliki landasan hukum untuk melakukan permohonan adalah yang sudah pernah menjadi peserta pemilu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, Partai Ummat ini baru terdaftar di Kemenkumham dan belum pernah diverifikasi oleh KPU. Baik secara administrasi maupun faktual sebagaimana halnya persyaratan untuk menjadi parpol peserta pemilu.
Oleh karena itu, lanjut majelis, Partai Ummat belum dapat dinyatakan sebagai parpol peserta pemilu sebelumnya. Sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional pemohon dalam melakukan permohonan.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," kata hakim konstitusi Aswanto.
"Menimbang meskipun mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," sambung dia.
Mahkamah Konstitusi pun akhirnya menyatakan permohonan Partai Ummat terkait Presidential Threshold tak dapat diterima. Pokok permohonannya pun tidak dipertimbangkan oleh majelis.
ADVERTISEMENT
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," pungkas Anwar Usman.