MK Tolak Gugatan Denny Indrayana yang Minta Batalkan Putusan 90

16 Januari 2024 14:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang diajukan oleh Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. MK menolak gugatan uji formil terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat maju capres-cawapres.
ADVERTISEMENT
Adapun dalam gugatan tersebut, keduanya mempermasalahkan soal putusan nomor 90 yang terkait Pasal 169 huruf 1 uu 7/2017. Sebab, putusan tersebut diketok dalam kondisi hakim MK melakukan pelanggaran etik, bahkan salah satunya Anwar Usman disanksi etik berat.
Meski demikian, MK menolak gugatan dari Denny dan Zainal tersebut.
"Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di MK, Selasa (16/1).
Apa pertimbangannya?
Dalam gugatannya, Denny dkk menilai proses pembentukan Pasal 169 huruf 1 uu 7/2017 dalam putusan nomor 90 bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga, salah satu yang dimohonkan oleh Denny kepada MK yakni menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Denny meminta MK memerintahkan kepada penyelenggara pemilihan umum, presiden, dan wapres RI, tahun 2024 untuk mencoret peserta pemilu yang mengajukan pendaftaran berdasarkan pada Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut. Dalam hal ini Gibran Rakabuming Raka.
ADVERTISEMENT
Denny juga meminta, menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti dalam rangka melaksanakan putusan ini dengan tidak menunda pelaksanaan pemilu 2024.
Namun menurut Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, putusan MK tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah meskipun dalam proses pengambilan putusan yang dilakukan oleh para hakim konstitusi terbukti bahwa salah seorang hakim yang ikut memutus perkara tersebut melanggar etik.
"Hal tersebut tidak serta merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah atau batal," kata Guntur Hamzah.
Kemudian, dalil Denny dkk yang menyatakan pembentukan norma pasal 169 huruf 1 uu 7/2017 sebagaimana dibuat melalui putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil karena dalam penyusunannya bertentangan dengan pasal 1 ayat (1), pasal 1 ayat (2), pasal 1 ayat (3), pasal 24 ayat (1), pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta pasal 17 ayat (5), dan ayat 6 UU 48/2009, menurut MK adalah tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menjawab pertanyaan wartawan setelah resmi menjadi hakim konstitusi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/11/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Kemudian, Denny dkk juga mendalilkan agar mahkamah melakukan judicial activism dan menggunakan hukum progresif sebagai pendekatan utama dalam memeriksa mengadili dan memutus perkara a quo.
ADVERTISEMENT
Denny mengacu pada salah satu pendekatan yang juga dikenal dan dianut dalam UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (1) dan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, di mana kedua pasal tersebut telah menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya menegakan hukum, namun juga keadilan.
Terkait itu, MK menilai pengujian formil semacam yang didalilkan oleh Denny dkk belum dikenal dalam sistem hukum di Indonesia.
"Terlebih lagi Mahkamah tidak mungkin mempersamakan proses pembentukan UU dengan proses pengambilan putusan dalam RPH ketika memutus untuk menilai konstitusionalitas norma yang sejatinya merupakan bagian materiil dari suatu UU," ucap Guntur Hamzah.
Namun demikian, terlepas dari argumentasi para pemohon yang menyatakan bahwa MK dalam perjalanannya seringkali melakukan langkah hukum progresif seperti dengan menyatakan sebuah norma dalam UU konstitusional secara bersyarat ataupun inkonstitusional secara bersyarat, menurut MK hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan untuk juga dijadikan acuan dalam memutus perkara.
ADVERTISEMENT
Menurut Guntur Hamzah, pola pengujian formil terhadap suatu norma yang merupakan hasil dari sebuah putusan MK selain tidak lazim juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum baru.
"Sehingga kepastian hukum yang adil sebagaimana dalam UUD 1945 yang seharusnya Mahkamah jaga sebagai the guardian of constitution malah justru terabaikan," ucapnya.
"Dalam keadaan demikian, khusus persoalan a quo, mahkamah pada akhirnya harus dapat menahan diri untuk tidak aktif melakukan langkah hukum progresif ataupun melakukan judicial activism sebagaimana yang diinginkan oleh para pemohon," sambungnya.
Dengan demikian, lanjut Guntur, proses pengambilan keputusan dalam putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak dapat dipertentangkan dengan UU 48/2009.
"Oleh karena itu, permohonan para pemohon berkenaan dengan pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaknai oleh putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak mengandung kecatatan formil sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai oleh putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan karenanya permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT