MK Tolak Wajibkan Insentif Tenaga Medis yang Tangani Wabah, 3 Hakim Tak Sepakat

25 November 2020 20:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas medis dengan APD lengkap bersiap untuk mengambil sampel swab dari warga di pasar tradisional di Bogor, Jumat (8/5). Foto:  REUTERS / Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas medis dengan APD lengkap bersiap untuk mengambil sampel swab dari warga di pasar tradisional di Bogor, Jumat (8/5). Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular agar pemberian insentif kepada petugas yang terlibat penanganan wabah dinyatakan wajib. Demikian putusan MK dalam perkara nomor 36/PUU-XVIII/2020.
ADVERTISEMENT
MK menolak pula permintaan agar maksud ketersediaan sumber daya di Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan termasuk APD, insentif tenaga medis, santunan bagi keluarga tenaga medis yang meninggal, dan sumber daya pemeriksaan.
Adapun gugatan tersebut diajukan Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) selaku pemohon I, dr. Eva Sri Diana selaku pemohon II, Ketua Tim Mitigasi PB IDI dr. Mohamad Adib Khumaidi selaku pemohon III, dr. Ayu selaku pemohon IV, dan dr. Aisyah selaku pemohon V.
"Mengadili, dalam pokok permohonan. Menyatakan permohonan pemohon I tidak dapat diterima. Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman, saat membaca putusan di ruang sidang, Jakarta, Rabu (25/11).
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Mengenai uji materi Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular, para pemohon meminta MK menetapkan pemberian penghargaan kepada petugas medis sebagai kewajiban. Para pemohon meminta frasa 'dapat' di Pasal 9 ayat (1) diubah menjadi 'wajib'. Sebab jika tidak, pemberian insentif menjadi tidak pasti. Berikut bunyi pasal tersebut:
ADVERTISEMENT
Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya.
Namun permohonan tersebut ditolak MK. Majelis konstitusi menyatakan permohonan itu sesungguhnya hanya persoalan implementasi norma. Hakim konstitusi, Wahiduddin Adams, menyatakan meski berbunyi 'dapat', namun implementasinya bisa menjadi wajib.
"Norma 'dapat' mengandung sifat diskresioner. Karena sifat diskresioner tersebut, maka norma 'dapat' dalam pelaksanaannya dapat menjadi wajib untuk direalisasikan karena ada faktor-faktor yang mengharuskannya, in casu, risiko yang harus ditanggung petugas kesehatan tertentu dalam upaya menanggulangi wabah penyakit menular," kata Wahiduddin dalam pertimbangan putusan.
Hakim Wahiduddin Adams memimpin sidang uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ia menyatakan, UU Wabah Penyakit Menular juga mendelegasikan pemberian penghargaan kepada tenaga medis agar diatur di peraturan di bawah UU alias peraturan teknis. Sebab UU tersebut cakupannya luas, sehingga diberikan fleksibilitas kepada pembuat kebijakan.
ADVERTISEMENT
Fleksibilitas tersebut, kata Wahiduddin, tampak ketika Indonesia dilanda pandemi COVID-19 yang turut berdampak terhadap keselamatan petugas medis. Sehingga Kemenkes menerbitkan beberapa keputusan yang mengatur pemberian insentif dan santunan kematian kepada tenaga medis. Bahkan beberapa tenaga medis yang gugur diberi penghargaan berupa Bintang Jasa.
"Terhadap dalil para pemohon yang menyatakan tidak adanya kejelasan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang menanggulangi pandemi COVID-19 karena tidak dirumuskannya norma Pasal 9 UU 4/1984 dengan kata 'wajib', sehingga menjadi 'wajib' diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya merupakan dalil yang tidak berdasar. Karena ternyata amanat Pasal 9 UU 4/1984 meskipun dirumuskan dengan kata 'dapat', telah direalisasikan melalui berbagai regulasi dalam rangka memberikan penghargaan berupa jaminan insentif dan santunan kematian, bahkan penghargaan Bintang Jasa," jelasnya.
Majelis Hakim MK Enny Nurbaningsih memberikan paparan dalam sidang pendahuluan uji formil Undang-Undang KPK di Gedung MK, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Adapun mengenai uji materi Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan, MK menyatakan apabila permohonan dikabulkan, akan mempersempit pengertian ketersediaan sumber daya dalam penanganan wabah.
ADVERTISEMENT
Padahal sumber daya penanganan wabah tak hanya soal APD, insentif tenaga medis, santunan bagi keluarga tenaga medis yang meninggal, dan sumber daya pemeriksaan.
"Apabila petitum para pemohon dikabulkan berkenaan dengan pemaknaan frasa 'ketersediaan sumber daya yang diperlukan' dalam Pasal 6 UU 6/2018 dimaknai menjadi ketersediaan alat pelindung diri, insentif bagi tenaga medis, santunan bagi keluarga tenaga medis dan sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat, hal tersebut justru akan mempersempit serta menimbulkan ketidakpastian hukum," ucap hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih.
Ketua Majelis Hakim Panel Mahkamah Konstitusi Aswanto (tengah) memimpin sidang perdana pengujian Perppu Penanganan COVID-19 di Mahkamah Konstitusi. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

3 Hakim MK Tak Sepakat

Atas putusan tersebut, sebanyak 3 dari 9 hakim MK menyatakan tak sependapat, khususnya mengenai putusan soal Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular. Ketiga hakim tersebut yakni Aswanto, Suhartoyo, dan Saldi Isra.
ADVERTISEMENT
"Mahkamah dalam putusannya menolak permohonan yang diajukan para pemohon. Terkait dengan putusan tersebut, kami, Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Aswanto memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion)" ucap Saldi.
Saldi menyatakan, pemberian penghargaan seperti insentif bagi tenaga medis yang berjuang menangani wabah seharusnya diwajibkan.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Tingginya tuntutan profesionalitas kerja bagi dokter dan tenaga medis lainnya dengan risiko kerja yang tidak dapat diperkirakan yang dapat berujung berkabung nyawa, negara harus memastikan bahwa jaminan dalam segala bentuknya terhadap mereka," kata Saldi.
Ketiga hakim tersebut kemudian menjelaskan alasannya dalam 4 pertimbangan.
Pertama, penyediaan tenaga kesehatan yang profesional juga bersangkut paut dengan peningkatan SDM dan penghargaan yang diberikan kepada tenaga-tenaga kesehatan yang profesional. Penghargaan dapat berupa penghargaan secara materi maupun berupa penghargaan non-materi.
ADVERTISEMENT
"Dalam konteks penghargaan secara materi, negara berkewajiban menyediakan gaji atau pendapatan yang sesuai dengan tuntutan kerja profesional yang dialamatkan kepada setiap tenaga kesehatan, di mana salah satunya adalah dokter," tutur Saldi.
Petugas medis dengan APD lengkap bersiap untuk mengambil sampel swab dari warga di pasar tradisional di Bogor, Jumat (8/5). Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
Pertimbangan kedua, ketiga hakim MK menyadari para tenaga medis telah mendapatkan hak dasarnya seperti gaji. Namun menurut Saldi, dalam menjalankan penanganan pandemi, negara tidak cukup hanya menghargai dengan memposisikan bahwa para tenaga medis telah digaji.
"Anggapan demikian merupakan sesuatu yang tidak adil atas tugas yang dibebankan kepada para petugas tertentu dengan penghargaan yang mereka terima. Sebab, dengan tingkat risiko yang sangat tinggi, termasuk risiko berkabung nyawa, menjadi tidak masuk akal jika hanya dihargai hanya dengan sebatas gaji standar yang biasa diterima," kata Saldi.
ADVERTISEMENT
"Dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya guna menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya di saat pandemi, negara juga mesti menyediakan insentif yang setara dengan tingkat risiko yang dihadapi setiap warga negara yang menjalankan tugas negara dalam perang menghadapi pandemi," lanjutnya.
Alasan ketiga, Saldi mengatakan kebijakan berbentuk fakultatif atau diskresioner dalam frasa 'dapat' terhadap pemberian penghargaan kepada tenaga medis, merupakan kebijakan yang tidak menghargai derajat kemanusiaan.
Petugas medis dengan APD lengkap bersiap untuk mengambil sampel swab dari warga di pasar tradisional di Bogor, Jumat (8/5). Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
"Mestinya dengan tingkat dan beban risiko yang dihadapi, kebijakan negara terhadap mereka yang terdampak karena melaksanakan penanggulangan wabah, termasuk wabah pandemi COVID-19, tidak dapat ditempatkan sebagai kebijakan yang bersifat pilihan dan harus bersifat imperatif," ucapnya.
"Sekalipun pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan dalam menjalankan diskresi norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 dalam menghadapi pandemi COVID-19, harus tetap disadari bahwa kebijakan tersebut lahir dari norma yang bersifat fakultatif, bukanlah dari norma yang bersifat imperatif. Boleh jadi dan amat mungkin, dalam hal norma a quo dirumuskan dengan konstruksi imperatif, para petugas tertentu yang merasa terancam dengan dampak pandemi COVID-19 akan bekerja dalam suasana yang jauh nyaman karena lebih terlindungi," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Alasan keempat, kata Saldi, UU Wabah Penyakit Menular yang sudah berusia 36 tahun, tentu tidak adaptif lagi terhadap perkembangan wabah penyakit menular serta tanggung jawab negara terhadap jaminan terhadap pelayanan kesehatan.
Suasana rapid tes dan swab wisatawan di Puncak. Foto: kumparan
"Bahkan, jikalau dibaca secara saksama substansi UU 4/1984, peristilahan pandemi belum dikenal sama sekali. Selain itu, perihal tanggung jawab negara, UU 4/1984 belum menyentuh semangat tanggung jawab negara dalam jaminan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaktubkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945," tutupnya.
Meski ada 3 hakim yang berbeda pendapat, tapi mayoritas hakim tetap menyatakan bahwa gugatan ditolak.