Mubeng Beteng: Kontemplasi dalam Sunyi di Malam Satu Suro

23 Juli 2023 10:55 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Bagas Adhita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Bagas Adhita/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lonceng di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbunyi 12 kali. Itu artinya waktu telah menunjukkan pukul 12 malam. Bunyi lonceng itu sekaligus jadi tanda bahwa ratusan abdi dalem dan ribuan masyarakat akan menembus dinginnya malam, menjalankan Lampah Budaya Mubeng Beteng.
ADVERTISEMENT
Mereka yang ikut tertib berjalan kaki dari Kamandhungan Lor atau Keben [sisi dalam keraton]. Mengitari benteng Keraton Yogyakarta, melewati Jalan Kauman, Jalan H Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Jalan MT Haryono, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan kembali ke Keben. Jalan kaki dalam keheningan itu ditempuh sekitar 5 kilometer.
Sebelum Mubeng Beteng dimulai, ribuan masyarakat sudah berkumpul di Keben. Di depan Bangsal Pancaniti, para abdi dalem melantunkan macapat [tembang puisi tradisional Jawa] sejak pukul 21.00 WIB. Abdi Dalem Kaji pun turut memimpin doa. Suasana begitu khusyuk dan khidmat.
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Kepala Sekolah Macapat dan Aksara Jawa Kawedanan Kridhamardawa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono, menyebut kegiatan ini bukanlah acara yang diinisiasi Sri Sultan atau Hajad Dalem Keraton. Menurutnya, acara ini adalah Hajad Kawula Dalem alias diprakarsai masyarakat umum dan para abdi dalem.
ADVERTISEMENT
"Ini murni kegiatan dari masyarakat, tetapi didukung, diizinkan oleh Sri Sultan. Kemudian didukung dengan Dana Keistimewaan atau Danais," kata Projosuwasono yang juga bertindak sebagai sekretaris 2 di acara Mubeng Beteng, Rabu (19/7).
Pada tahun ini, peringatan satu Suro di Keraton Yogyakarta berbeda dengan Keraton Solo maupun kalender nasional. Di Keraton Solo, 1 Suro 1957 jatuh pada Selasa 18 Juli 2023 sekitar pukul 18.00 WIB (Selasa malam Rabu). Sementara di Keraton Yogyakarta, 1 Suro 1957 jatuh pada Rabu 19 Juli 2023 sekitar pukul 18.00 (Rabu malam Kamis).
Kepala Sekolah Macapat dan Aksara Jawa Kawedanan Kridhamardawa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Pergantian hari pada kalender Jawa lazimnya memang dihitung saat matahari tenggelam atau sekitar pukul 18.00. Ini berbeda dengan kalender masehi yang pergantian harinya terjadi pada tengah malam pukul 00.00. Menurut kalender Jawa, tahun baru kali ini adalah tahun 1957.
ADVERTISEMENT
Menurut Projosuwasono, perbedaan satu Suro antara Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta adalah hal yang umum. Hal ini, kata dia, bisa terjadi karena Keraton Yogyakarta menggunakan kalender Sultan Agungan, bukan kalender hijriah.
"Kalender Sultan Agungan itu yang dianut oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kita ketahui bahwa kalender Sultan Agungan dibuat oleh Sultan Agung pada tahun 1555 yang lalu sebagai gabungan antara tahun hijriah dengan tahun saka," katanya.
Suasana malam satu Suro di Yogyakarta. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
"Kemudian ada tahun Jawa istilahnya. Sementara tahun Jawa itu hanya ada delapan. Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jumakir. Itu dapat dikatakan satu windu, delapan tahun. Tetapi angkanya, angkanya yang bertambah-bertambah. Sekarang tahunnya yang akan datang nanti itu tahun Jimawal angkanya 1957 itu. Itu sudah pasti harinya kalau tahun jimawal itu mesti harinya Kamis Pahing, tidak boleh tidak," lanjut dia.
ADVERTISEMENT

Makna Mubeng Beteng

Menurut Projosuwasono, Mubeng Beteng adalah tradisi lama. Idenya diambil dari Abdi Dalem Kemit Bumi. "Abdi dalem ini adalah abdi dalem yang menjaga keamanan. Kemudian itu tradisi. Kemudian keliling beteng untuk merefleksi itu setiap 1 Suro diadakan Mubeng Beteng," katanya.
Secara umum, tak ada persiapan khusus yang dilakukan abdi dalem karena ini adalah acara rutin tahunan. Terlebih, kata dia, bukan kemeriahan yang dicari dalam Mubeng Beteng, peserta justru disarankan untuk tak bicara selama berjalan kaki kurang lebih 2 jam.
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Bagas Adhita/kumparan
"Ketika masyarakat keliling beteng itu diharapkan tidak hura-hura. Justru selama mubeng beteng ini kita diharapkan untuk memanjatkan doa. Doa selama ini kita diberikan anugerah kesehatan dan sebagainya juga berdoa untuk waktu-waktu yang akan datang harapannya akan lebih baik dari pada tahun-tahun yang lalu," katanya.
ADVERTISEMENT
Berdiam diri selama acara berlangsung kuga bukan tanpa tujuan. Mereka diminta untuk berdoa di dalam hati sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Dalam diam itu pula diharapkan tiap manusia bisa berintrospeksi.
"Bukan berarti diam tetapi diharapkan memperbanyak membaca doa. Silakan yang Katolik ya Katolik, yang Islam ya Islam, diserahkan masing-masing," katanya.
Muklis Hadi, peserta Mubeng Benteng Yogyakarta saat malam satu Suro. Foto: Faiz Zulfikar/ Kumparan
Salah seorang peserta Mubeng Beteng, Muklis Hadi, mengaku sengaja datang dari Demak ke Yogyakarta untuk ikut tradisi tersebut. Ini merupakan kali pertama dirinya larut berdiam diri bersama ribuan orang. Ia memilih berselawat selama perjalanan. Kata dia, ada energi spiritual yang dia rasakan saat berjalan.
"Ada hawa sejuk yang saya rasakan tadi," katanya.
Tak hanya masyarakat Jawa Tengah atau Yogyakarta, Ika yang berasal dari Indramayu, Jawa Barat, juga tertarik ikut Mubeng Beteng. Meski bukan orang Jawa, dia merasa bangga dengan tradisi ini.
ADVERTISEMENT
"Ikut melestarikan kebudayaan di Yogya. Selama berdiam diri yang saya lakukan pribadi salawat," pungkasnya.
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Antusiasme masyarakat yang mengikuti tradisi ini memang tinggi. Keraton mencatat ada 4 ribu orang yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Itu juga tak lepas dari acara Mubeng Beteng yang tidak dilaksanakan karena pandemi COVID-19. Sementara itu, abdi dalem hanya berdoa di dalam keraton saat 1 Suro.
"Ketika pandemi kita tidak diperkenankan oleh Ngarso Dalem Sri Sultan. Tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan (mengundang massa), tapi tetap diperbolehkan menyambut tahun baru, tetapi hanya memanjatkan doa saja dengan doa-doa tanpa acara mubeng beteng," kata Projo.

Harus Terus Dilestarikan

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, mengatakan Mubeng Beteng adalah tradisi yang terus dilestarikan. Menurutnya, tradisi tersebut juga sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kemendikbudristek.
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat Jawa, kata dia, tahun baru selalu dimaknai kesederhanaan dan rasa keprihatinan. Oleh sebab itu, lanjutnya, masyarakat berkontemplasi merenungi dan mengingat alam semesta.
"Mungkin kita sudah terdistorsi tahun baru itu euforia. Tapi sebenarnya kalau orang Jawa memasuki tahun baru umurnya semakin berkurang, sehingga semakin akan diingatkan terhadap keprihatinan kewaspadaan dan ingat kepada Tuhan YME," kata Dian.
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Senada dengan Dian, Ketua Paguyuban Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kusumanegara, mengatakan tahun baru Jawa memang tak seperti Eropa yang penuh pesta. Tahun baru Jawa, kata dia, adalah kontemplasi menyelami diri atas apa yang telah terjadi dan apa yang akan datang.
Tahun ini, Sri Sultan mengizinkan Mubeng Beteng kenbali digelar seperti semula. Tak pelak, ribuan orang datang ke Keben untuk ikut bersama-sama memaknai satu Suro. "Ada 4.000 warga masyarakat yang ikut dalam kegiatan ini," kata Kusumanegara.
ADVERTISEMENT
"Semoga tahun yang akan datang lebih baik dari tahun sebelumnya. Ini yang kemudian bahwa ada kegiatan yang bersifat spiritual berdoa kepada Tuhan, agar tahun yang akan datang lebih baik dari sebelumnya," pungkasnya.