Muhammadiyah Desak Jokowi Cabut Pernyataan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak

27 Januari 2024 20:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua MHH PP Muhammadiyah Trisno Raharjo di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (13/6). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua MHH PP Muhammadiyah Trisno Raharjo di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (13/6). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataan menteri hingga presiden boleh berkampanye dan memihak di Pemilu 2024. Pasalnya, pernyataan itu menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan.
ADVERTISEMENT
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, mengatakan, pernyataan Jokowi ini tidak bisa hanya dilihat dari kacamata UU Pemilu.
Meski dalam UU Pemilu dijelaskan presiden boleh kampanye dengan catatan tidak menggunakan fasilitas negara, dengan mengacu UU Pemilu Pasal 281 dan 299.
“Pernyataan Presiden Jokowi itu tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata, tapi juga dengan optik yang lebih luas, yakni dari sudut pandang filosofis, etis dan teknis,” kata Trisno kepada wartawan, Sabtu (27/1).
Presiden Jokowi usai bermain bola bersama anak-anak di Lapangan Gamplong, Kapanewon Moyudan, Kabupaten Sleman, Sabtu (27/1/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Trisno mengatakan, dari sudut pandang normatif adalah benar bahwa Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.
“Tetapi pasal tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang terpisah dan tercabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Trisno menjelaskan, pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekadar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan juga harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat sesuai Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
Oleh sebab itu, pendidikan politik masyarakat tidak bisa tercapai jika presiden dan wakil presiden yang aktif menjabat kemudian mempromosikan salah satu kontestan.
“Pernyataan Jokowi bahwa presiden dibenarkan secara hukum untuk berkampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan pemilu itu sendiri,” papar Trisno.
Trisno menambahkan, dari sudut pandang filosofi, presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat, yang mana pada dirinya ada tanggungjawab moral dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu.
ADVERTISEMENT
Atas dasar sudut pandang tersebut, maka presiden berkewajiban memastikan penyelenggaran Pemilu berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas.
“Sebuah jabatan publik terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi, pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu, sehingga seharusnya, memang tidak ada aktivitas lain selain yang melekat pada jabatannya," ucap dia.
Presiden Joko Widodo menyampaikan aturan soal presiden boleh kampanye di Istana Bogor, Jumat (26/1/2024). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Sementara dari sudut pandang etis dan teknis, sumpah jabatan penyelenggaraan negara, termasuk presiden adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Kesetiaan itu, harus diwujudkan dalam segala kegiatannya, meski presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi presiden.
“Artinya Jokowi sebagai presiden wajib tunduk pada rakyat, bukan pada partai politik pengusung. Di luar itu Jokowi akan selalu dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun,” tegasnya.
Kuasa hukum PP Pemuda Muhammadiyah dari Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Rahardjo. Foto: Arfiansyah Panji P/kumparan

Enam Sikap Muhammadiyah

ADVERTISEMENT
Trisno kemudian menyampaikan enam sikap PP Muhammadiyah. Berikut enam sikap Muhammadiyah:
"Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan pemilu yang tensinya semakin meninggi," ucap dia.
ADVERTISEMENT
"Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekadar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator), tetapi lebih jauh dari itu untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya. Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara," jelas dia.
"Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara," tutup Trisno.