MUI Harap Pengesahan RUU PKS Tak Buru-buru: Butuh Partisipasi Tinggi

5 Oktober 2019 16:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Massa aksi mengenakan masker bertuliskan 'Sahkan RUU P-KS' saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa aksi mengenakan masker bertuliskan 'Sahkan RUU P-KS' saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah elemen masyarakat mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan oleh DPR. Namun, anggota Komisi Ukhuwah MUI Wido Supraha justru mempertanyakan desakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, RUU PKS membutuhkan aspirasi masyarakat secara luas. Sehingga dibutuhkan kajian lebih dalam terkait RUU tersebut.
"Jangan kita bahas dukung-dukungan dulu. Ini kajian besar, jangan terburu-buru. Jangan buru-buru Komnas Perempuan bilang 'eh anggota DPR tunjukkan janjimu segera ketok palu'," kata Wido dalam diskusi 'RUU PKS Berfaedahkah untuk Perempuan Indonesia?' di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10).
"Ini UU termasuk KUHP dan RUU PKS, UU yang membutuhkan partisipasi publik tinggi, enggak bisa buru-buru. Anda dikejar apa sih buru-buru," imbuhnya.
Wido mengatakan seharusnya naskah akademik untuk merumuskan RUU PKS perlu dibahas kembali secara bersama-sama. Apalagi, kata dia, RUU PKS mengandung teori feminisme yang dikhawatirkan tak diketahui oleh banyak orang.
"Naskah akademik menjelaskan bahwa RUU ini berbasis pada legal feminis teori, ini teori feminisme. Anda harus belajar feminisme itu apa, karena itu yang menjadi ruh RUU. Ini pandangan filsafat hukum RUU PKS, ayo kita diskusi pro kontra di naskah akademik, jangan RUU," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, ia ingin Komnas Perempuan dapat mengkaji perspektif secara lengkap. Terlebih, kekerasan seksual belum terdapat dalam UU pidana di Indonesia.
"Kalau Komnas mau mengkaji, hendaknya mengkaji dari perspektif lengkap. Keberadaan seksual belum ada di sistem hukum pidana Indonesia. Kalau penghapusan kekerasan seksual, kekerasannya belum ada, apanya yang mau dihapus," tutur Wido.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni menuturkan setelah RUU PKS diputuskan untuk ditunda, pihaknya masih membuka ruang dialog bagi masyarakat untuk menyempurnakan UU itu.
"RUU PKS ini tahapan sudah menjadi inisiatif pemerintah jadi sudah KPPA adalah pemegang mandat dan masih terbuka juga adanya dialog-dialog, toh ini juga akhirnya ditunda," kata Wahyuni.