news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nadiem soal Pendidikan di RI: Sekolah Tatap Muka hingga Keluhan Belajar di Rumah

12 Agustus 2020 5:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat menghadiri Rapat kerja komisi X DPR RI, Selasa (28/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat menghadiri Rapat kerja komisi X DPR RI, Selasa (28/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mendikbud Nadiem Makarim telah menerbitkan aturan terkait pembukaan kembali sekolah di tengah pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dibukanya kembali sistem belajar tatap muka di zona hijau dan kuning menjadi salah satu terobosan yang akan diterapkan guna merelaksasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dinilai banyak pihak kurang efektif.
Berikut kumparan rangkum sejumlah pernyataan Nadiem Makarim terkait sejumlah permasalahan di dunia pendidikan di masa pandemi virus corona:

Siswa di Zona Oranye dan Merah Tak Boleh Sekolah Tatap Muka

Meski membolehkan siswa yang tinggal di wilayah zona hijau dan kuning untuk sekolah secara tatap muka, Nadiem masih melarang siswa yang tinggal di zona merah atau oranye untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar tersebut.
Menurut Nadiem bila itu dilakukan, hal tersebut justru dapat berisiko menimbulkan penularan virus baru bagi sekolah tempat siswa menimba ilmu. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), kata Nadiem, masih menjadi solusi paling tepat bagi mereka para siswa yang berada di zona merah atau oranye untuk mengecap pendidikan.
ADVERTISEMENT
"Kami, Kemendikbud bersama Kemenkes, ada bagian di dalam surat keputusan bersama tentang rekomendasi sekolah tentang moda transportasi. Kalau anak itu datang dari zona berbeda, kalau ada yang di perbatasan, anak itu datang dari zona merah atau oranye, anak itu tidak diperkenankan untuk tatap muka. Jadi tidak boleh dilakukan," ujar Nadiem.
Nadiem meminta pemerintah daerah aktif turun ke lapangan untuk melihat kesiapan tiap sekolah dalam membuka kembali sekolah-sekolah untuk kegiatan belajar-mengajar dengan sistem tatap muka.
"Yang menentukan sudah memulai [dibuka] apa tidak adalah Pemda, di banyak negara memang semua pemerintah daerah yang ambil keputusan ini. Harus diketahui bahwa karena hak membuka sekolah tatap muka di Pemda, tanggung jawab, evaluasi, penutupan kembali adalah tanggung jawab Pemda dan di-support pusat," tutur Nadiem.
KPAI Pengawasan Langsung Ke Sejumlah Sekolah Di Berbagai Daerah Foto: KPAI
Nadiem menyebut banyaknya pekerjaan rumah yang menjadi beban siswa menjadi alasan dibalik keputusannya untuk menyederhanakan kurikulum Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi kurikulum darurat untuk PAUD, SD, SMP dan SMA.
ADVERTISEMENT
"Jumlah PR yang di-assign lewat WA dan google classroom menumpuk dan jadi besar karena guru-guru merasa tidak punya opsi, guru-guru merasa harus kejar tayang Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan kurikulum, 'saya tidak diberikan waktu fleksibilitas lebih mendalam di aspek esensial dan fundasional'," kata Nadiem.
Modul, kata dia, disiapkan Kemendikbud untuk menggantikan posisi PR tersebut. Nadiem berharap modul ini dapat membantu menjaga kualitas pendidikan khususnya bagi siswa di tingkat SD di tengah masa pandemi ini.
"Kami sediakan modul yang bisa tiap hari dikerjakan oleh orang tua, guru dan anak sehingga kualitas masih terjaga, peran orang tua diperjelas, orang tua harus apa di dalam kegiatan itu. Jadi bukan hanya relaksasi sekolah, kami juga siapkan kurikulum darurat dan modul-modul untuk SD yang berfokus pada orang tua dan guru," kata Nadiem.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Nadiem menegaskan kurikulum darurat itu tidak wajib diikuti sekolah. Dia memberikan tiga opsi yang dapat dilakukan sekolah, yakni tetap mengacu pada kurikulum nasional, menggunakan kurikulum darurat, atau menyederhanakan kurikulum secara mandiri.
Sejumlah pelajar sekolah dasar (SD) mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan jaringan internet gratis yang disediakan sebuah warung kopi di Jombang, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (29/7). Foto: Muhammad Iqbal/ANTARA FOTO

Indonesia Negara Kedua Terakhir di ASEAN yang Buka Sekolah Tatap Muka

Nadiem menyebut Indonesia terbilang lambat dalam mengambil keputusan untuk merelaksasi dunia pendidikan. Bahkan menurut dia, dari total 11 negara anggota ASEAN, Indonesia menjadi negara kedua terakhir yang mengizinkan peserta didik mengikuti belajar tatap muka.
"Jadi Indonesia dari 11 negara di Asia Tenggara adalah dua yang terakhir untuk membuka sekolah tatap muka secara bertahap. Sebenernya sudah ada 9 negara di depan kita yang buka sekolah secara bertahap prioritaskan sekolah. Tinggal Filipina yang belum buka. Itu poin kondisi di dunia," kata Nadiem.
ADVERTISEMENT
Ketertinggalan Indonesia dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara, disebut Nadiem justru terjadi hampir di seluruh daerah, bukan hanya di daerah yang tergolong 3T (Tertinggal,Terdepan,Terluar).
"Ketertinggalan ini bukan hanya kesenjangan daerah di 3T dengan kota-kota, tapi negara kita dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya," ujarnya.
Nicke Widyawati kunjungi PAUD Ki Hajar Dewantoro Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan

Nadiem Tunda Pembukaan Kembali PAUD hingga 2 Bulan Lagi

Masih belum stabilnya kondisi di tengah masa pandemi membuat Nadiem memutuskan untuk menunda pembukaan PAUD hingga 2 bulan ke depan. Menurut Nadiem, saat ini tengah dilakukan proses observasi terhadap tiap unit pendidikan, terutama berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan di lingkungan PAUD.
"PAUD itu kita tunda dulu, karena sangat sulit jaga protokol kesehatannya pun sudah dilimit 5 peserta, masih kita tunda dua bulan lagi, agar kami berikan waktu observasi lagi, jadi SD, SMP, SMA dulu yang dikaji oleh pemda setempat untuk kembali dibuka," ujar Nadiem.
ADVERTISEMENT
Pembukaan sekolah, menurut Nadiem jelas harus dipikirkan sematang mungkin. Kondisi sekolah diharapkan nantinya mampu tidak hanya menampung siswa dalam jumlah yang ditentukan, tetapi juga menerapkan protokol kesehatan ya g diharuskan.
"Di zona hijau saja, baru 15-20 persen sekolah yang tatap muka. Pun di-setting sekarang zona kuning dan hijau bisa buka, karena protokol sulit, ini butuh waktu berminggu-minggu dan berbulan-bulan sampai sekolah siap tatap muka," ucap Nadiem.
"Jadi kenapa sekarang dibuka, karena ini kita lihat pengalaman di zona hijau, ini perlu waktu bagi tiap pemda untuk persiapan, jadi apa pun yang kita tentukan sekarang baru diimplementasi ada jeda waktunya. Pasti ada gap dan tidak akan semua melakukan karena protokolnya sulit," lanjut dia.
Siswa kelas VII SMPN 1 Kota Jambi mengenakan masker dan pelindung wajah sebelum memasuki kelas pada hari pertama sekolah Tahun Pelajaran 2020/2021 di Jambi. Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO

Nadiem Perintahkan Sekolah Ditutup Kembali Bila Muncul Kasus Corona Baru

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dia menegaskan pemda bisa menutup kembali sekolah bila muncul kasus baru virus corona. Hal itu diungkapkan Nadiem guna menjawab kekhawatiran para orang tua murid peserta didik akan munculnya kasus baru di sekolah tempat anak mereka menimba ilmu.
"Kalau pun zona itu berubah status dari kuning ke oranye, maka tatap muka tidak boleh dilanjutkan lagi. Kalau ada yang terbukti terpapar, sekolah itu tidak boleh tatap muka sampai kondisinya aman," ujar Nadiem.
Nadiem mengatakan, setiap sekolah harus siap membuka dan menutup sekolah tergantung kondisi penyebaran virus di daerah masing-masing.
"Jadi dalam kondisi ini, kita sebagai penyedia sistem pendidikan harus bisa belajar untuk membuka dan menutup dengan kondisi (pandemi) ini. Kalau tidak, kita akan tutup kesempatan bagi semua," tegasnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersiap mengikuti rapat di Gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Sekolah di Zona Hijau dan Kuning Boleh Dibuka, Nadiem Perbolehkan Anaknya Masuk?

Berkaitan dengan aturan relaksasi pendidikan di zona hijau dan kuning, Nadiem menyebut memiliki syarat khusus bagi anak-anaknya sebelum diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar tatap muka di sekolah. Ia harus memastikan bahwa pihak sekolah telah menyediakan fasilitas dan protokol kesehatan yang mumpuni sebelum menggelar kembali kegiatan belajar-mengajar.
ADVERTISEMENT
"Sebagai orang tua, saya akan lihat dulu protokolnya. Saya akan datang ke sekolah dulu, melihat protokol kesehatannya standarnya seperti apa. Apakah benar dilakukan sanitasi yang baik, apakah anak-anak ada cukup masker di situ, ada akses ke puskesmas terdekat. Apakah guru-guru disiplin jaga jarak social distancing 1,5 meter," ujar Nadiem.
"Saya akan lihat fasilitasnya, dan saya akan ambil keputusan, seperti orang tua lain, semua yang terbaik untuk anaknya," sambungnya.
Seorang murid yang mengenakan pelindung wajah san masker saat mengikuti kelas tatap muka di sebuah taman kanak-kanak di Semarang, Jawa Tengah. Foto: Stringer/REUTERS

Nadiem: Sekolah Tatap Muka Maksimal 50% Kapasitas, PJJ Tetap Ada

Meski sekolah yang khususnya berada di zona hijau dan kuning telah diperbolehkan untuk menggelar pendidikan tatap muka, Nadiem kembali menyerahkan penyelenggaraannya pada pihak Pemda. Menurut dia, pemda jelas memiliki tolok ukur sendiri untuk memutuskan membuka kegiatan belajar-mengajar suatu sekolah.
ADVERTISEMENT
Terlebih bila pihak komite sekolah menganggap wilayah sekolahnya belum aman, maka pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar online akan tetap diberlakukan.
"Kalau pemda bilang saya akan perbolehkan tatap muka, kalau kepsek tidak dapat persetujuan komite sekolah, yaitu perwakilan orang tua dan tokoh masyarakat di situ, sekolah itu enggak bisa tatap muka," ungkap Nadiem.
Nadiem menjelaskan PJJ juga akan tetap berlaku meski sekolah tatap muka sudah berlaku. Ia beralasan sekolah tatap muka masih menerapkan sif 50 persen dari kapasitas kelas, sehingga PJJ tetap berlaku untuk sisa 50 persen siswa lainnya.
"Jangan ada persepsi PJJ tidak terjadi di sekolah yang sudah tatap muka. Karena kan maksimum kapasitas 50 persen. Mau tidak mau pun mulai tatap muka, masih PJJ (untuk) kapasitas siswa lainnya," jelas Nadiem.
Seorang anak sedang belajar dengan memanfaatkan fasilitas internet murah untuk dukung belajar online dari Paguyuban Bintaran Bersatu, Bintaran Kidul, Mergangsang, Kota Yogyakarta. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Nadiem Masih Cari Solusi Bantuan Pulsa untuk Siswa yang Belajar Online

Nadiem mengaku masih mencari solusi terbaik atas permasalahan yang acapkali timbul dalam penyelenggaraan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Menurut dia, banyak siswa yang sulit mengakses internet dan tak mampu membeli pulsa atau paket data untuk mengikuti proses belajar-mengajar yang digelar secara virtual.
ADVERTISEMENT
"Ke depannya, saya komitmen perjuangkan harapan ada bantuan pulsa, banyak anak-anak sekarang terdampak ekonomi karena harus Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), jadi cost sangat besar bagi mereka, kami sedang cari jalan dari sisi pulsa," ujar Nadiem
Nadiem mengatakan, sejauh ini, Kemendikbud telah menyalurkan bantuan pendidikan selama pandemi. Mulai menyalurkan dana BOS, menyederhanakan kurikulum belajar, menggelontorkan BOS afirmasi dan kinerja ke swasta, menggulirkan relaksasi UKT perguruan tinggi, hingga mendukung UKT ekstra Rp 1 triliun untuk swasta.
"Untuk memastikan kondisi ekonomi orang tua terjaga, dana BOS yang sudah kita kirim ke sekolah-sekolah, bebas digunakan untuk kuota PJJ untuk siswa dan guru. Bisa dibelikan alat-alat TIK, kalau nanti sudah tatap muka, bisa digunakan uang itu untuk memenuhi protokol kesehatan, menyediakan sarana kesehatan yang dibutuhkan," tutur Nadiem.
Si kembar Widi dan Wili belajar online pinjam HP tetangga. Foto: KitabIsa

Nadiem Terima Banyak Keluhan Belajar di Rumah: Mati Listrik hingga Tak Ada Kuota

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Nadiem menyebut banyak keluhan yang disampaikan dari sejumlah daerah terkait penyelenggaraan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), khususnya oleh siswa dan guru yang tinggal di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar di Indonesia (3T). Membengkaknya tagihan listrik dan kuota, disebut Nadiem jadi permasalahan yang ditemui dalam penyelenggaraan PJJ ini.
"Saya dan semua dirjen sudah berbincang secara reguler kepada mereka semua, semua masalahnya sama, sinyal sulit, uang kuota sulit, peralatan tidak ada, listrik mati, guru-guru tidak percaya diri melakukan sistem ini, adaptasi teknologi, murid-guru, di daerah manapun. Setiap bicara dengan guru dan orang tua, semua masalahnya sama, konsisten," ujar Nadiem.
Nadiem menilai, sejak PJJ diterapkan, kesenjangan pembelajaran di berbagai daerah semakin lebar. Sebanyak 88 persen dari daerah 3T di Indonesia kesulitan melakukan PJJ karena isu sinyal, membeli data, termasuk kompetensi dari guru-guru dan daerah itu sendiri. Untuk itu, relaksasi pendidikan dilakukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
"Tentu efek dampaknya permanen dari sisi psikososial anak, stres di rumah tangga, sisi kesenjangan, akses teknologi, punya akses pendanaan data dan tidak," tutur Nadiem.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: