SQUARE, Ilustrasi tenaga medis

Nasib Dokter Muda yang Tangani Corona: Risiko Kerja Tinggi, THR Dipotong

22 Mei 2020 11:09 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tenaga medis bertaruh nyawa di masa pandemi. Ilustrasi: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tenaga medis bertaruh nyawa di masa pandemi. Ilustrasi: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Wabah virus corona yang belum juga mereda, membuat tenaga medis harus terus-menerus bekerja keras bahkan bertaruh nyawa di garda terdepan dalam menangani pasien COVID-19. Namun, semua itu tak selalu berbanding lurus dengan apa yang didapat.
ADVERTISEMENT
Ini misalnya dialami seorang dokter di rumah sakit swasta rujukan pasien COVID-19 di Surabaya, Jawa Timur. Ia—sebut saja Dokter Ismail—bercerita pendapatannya kini turun karena rumah sakitnya melakukan efisiensi.
“Selama pandemi COVID-19 ini kunjungan pasien non-COVID-19 menurun karena banyak hal. Mungkin pasien takut dan memang ada anjuran untuk tidak ke rumah sakit jika tidak gawat darurat. Akhirnya RS melakukan efisiensi pegawai. Sif pegawai dikurangi,” kata Ismail kepada kumparan, Kamis (21/5).
Biasanya, dokter umum berusia 27 tahun ini sehari-hari bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Namun selama pandemi corona, ia ditugaskan ke unit tugas khusus COVID-19. Pun begitu, dengan risiko pekerjaan yang semakin tinggi, ia juga harus menerima kenyataan mengalami pengurangan Tunjangan Hari Raya (THR).
ADVERTISEMENT
Anggaplah kami dapat Rp 6 juta per bulan—Rp 2,5 juta gaji dan Rp 3,5 juta insentif dari jumlah pasien—biasanya, tahun lalu, kami dapat THR sekitar Rp 2 juta atau 70-80 persen gaji dalam kondisi normal. Tapi karena tahun ini ada pemotongan, saya dapat (THR) Rp 1,2 juta dari gaji Rp 2,4 juta. Ini untuk PCR saja tidak cukup,” kata Ismail.
Pengurangan itu terjadi juga karena pihak rumah sakit harus mengalokasikan dana mandiri yayasan rumah sakit untuk menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi petugas medis sekaligus merenovasi sejumlah ruangan untuk menambah kapasitas ruang isolasi.
“Ada memang bantuan dari pemda, tapi Pemda jelas lebih fokus ke RSUD, sehingga pengeluaran rumah sakit (swasta) juga meningkat. Akhirnya ada edaran, bahwa tahun ini THR hanya 50 persen gaji (sesuai aturan pemotongan THR maksimal 50 persen gaji). Jadi ambil batas yang paling rendah,” tutur Ismail.
Tenaga medis. Apakah peluh mereka akan sia-sia? Ilustrasi: Maulana Saputra/kumparan
Ismail mengatakan, belum ada informasi mengenai insentif tambahan dari pemerintah seperti yang dijanjikan, meskipun rumah sakit tempatnya bekerja sudah menjadi RS rujukan pasien COVID-19 selama dua bulan terakhir.
ADVERTISEMENT
Pun begitu, Ismail dan rekan-rekannya tetap menjalankan tugas sebaik mungkin. “Uang bukan selalu masalah, cuma ya miris saja dituduh macam-macam bahwa tenaga kesehatan untung besar di kala pandemi. Sama saja kok, sama-sama menurun.”
Ismail juga didera khawatir jika harus pulang ke rumah bertemu keluarga, terutama karena ia tinggal bersama sang nenek. Alhasil, Ismail kerap menginap di hotel demi keamanan keluarganya sendiri.
“Sebisa mungkin menghindar (dari keluarga). Kalaupun memang pulang ke rumah, saya lebih banyak di kamar. Di RS pun sudah ada protokol yang jelas—jadi kami berangkat dengan baju A, lalu di RS ganti baju jaga, setelah dinas kami mandi, dan pulang dengan baju A atau baju lain. Baju jaga kami cuci di laundry RS,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten