Nasib Garam dari Bali: Diekspor ke 7 Negara, tapi Dikebiri di Era Soeharto

28 September 2021 14:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Bali, I Wayan Koster menyampaikan sambutan saat mendampingi Presiden Jokowi bertemu dengan sejumlah pemangku desa, tokoh adat, agama dan warga di Taman Budaya Bali, Denpasar. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Bali, I Wayan Koster menyampaikan sambutan saat mendampingi Presiden Jokowi bertemu dengan sejumlah pemangku desa, tokoh adat, agama dan warga di Taman Budaya Bali, Denpasar. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Gubernur Bali Wayan Koster mengkritik aturan yang dikeluarkan di era Presiden ke-2 RI Soeharto tentang garam yodium. Karena itu kini Koster memfasilitasi petani lokal untuk memproduksi garam berskala industri rumahan tanpa label yodium atau SNI.
ADVERTISEMENT
Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) Nomor 69 tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beriodium.
Dalam Pasal 1 dalam kepres tersebut menyatakan, garam yang diperdagangkan untuk dikonsumsi adalah garam beryodium dan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menurut Koster, aturan ini hanya merugikan petani garam di tingkat lokal.
Garam lokal tak bisa tembus ke pasar modern karena label tersebut. Padahal, cita rasa garam lokal Bali telah diakui dunia kuliner.
"Produk garam tradisional Bali telah dikenal sebagai garam yang higienis, berkualitas tinggi, dan memiliki cita rasa yang khas, sehingga telah terbukti aman dikonsumsi oleh Krama Bali secara turun-temurun, telah memperoleh pengakuan, dan diminati di dunia kuliner, " kata Koster melalui akun Youtube Pemprov Bali, Selasa (29/9).
Ilustrasi petani garam. Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Politikus PDIP itu mengatakan, garam yang diproduksi petani lokal telah diekspor ke 7 negara. Yakni, Jepang, Korea, Thailand, Prancis, Swiss, Rusia dan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
"(Garam tradisional Bali) dipasarkan secara nasional dan internasional melalui marketplace, dan telah diekspor antara lain ke negara Jepang, Korea, Thailand, Prancis, Swiss, Rusia, dan Amerika Serikat," ucap dia.
Koster menegaskan, pengolahan garam lokal diwariskan secara turun menurun. Hingga saat ini, sejumlah warga di Bali masih berprofesi sebagai petani garam. Produk ini dapat ditemukan di wilayah Kusamba, Kabupaten Klungkung; wilayah Amed dan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Wilayah Tejakula dan Pemuteran, Kabupaten Buleleng; wilayah Gumbrih, Kabupaten Jembrana; wilayah Kelating, Kabupaten Tabanan; dan wilayah Pedungan dan Pemogan, Kota Denpasar.
Pekerja mengumpulkan kristal garam yang terbentuk di dalam tunnel milik Kelompok Petani Garam Cirat Segoro Renges, Kebumen, Jateng, Minggu (23/5). Foto: Idhad Zakaria/Antara Foto
Selain itu, produk garam asal Kusamba dan Amed telah mendapat pelindungan Indikasi Geografis (IG) dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, masing-masing Nomor 06/IG/IX/2015 tanggal 22 September 2015 dan Nomor 003/F-IG/I/A/2020 tanggal 3 Januari 2020.
ADVERTISEMENT
"Sejak lama, Bali dibanjiri produk garam impor yang dikonsumsi Krama (warga) Bali dan dimanfaatkan oleh hotel dan restoran di Bali, serta dipasarkan oleh pasar modern yang mengancam keberadaan garam lokal Bali sehingga menurunkan sumber perekonomian dan pendapatan Krama Bali, yang berdampak pada semakin ditinggalkannya kehidupan sebagai petani garam tradisional," kata dia.
Dalam mengembangkan produksi garam di Bali, Koster mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 17 tahun 2021 tentang pemanfaatan produk garam tradisional lokal Bali.
Aturan ini untuk memberdayakan industri rumah garam petani lokal. Garam ini dapat didistribusikan ke seluruh fasilitas jasa kesehatan dan pangan baik lokal, nasional hingga internasional.