Nasib Tragis Perbudakan 18 ABK WNI di Kapal China: Kontrak Kerja 18 Jam Sehari

14 Mei 2020 20:22 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perbudakan. Foto: PublicDomainPictures via pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perbudakan. Foto: PublicDomainPictures via pixabay
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan perbudakan terhadap 18 ABK WNI yang bekerja di kapal berbendera China yang tengah diusut Bareskrim Polri naik ke tingkat penyidikan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikan oleh kuasa hukum ABK WNI di Kapal Long Xing 629, Pahrur Dalimunte, dalam diskusi bertajuk 'Perlindungan ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing' yang diselenggarakan Indonesia Ocean Justice Initiative secara daring, Kamis (14/5).
"Sekarang kasusnya itu sudah naik ke penyidikan sejak kemarin, semalam tim kita lakukan pendampingan sampai jam 11 malam dan adapun pasal yang disangkakan pasal 4 UU TPPO, barang siapa yang keluarkan orang ke luar negeri dengan maksud eksploitasi," kata Fahrur.
Fahrur mengatakan, memang ada indikasi perdagangan orang dalam kasus WNI di kapal Long Xing 629 itu.
Hal ini diduga terjadi bahkan sejak para WNI tertipu dengan kontrak kerja di mana mereka ditawari bekerja di kapal Korea nyatanya di kapal China.
ADVERTISEMENT
"Misalnya di kontrak yang ada tertulis mereka akan bekerja di kapal Korea. Karena begini ABK ini banyak mendengar kapal China banyak bermasalah sehingga mereka tidak mau bekerja di kapal China," kata dia.
"Di kontrak ditulis Korea dan tidak ada ditulis jenis apa. Mereka baru tahu kapal ini kapal China setelah tiba di Busan. Artinya kontraknya itu dimanipulasi ditipu mereka," sambungnya.
Selain itu, mereka juga menandatangani kontrak dengan kondisi 'terpaksa'. Sebab, setibanya di Busan, mereka dapat ancaman bila tak tandatangani kontrak harus bayar ganti rugi baik tiket hingga akomodasi yang telah dikeluarkan.
"Kalau kita baca menyedihkan sekali tidak berimbang. Teman saya juga mengatakan bahwa ini bukan kontrak kerja tapi kontrak perbudakan. Karena tadi dijelaskan bekerja di atas 18 jam dan semua perintah nakhoda harus diikuti kalau tidak jaminan tadi diambil dan pulang harus dengan cara sendiri," kata dia.
Ilustrasi kapal nelayan Foto: terex/Thinkstock
"Dan paling menyedihkan bagi saya adalah mereka disodorkan banyak lembaran kontrak ini sehari sebelum berangkat. Disertai dengan tiket, dan juga disertai ancaman. Kalau kalian tidak jadi berangkat kalian harus bayar biaya kalian di sini dan ongkos tiket yang diberi. Itu nilainya 1.000 sampai 1.500 dolar," ungkapnya,
ADVERTISEMENT
Pemerintah diminta tak fokus pelarungan saja
Dalam kesempatan yang sama, pemerintah juga diminta untuk tak hanya fokus kepada persoalan pelarungan 3 jenazah ABK WNI dalam kasus ini. Pemerintah diminta usut juga terkait dengan dugaan pidana dan perbudakan yang terjadi di kapal penangkap ikan itu.
"Saya ingin sampaikan jadi kami dari penasihat hukum cukup kecewa ketika kasus ini hanya gembar gembor masalah pelarungan. Untuk konsumsi media boleh saja, tapi jangan sampe Pemerintah fokus ke pelarungan saja," kata Fahrur.
Sebab, Fahrur mempertanyakan, bagaimana mungkin ada empat ABK WNI yang meninggal di kapal tanpa ada sebab. Setelah ditelusuri memang terdapat indikasi perbudakan di sana. Mulai dari kerja yang over time, hingga perlakuan tak layak dari segi makanan dan minuman.
ADVERTISEMENT
"Nyatanya terjawab mereka itu makan umpan ikan berbau, kemudian ayam sayur mayur di kapal itu sudah ada di kapal sejak berangkat," bebernya.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.