news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nilai Pengadaan Alutsista Rp 1.760 T Dinilai Tidak Fantastis

1 Juni 2021 19:10 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah menyusun rancangan perpres yang berisi soal pengadaan dan modernisasi alutsista untuk jangka panjang, hingga 25 tahun. Digadang-gadang total anggaran mencapai Rp 1.760 triliun.
ADVERTISEMENT
Rencana ini menjadi polemik pasalnya total anggaran itu disebut fantastis dan adanya skema pinjaman luar negeri.
Namun, menimbang kondisi alutsista Indonesia yang memprihatinkan dan harganya yang mahal, apakah anggaran Rp 1.760 triliun untuk belanja alutsista ini fantastis?
Pengamat dan peneliti militer dari Binus University, Curie Maharani, menilai anggaran Rp 1.760 triliun untuk pengadaan alutsista sudah ideal.
"Ini angin segar. Jika bujet sudah ditetapkan, akan mempermudah perencanaan. Angka ini normal saja, cenderung konservatif," jelas Curie, Senin (31/5).
Sebagai perbandingan, Curie kemudian menjelaskan, anggaran modernisasi alutsista yang tertuang dalam strategi pembangunan Minimum Essential Force (MEF) III (2020-2024) yang mencapai Rp 186.623,3 miliar atau sekitar 2,7 miliar dolar AS per tahun.
ADVERTISEMENT
"Sedangkan rerata anggaran modernisasi alutsista yang dialokasikan untuk 2020-2044 (renstra jamak) berkisar 3 miliar dolar AS per tahun. Ada selisih sedikit di mana kita harus memperhitungkan defisit dan kenaikan harga alutsista," terangnya.
Petugas mempersiapkan pameran alutsista di komplek Kementerian Pertahanan RI, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Ia menganggap total anggaran itu tak terlalu fantastis. Sebab, anggaran yang dipersiapkan adalah untuk belanja alutsista dalam jangka waktu hingga 25 tahun.
"Kalau lihat itu, anggaran belanja (alutsista) 25 tahun itu, ya enggak fantastis ya, karena ini niatnya meningkatkan kemampuan belanja, artinya angka (anggaran pertahanan) selama ini, 2 tahun ini, kan dianggap belum mencukupi," ujar Fahmi secara terpisah.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun, Fahmi mengatakan, angka yang dialokasikan untuk belanja alutsista masih terbilang sangat kecil.
Jika rancangan perpres itu akhirnya disetujui, Indonesia akan memiliki anggaran pertahanan sekitar 1,5 persen dari PDB setiap tahunnya. Dengan asumsi 0,7 persen yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan 0,78 persen dari APBN reguler.
Seorang pilot melintas di antara helikopter AKS saat acara serah terima alutsista di Hanggar PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Bandung. Foto: Antara/Raisan Al Farisi

Bunga pinjaman dan perencanaan yang matang

Melihat adanya skema pinjaman luar negeri, Fahmi menyoroti pentingnya perencanaan yang matang, khususnya terkait bunga pinjaman.
"Kan skemanya pinjaman luar negeri, sehingga tantangannya adalah bagaimana pemerintah tidak asal minjam, tapi bagaimana pemerintah bisa mendapatkan pinjaman selunak mungkin, pinjaman dengan bunga yang rendah, sehingga tidak menjadi beban yang sangat besar bagi kita di masa depan," terangnya.
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Soal transparansi dan akuntabilitas

Meski menganggap nilainya tidak fantastis, Curie dan Fahmi mengingatkan perlunya transparansi dan akuntabilitas terkait anggaran belanja alutsista.
ADVERTISEMENT
"Jadi tidak bisa ada kerahasiaan, artinya ada penjelasan-penjelasan ke publik, merasionalkan angka yang besar itu, ya walaupun saya mendengar angka itu masih sifatnya tentatif, masih rancangan, belum menjadi keputusan," kata Fahmi.
Hal lain yang dirasa penting, kata Fahmi, adalah keterlibatan semua pihak dalam perencanaan pengadaan alutsista. Menurutnya, pemerintah bisa memanfaatkan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) sesuai UU No. 16 tahun 2012.
"Nah, dalam rancangan perpres yang beredar itu, yang tidak kita lihat adalah adanya peran KKIP. Padahal kita ada UU 16 Tahun 2012 tentang industri pertahanan yang mengamanatkan bahwa urusan terkait belanja-belanja alutsista itu harus dirumuskan, dibahas di forum yang namanya KKIP," jelasnya.
"Ya memang ada dalam rancangan perpres itu melibatkan semua pihak, Kementerian BUMN, Keuangan (Kemenkeu), Bappenas, tapi tidak disebutkan bahwa forum itu namanya KKIP, padahal dalam UU itu namanya KKIP," lanjutnya.
ADVERTISEMENT

Harapan untuk pertahanan dan diplomasi

Lebih lanjut, Fahmi meyakini pengadaan alutsista yang memadai mampu membuat Indonesia makin baik di mata dunia, baik dalam urusan pertahanan maupun diplomasi.
"Ya harapannya seperti itu (tawar menawar dan diplomasi Indonesia dengan negara lain tinggi), artinya bukan hanya ambisi gagah-gagahan, tapi kalau konsep negara itu, konsep pertahanan yang kuat itu juga akan menopang efektivitas diplomasi kita, hubungan internasional," ujarnya.
Fahmi juga mengingatkan pentingnya SDM dan aspek keselamatan dalam penggunaan alutsista.
"Karena tidak hanya soal alutsista baru atau lama, bekas, tapi ini juga soal keselamatan prajurit kita. Konyol juga kalau kita sedang mengamankan kedaulatan tapi terus prajuritnya menjadi korban saat berlatih karena problem pemeliharaan, usia, sehingga saya harap ini juga menjadi masalah yang diperhatikan," pungkasnya.
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Pengawasan Anggaran

Sementara itu, Curie mengingatkan pentingnya pengawasan anggaran pengadaan alutsista. Meski saat ini sudah berlapis, namun butuh kerja sama semua pihak, termasuk dari DPR.
ADVERTISEMENT
"Pengawasan pengadaan alutsista sudah berlapis, baik dari internal (inspektorat jenderal) maupun eksternal (DPR). Misal pada tahap pengadaan, pengawasan inspektorat jenderal terhadap panitia pengadaan dan panitia pembuat komitmen melalui berbagai tahapan audit. Sebelum tanda tangan kontrak pengadaan bernilai lebih dari Rp 100 miliar, perlu ada tim evaluasi pengadaan," kata Curie.
"Sedangkan DPR mengawasi awal (rencana kerja dan anggaran) dan pencairan pinjaman luar negeri," imbuhnya.
Menurut Curie, dibutuhkan juga kerja sama pengawasan dengan KPK untuk menghindari potensi korupsi.
"Dalam beberapa tahun terakhir memang terjadi kasus-kasus pelanggaran aturan pengadaan. Untuk mitigasi risiko korupsi sebaiknya Kemhan bekerja sama lebih lanjut dengan KPK dan memasukkan pengadaan alutsista ke sistem elektronik," urainya.
Pembahasan teknis penggunaan alutsista juga dirasa Curie cukup penting karena hal ini berkaitan dengan proses implementasi.
ADVERTISEMENT
"Masalahnya juga lebih memungkinkan terjadi pada proses menerjemahkan renbut (rencana kebutuhan) ke spesifikasi teknis, bukan di proses pengadaannya," pungkasnya.