Nurhadi Hadirkan Ahli di Praperadilan, Bahas Mandat Agus Rahardjo dkk

15 Januari 2020 18:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gugatan praperadilan eks sekretaris MA Nurhadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Foto:  Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gugatan praperadilan eks sekretaris MA Nurhadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, menghadirkan ahli dalam sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia mengajukan gugatan praperadilan terkait status tersangka kasus mafia peradilan.
ADVERTISEMENT
Salah satu ahli yang dihadirkan ialah Ridwan, ahli hukum administratif Universitas Islam Indonesia (UII). Nurhadi melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, menyinggung soal penyerahan mandat pimpinan KPK.
Penyerahan mandat yang dimaksud ialah terkait pimpinan KPK periode 2015-2019, yakni Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang. Ketiganya menyerahkan mandat lantaran menilai KPK tak dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK. Ketika itu, tidak ada tindak lanjut terkait hal tersebut, dan ketiganya menjabat hingga akhir masa jabatan.
Maqdir menyinggung adanya proses penyerahan mandat itu. Ia pun mempertanyakan apakah penyerahan mandat itu berpengaruh pada status hukum yang kini disandang kliennya.
Ridwan pun menjawab. Menurutnya, penyerahan mandat sama saja pengunduran diri. Sehingga Ridwan berpendapat, pernyataan pengunduran diri seseorang dari jabatan publik jelas akan melunturkan seluruh kewenangan seseorang di jabatan tersebut. Ridwan menilai ketiga komisioner KPK itu sudah tak punya kewenangan lagi terkait jabatannya karena sudah menyerahkan mandat.
ADVERTISEMENT
"Pengunduran diri itu tidak dipersyaratkan diterima atau tidaknya, pengunduran diri itu salah satu dari pejabat itu berhenti, yang jelas mengundurkan diri itu alasan seseorang untuk berhenti melaksanakan fungsi dan tugasnya," ujar Ridwan dalam sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/1).
"Sehingga seseorang yang mengundurkan diri itu bisa dipandang seseorang yang telah meletakkan kewenangan dan fungsinya sebagai pejabat. Tidak ada syaratnya seseorang mengundurkan diri apa tolok ukurnya," sambungnya.
Nurhadi menjadi tersangka berdasarkan sprindik tertanggal 6 Desember 2019. Artinya, ia tersangka ketika pimpinan KPK era Agus Rahardjo dkk.
Tak hanya soal status komisioner, Ridwan pun menyatakan adanya kecacatan proses terkait penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Awalnya, Maqdir menanyakan ihwal alih status pegawai KPK menjadi ASN yang diharuskan UU KPK versi revisi. Maqdir pun menyangkutpautkan status ASN pegawai KPK itu dengan proses penyelidikan perkara yang berjalan dalam perkara kliennya. Untuk diketahui, UU baru KPK berlaku sejak Oktober 2019.
ADVERTISEMENT
Ridwan pun menjelaskan bahwa UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 terkait struktur KPK mengharuskan seluruh fungsionaris KPK yang terdiri dari tiga komponen yakni Pimpinan KPK, Dewan Pengawas (Dewas) KPK, dan pegawai KPK haruslah ditetapkan sebagai ASN. Dia menyebut peraturan UU KPK baru ini sudah mengikat, dan jika tidak dikerjakan, tugas KPK cacat.
"Pasal 24, Pasal 20C (UU KPK 19/2019) berkaitan penyelidik atau penyidik, KPK wajib status anggota ASN. Seandainya ada seorang penyidik penyelidik di KPK yang belum berstatus ASN, kualifikasinya gimana?" tanya Maqdir.
Kuasa hukum eks Sekretaris MA Nurhadi, Maqdir Ismail, di PN Jaksel. Foto: Darin Atiandina/kumparan
"Untuk pegawai KPK kalau UU itu misalnya di Pasal 1 angka 6, harus ASN ya. Sesuai dengan pasal, jadi kalau merujuk pada UU ini yang sudah resmi tanggal 17 Oktober, maka ini syarat eksplisit dalan UU dan tentu itu mengikat. Ini merupakan suatu UU," kata Ridwan.
ADVERTISEMENT
"Maka ketika kewajiban tidak terpenuhi sedang dengan sendirinya syarat hilang, sehingga dari sini penggunaan norma orang enggak punya syarat pelaksanaan pekerjaanya cacat. Karena syarat yang tidak formal kalau ada syarat yang enggak terpenuhi, yaitu ini cacat secara formal," sambungnya.
Menurut Ridwan, semestinya sistem sumber daya manusia (SDM) KPK yang mengurus soal kepegawaian harus diubah dan mengikuti aturan UU yang berlaku saat ini. Dia menyarankan KPK segera memberi solusi soal status pegawainya yang kini disebutnya berpengaruh pada proses penanganan perkara yang berjalan.
"Misalnya ada pegawai tetap, ada pegawai tidak tetap, ini berarti asumsinya ada beberapa pegawai enggak ASN. Nah mestinya diberikan semacam peralihan sementara transisi itu mestinya diberi solusi yang dihentikan KPK tidak berhenti. Kalau tidak, ini kan peluang ada tindakan tidak memenuhi syarat," tandas Ridwan.
ADVERTISEMENT
Perihal penyerahan mandat pimpinan KPK sebelumnya juga sudah dipakai eks Menpora Imam Nahrawi mengajukan gugatan praperadilan. Namun, hakim menolak praperadilan politikus PKB itu.
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan. Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama dua orang lainnya, yakni Rezky Herbiyanto dan Hiendra Soenjoto. Rezky ialah menantu Nurhadi, sementara Hiendra ialah Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal. Ketiganya merupakan tersangka mafia peradilan di Mahkamah Agung.
Nurhadi dijerat kasus suap dan gratifikasi. Untuk kasus suap, Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra melalui menantunya, Rezky.
Suap diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT. Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA.
Adapun dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu diduga untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.
ADVERTISEMENT