Nurvirta Monarizqa, Data Scientist Microsoft

Nurvirta Monarizqa, Wanita Asal Yogya yang Jadi Data Scientist Microsoft

7 Februari 2022 18:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nurvirta Monarizqa bukanlah orang sembarangan. Perempuan berusia 28 tahun itu adalah segelintir orang Indonesia yang berkarier di kantor pusat Microsoft, Seattle, Washington, Amerika Serikat (AS). Di perusahaan teknologi raksasa itu, Mona menekuni pekerjaan sebagai data scientist, sebuah profesi yang masih langka di Tanah Air.
Mona bercerita bahwa ia sudah bekerja sebagai data scientist Microsoft sejak Februari 2020 lalu. Tugasnya adalah mengembangkan detektor berbasis machine learning untuk Microsoft Defender. Software tersebut merupakan salah satu produk Microsoft yang berfokus pada keamanan komputer dan jaringan korporat.
“Jadi misalkan ada yang berusaha ambil password, ada yang berusaha ambil alih akun kita, atau akun administrasi strategis. Nah, kita berusaha deteksi itu,” kata Mona saat berbincang dengan kumparan melalui Google Meet, Minggu (6/2).
Suasana kantor Microsoft di Seattle, Washington, Amerika Serikat (AS). Foto: Dok. Nurvirta Monarizqa

Awal Bekerja di AS

Mona merupakan lulusan S1 Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM) 2010-2014. Perempuan kelahiran Brebes, Jawa Tengah, itu kemudian melanjutkan studi S2 di bidang Applied Urban Data Science and Informatics di New York University 2016-2017.
Sebelum di Microsoft, ia sempat berkarier di ​​Arcadis, yaitu sebuah perusahaan desain, rekayasa, dan konsultan manajemen global. Saat itu, ia masih di New York dan bekerja sebagai Urban Data Scientist di perusahaan tersebut.
Menurut Mona, ia punya kenangan manis di perusahaan tersebut. Sebab, ia turut berkontribusi dalam mengubah wajah New York menjadi lebih tertata. Mona bahkan menyebutnya sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya.
Nurvirta Monarizqa, Data Scientist Microsoft. Foto: Dok. Nurvirta Monarizqa
Kala itu, tahun 2018, ia harus menangani klien dari New York City Department of Sanitation (Dinas Kebersihan Kota). Tugasnya adalah mengaplikasikan peraturan pemerintah tentang truk-truk sampah yang selama ini belum diatur dan masih ‘serampangan’ dalam memungut sampah kota.
Jadi, dinas kebersihan di sana ingin lebih dari 200 perusahaan pemungut sampah tidak mondar-mandir ke wilayah yang terlalu jauh. Tujuannya ingin mengurangi polusi dan tingkat kemacetan. Oleh sebab itu, pemerintah setempat ingin agar masing-masing perusahaan punya zonanya tersendiri. Namun tanpa data yang akurat, perusahaan-perusahaan itu bisa saja protes.
Nurvirta Monarizqa, Data Scientist Microsoft. Foto: Dok. Nurvirta Monarizqa
“Jadi aku merhatiin rutenya. Aku dikasih 10 ribu rute kayaknya. Nah, aku lihatin terus ke mana mereka. Karena pasti ada pattern-nya kan. Nah dari pattern itu aku kelompokkan ke zona-zona tertentu. Waktu itu hipotesisku pasti mereka punya comfort zone untuk diformalkan,” kata Mona.
Hasil analisis Mona itu pun dapat diterima semua kalangan. Pada tahun 2020, kebijakan tersebut dapat diterapkan tanpa adanya resistensi perusahaan pengangkut sampah.
Skyline Kota New York. Foto: Alexander Spatari/Getty Images

Budaya Kerja di Microsoft

Bagi Mona, New York adalah kota dengan seribu ambisi. Ia melihat bagaimana teman-temannya selalu berambisi untuk terus bertumbuh. Termasuk untuk mencari pekerjaan impian.
Di Arcadis, Mona bekerja selama 2 tahun 10 bulan hingga kemudian pindah ke Microsoft pada awal tahun 2020. Namun perjuangan Mona untuk dapat bekerja di perusahaan yang didirikan Bill Gates itu tidaklah mudah. Ia harus melewati sejumlah seleksi yang ketat selama 6 bulan hingga akhirnya diterima.
“Mereka mencari orang yang mau kerja beneran karena ada coding interview. Kalau data scientist harus tau metode machine learning. Yang dicari yang punya pengalaman atau yang kira-kira bisa memecahkan problem solving. Yang terakhir itu yang culture fit dengan perusahaan. Microsoft mencari orang yang bisa berkolaborasi dan bisa berkomunikasi dengan baik,” katanya.
Suasana kantor Microsoft di Seattle, Washington, Amerika Serikat (AS). Foto: Dok. Nurvirta Monarizqa
Menurut Mona, budaya kerja di AS dan Indonesia sangatlah berbeda. Di AS, kata dia, tembok antara kehidupan personal dan profesional sangatlah tinggi. Komunikasi antarkaryawan atau atasan pun dilakukan melalui Microsoft Team. Tak ada yang akan japri (jaringan pribadi) malam-malam melalui WhatsApp.
“Teman timku nikahan bulan kemarin, dia enggak ngundang satu pun teman kantor. Jadi personal, ya, personal, profesional, ya, profesional. Aku enggak mau bilang mana yang bagus atau jelek, ya,” kata Mona.

Masa Depan Data Science di Indonesia

Data science merupakan ilmu mengolah data menjadi informasi yang bisa digunakan untuk menentukan keputusan. Sementara itu, kata Mona, data scientist bertugas untuk estimate the unknown (memperkirakan yang tak diketahui). Tujuan besarnya adalah agar hidup umat manusia dapat lebih terbantu.
Persoalannya, profesi ini memang masih jarang di Indonesia. Beda, misalnya, dengan kondisi di AS yang sumber daya manusia (SDM) sudah banyak tersedia. Pun infrastruktur seperti kampus, swasta, dan lain-lain sudah sangat mendukung.
“Apalagi aku tinggal di Seattle kan. Seattle tuh kayak daerah Slipi (Jakarta Barat). Banyak company besar di sini kayak Amazon, Microsoft, company-company Silicon Valley juga banyak di sini. Jadi itu (data scientist) biasa banget. Cuma apa yang ada di AS kan biasanya 5 atau 10 tahun ahead daripada di Indonesia. Jadi kalau di Indonesia mungkin masih evolving, coba mencari jalannya,” tutur dia.
Suasana kantor Microsoft di Seattle, Washington, Amerika Serikat (AS). Foto: Dok. Nurvirta Monarizqa
Menurut Mona, skill yang harus dimiliki seorang data scientist adalah memelihara curiocity atau rasa ingin tahu terhadap segala hal. Seorang data scientist, kata dia, juga harus mampu berpikir kritis. Semuanya dapat dimulai dari melihat hal-hal sederhana di sekitar kita.
Selain bekerja di Microsoft, misalnya Mona aktif menulis blog Data Sekitar di Medium miliknya. Di blognya itu, Mona banyak mengurai data-data tentang Indonesia.
Ia, misalnya, menganalisis tentang arah-arah kota di Indonesia. Tulisan itu ia buat atas rasa penasarannya terhadap asumsinya sendiri tentang Kota Yogya yang kerap ia anggap lebih teratur dibanding kota-kota lainnya.
Hasilnya, ternyata jalan paling teratur di Indonesia ada di Medan, disusul Kediri, kemudian Binjai dan Yogyakarta. Asumsinya pun terpatahkan oleh riset yang ia lakukan sendiri.
Meski banyak menulis tentang data-data di Indonesia, Mona belum ingin pulang. Alasannya pun bukan karena materi, tetapi karena apresiasi riset yang masih rendah di Indonesia.
Apresiasi di sini sesederhana keberlanjutan riset tersebut, serta perkara apakah hasil risetnya akan menjadi pertimbangan kebijakan publik atau tidak. Kalau soal materi, menurutnya para diaspora pun tak terlalu memikirkan itu.
“Contohnya, oke pulang, tapi kan tahu sendiri. Misalnya tempat X punya data scientist, tapi kita presentasi ABCDEFG, tapi ujung-ujungnya yang dipakai kebijakan Ketua Partai X. Kan tingkat apresiasinya belum ada. Jadi kalau untuk sekarang aku belum mau pulang. Aku merasa dapat berkontribusi nulis hal remeh- temeh di blog Data Sekitar itu. Aku pribadi belum siap untuk tidak diapresiasi di Indonesia,” tutupnya.
Berdasarkan situs glassdoor.com, gaji data scientist di Microsoft mencapai USD 132.869 per tahun (Kurs Rp 14.415). Apabila dirupiahkan, nilainya mencapai Rp 1,91 miliar per tahun atau sekitar Rp 159 juta per bulan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten