Ilustrasi Pesantren Virtual

Nyantri di Pesantren Virtual

30 Mei 2019 9:00 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pesantren virtual Foto: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesantren virtual Foto: Argy Pradypta/kumparan
ADVERTISEMENT
Muhammad Niam punya rutinitas baru di bulan Ramadan tahun ini. Ia kembali membuka-buka kitab Hidayatul Adzkiya karya Syeikh Zainnudin al-Malibari. Kitab yang membahas pengantar tasawuf ini ia siapkan untuk menjadi materi program Ramadan pesantrenvirtual.com yang diasuhnya. Ia dan sang istri, Kamilia Hamidah, mencetuskan ide untuk menyiarkan langsung kajian Hidayatul Adzkiya melalui laman Facebook pesantrenvirtual.com.
ADVERTISEMENT
“Jadi kami ingin mengajak masyarakat untuk mengenal kitab ulama klasik,” kata Kamilia, kepada kumparan, Minggu (26/5) lalu.
Kajian kitab Hidayatul Adzkiya dimulai tiap pukul delapan malam setiap harinya sejak hari pertama Ramadan. Bila sesuai rencana, ke depan penonton bisa berinteraksi langsung dengan Niam melalui kolom komentar di laman Facebook. Format kajian semacam itu sedang diuji coba untuk mencari model ideal.
Menurut Kamilia, perkembangan teknologi tak bisa diabaikan agar dakwah bisa menjangkau banyak orang. Itu sebabnya, pesantrenvirtual.com berusaha terus berinovasi mengikuti perkembangan zaman. Pesantrenvirtual.com merupakan satu dari sekian banyak model pembelajaran agama secara online.
Ilustrasi pesantren virtual. Foto: Putri Arifira dan Fitra Andrianto/kumparan
Gagasan membuat pesantren virtual muncul menjelang awal tahun 2000-an. Saat itu, Kamila masih menempuh pendidikan sarjana di Islamic International University di Islamabad, Pakistan. Ia dan Niam—yang saat itu belum menjadi suaminya—terusik dengan pertanyaan sesama mahasiswa di luar negeri perihal fikih ibadah.
ADVERTISEMENT
Di forum diskusi online yang mereka buat, anggota grup sedang ramai membahas durasi puasa di luar negeri. “Kalau misal puasanya di atas 14 jam gimana? Apakah kita boleh berbuka ngikutin standar Indonesia atau bagaimana?” katanya mengenang pertanyaan yang menjadi bahan diskusi hangat itu.
Masih ada sederet pertanyaan seputar ibadah keseharian lain yang muncul. Berangkat dari sana, Muhammad Niam, yang tengah mengambil studi shari'ah and law sekaligus computer science, melontarkan ide mengembangkan program kajian ilmu keislaman memanfaatkan media internet yang sedang booming.
“Kemudian kita bentuk tim untuk menjawab respons pertanyaan-pertanyaan itu. Kita buka kitab waktu itu, kemudian kita tuliskan, kita publish di web,” Kamilia menuturkan.
Lambat laun, situs itu mendapat respons positif pengunjung. Sajian yang ditawarkan pesantrenvirtual.com rupanya punya pengunjung loyal. Situs itu selalu masuk empat besar halaman pencarian di mesin Google untuk tema fikih.
Infografik pesantren virtual Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Capaian itu tak lantas membuat Niam dan Kamilia berambisi membuat situsnya lebih besar. Keduanya bisa saja menggaet lebih banyak pengunjung bila membahas isu-isu populis yang sedang hangat.
ADVERTISEMENT
Pesantrenvirtual.com, menurut Kamila, harus tetap di jalur keilmuan Islam. Materi di pesantrenvirtual.com menggunakan kitab kuning, yang biasa digunakan di pesantren konvensional, sebagai rujukan.
“Jadi lebih kepada hikmah, kemudian masalah-masalah etika, kemudian permasalahan tasawuf, kemudian tanya jawab masalah fiqih keseharian, kemudian amalan-amalan salat dan sebagainya,” ungkapnya.
Pesantrenvirtual.com dibangun tidak dengan pandangan keagamaan yang kaku. Pendekatan yang digunakan pun tak mengarah pada penokohan pada ulama atau perspektif tertentu. Setiap kajian yang disampaikan kepada peserta lebih bersifat komparatif.
“Pendapat-pendapat ulama itu dipaparkan semuanya. Artinya, masyarakat itu kita ajak untuk melihat bahwa oh ternyata perbedaan pendapat ulama itu ada,” jelasnya.
Harapannya, para ‘santri’ terstimulasi untuk membaca kitab-kitab karya para ulama. Isu-isu kontroversial, kata Kamila, sengaja dihindari. Tujuannya agar suasana belajar tetap kondusif dan tak memicu perpecahan.
ADVERTISEMENT
Sembari berpegang pada garis dakwah itu, pesantrenvirtual.com terus mengadopsi perkembangan teknologi mutakhir. Kini, ada beberapa saluran yang digunakan untuk menjangkau audiens, dari media sosial hingga aplikasi pesan instan.
Peserta kajian di grup WhatsApp dan Telegram pesantrenvirtual.com berkisar pada 350-an anggota. Sementara pengikut fanpage di Facebook sudah menyentuh 50 ribuan akun.
Ilustrasi pesantren virtual. Foto: Shutter Stock
Anggota pesantrenvirtual.com bukan hanya berasal dari kalangan yang awam urusan agama. Ada pula mereka yang punya cukup pengetahuan agama memadai.
Ulya Fikriyati, misalnya, merupakan lulusan pesantren. Ia kini juga menjadi dosen bidang ilmu tafsir di sebuah perguruan tinggi agama Islam. Meski demikian, dari kacamatanya, keberadaan pesantrenvirtual.com membantu memberi wawasan keagamaan bagi masyarakat.
Bagi orang yang punya kesibukan harian yang tak bisa ditinggalkan, menurutnya, model pesantren ini bisa menjadi solusi. Seseorang bisa tetap beraktivitas, tanpa meninggalkan kajian keagamaan. “Bisa kita akses kapan aja saya kira itu jadi nilai plusnya,” ungkap Ulya.
ADVERTISEMENT
Model pesantren virtual di Indonesia juga diperkenalkan oleh Abdul Rohman Siddiq. Bedanya, pria asal Sukoharjo itu memilih mengembangkan metode pembelajaran khusus untuk bahasa Arab yang bisa diakses secara online. Pria 31 tahun itu membuat Pesantren Virtual Bahasa Arab Al Madinah sebagai sebuah lembaga pendidikan nonformal.
Ilustrasi media sosial. Foto: Shutter Stock
Ide awalnya muncul setelah Siddiq meraih gelar sarjana dari Al Madinah International University (MEDIU), yang berbasis virtual. Ia terinspirasi untuk menerapkan model pembelajaran yang sama untuk lembaga pendidikan bahasa Arab.
“Tahun 2013-2014 belum ada yang namanya pesantren virtual (bahasa Arab). Jadi memang saya ingin menjadikan yang pertama berdiri waktu itu,” ungkap Siddiq melalui sambungan telepon dengan kumparan, Senin (27/5).
Siddiq berjibaku mendirikan pesantren virtual seorang diri. Ia merangkap penggagas, perumus kurikulum dan silabus sekaligus konseptor infrastruktur teknologi informasi di balik berdirinya Al Madinah.
ADVERTISEMENT
Sesuai visi awal berdirinya Al Madinah, Siddiq yang pernah mondok di pesantren dari jenjang SD hingga SMA itu ingin menggaet para santri yang tinggal di luar negeri. Ia juga berharap bisa memfasilitasi santri-santri dari pelosok dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang kesulitan mendapat akses pembelajaran bahasa Arab.
Soal kepengurusan pesantren virtual Al Madinah, lanjut Siddiq, tidak serumit lembaga pendidikan pada umumnya. Siddiq menjabat posisi pimpinan, dia dibantu oleh petugas administrasi dan seorang tenaga pengajar.
Program yang ditawarkan terdiri dari empat kategori. Masing-masing dibagi ke dalam beberapa kelas sesuai kebutuhan santri. Pertama program regular 1 tahun melalui teleconference dan web, lalu program super intensif 3 bulan melalui teleconference dan grup Whatsapp, program short course setiap akhir tahun belajar tentang nahwu, dan program spesial Ramadan belajar tentang shorof. Ada pula program insidental untuk berhasil menembus seleksi LIPIA Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Program super intensif 3 bulan yang paling ramai peminatnya,” kata Siddiq.
Biaya program pembelajaran bahasa Arab yang dikelola Siddiq bervariasi. Mulai dari Rp 125 ribu untuk short course, hingga Rp 650 ribu untuk program 1 tahun yang terdiri dari dua semester.
Biaya ini hanya trik Siddiq untuk memacu santri serius belajar. “Karena mereka sudah merasa mengeluarkan finansial mau enggak mau mereka harus belajar secara serius,” terangnya.
Ilustrasi pesantren virtual. Foto: Putri Arifira dan Fitra Andrianto/kumparan
Di Al Madinah, pembelajaran bahasa Arab bukanlah satu-satunya program yang ditawarkan Siddiq. Pria yang saat ini berdomisili di Semarang ini juga menyediakan kelas Ulum As Syar’iyyah. Namun syarat santri yang ingin mempelajari ilmu-ilmu syar’i yakni sudah menguasai bahasa Arab.
“Modul atau buku yang digunakan full bahasa Arab kemudian tugas-tugas yang diberikan full bahasa Arab,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jika ingin mendaftar sebagai salah satu santri di pesantren ini, Siddiq menerapkan batasan usia minimal 18 tahun, sedangkan usia maksimal tidak dibatasi. Bahkan, kata Siddiq, pernah ada santri yang usianya 60 tahun.
Setelah memenuhi persyaratan, santri yang belajar di Al Madinah akan mengikuti proses pembelajaran melalu berbagai media seperti teleconference, Whatsapp grup dan melalui website. Metode belajar dengan teleconference, kata Siddiq, menjadi salah satu keunggulan pesantrennya.
“Mereka (pesantren virtual lain) kebanyakan hanya bertahan di segmen media pembelajarannya WA grup, sedangkan kita masih berusaha mempertahankan berbasis web sama teleconference,” katanya.
Ilustrasi WhatsApp. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Untuk menjamin kualitas para santri yang belajar di Al Madinah, ada serangkaian ujian yang diberlakukan Siddiq, termasuk memberikan tugas, ujian tengah semester hingga ujian kelulusan yang harus diikuti para santri.
ADVERTISEMENT
Siddiq tak akan mentolerir santrinya yang ogah-ogahan mengikuti program pembelajaran bahasa Arab. Bila ada santri yang tiga kali berturut-turut mangkir mengerjakan tugas, Siddiq akan menghentikan program pembelajaran yang masih berjalan.
“Kita off kan itu, (konsekuensi) sudah disampaikan ketika daftar,” katanya.
Namun jika santri berhasil melewati rangkaian ujian dan dinyatakan lulus dalam ujian penentuan, Al Madinah akan mengeluarkan sertifikat kelulusan untuk mereka. Meski, menurut Siddiq, dokumen tersebut lebih bersifat informal.
“Karena kita masih nonformal maka belum bisa misalkan untuk transfer ke jenjang S1 dan sebagainya,” kata Siddiq.
Eksistensi pesantren virtual juga masuk radar pantau Kementerian Agama, melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Direkturnya, Ahmad Zayadi, menggarisbawahi bahwa pesantren virtual tak masuk dalam nomenklatur pesantren yang ditangani instansinya.
ADVERTISEMENT
“Mungkin lebih pas menggunakan istilah pengajian virtual atau online untuk menjelaskan mengenai aktivitas ini,” kata Zayadi.
Ia menjelaskan, setidaknya ada rukun dan jiwa pesantren yang menjadi syarat sebuah lembaga pendidikan dikategorikan sebagai pesantren. Rukun pesantren yakni, memiliki kyai sebagai pimpinan atau pengasuh pesantren, ada masjid atau musala, asrama, santri mukim dan pengajian kitab kuning.
“Salah satu dari rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak bisa dikatakan sebagai pesantren,” tegas Zayadi.
Santri mengikuti kilatan kitab kuning yang dipimpin Kiai Fahmi Amrullah di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, Selasa (7/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/Saiful Bahri
Adapun jiwa pesantren merujuk berjiwa NKRI, punya nilai keilmuan, keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, kemandirian, kebebasan dan keseimbangan. Artinya, keberadaan ‘pesantren virtual’ dipertanyakan dari sisi kelembagaan.
Tak serta-merta pula pemerintah lantas mematikan inovasi metode pembelajaran. Menurut Zayadi, pesantren yang ada saat ini justru didorong untuk mengadopsi perkembangan teknologi. Misalnya, kata dia, dengan membuat situs atau membuat konten berupa video.
ADVERTISEMENT
“Ini kami anggap sebagai inovasi metode pembelajaran, bahkan kami sangat menganjurkan sebagai bagian dari penguatan literasi bagi pemilik otoritas keagamaan agar suara-suara mereka juga terdengar ke masyarakat,” paparnya.
Di sisi lain, Zayadi mengapresiasi kemunculan ‘pesantren virtual’ sebagai bentuk perluasan akses masyarakat terhadap ilmu agama. Meski ia mengingatkan, “Belajar di pesantren itu tidak hanya ‘belajar tentang Agama’, tetapi ‘belajar tentang bagaimana beragama’.” Karena itu, tatap muka antara santri dan kiyainya sebagai metode pembelajaran khas pesantren tetap harus dipertahankan sebagai bagian dari penyampaian sanad keilmuan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten