Ombudsman soal Pasal 170 di Omnibus Law: Sangat Bertendensi Malaadministrasi

22 Februari 2020 14:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi "Mengapa Galau Pada Omnibus Law" di Jakarta, Sabtu (22/2). Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi "Mengapa Galau Pada Omnibus Law" di Jakarta, Sabtu (22/2). Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Ombudsman mengkritisi pembuatan Omnibus Law yang dilakukan secara tertutup. Akibatnya, muncul perdebatan dari draf-draf yang telah bermunculan, salah satunya Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengubah Undang-Undang (UU).
ADVERTISEMENT
Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengungkapkan, dilihat dari kesalahan dalam Pasal 170, hal tersebut bertendensi malaadministrasi.
"Pertama, dari sisi proses. Ini menurut saya untuk sesuatu yang sangat besar dan luas dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai aturan. Maka saya pikir wajar kalau kemudian orang menduga ada malaadministrasi. Dan fakta-faktanya sudah terlihat ada Pasal 170 yang diakui sendiri oleh pemerintah bahwa hal itu tidak tepat," kata Alamsyah di Jakarta, Sabtu (22/2).
Suasana penyerahan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR-RI. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Bahkan, pihak Istana sebelumnya juga telah mengakui ada misunderstood atau kesalahpahaman dalam penyusunan draf tersebut. Hal ini disinyalir karena sejak awal RUU tidak pernah dibuka ke publik.
Alamsyah mengatakan, seandainya pembahasan dilakukan terbuka, kesalahan seperti itu bisa dikoreksi sebelum draf dikirim ke DPR.
ADVERTISEMENT
"Jadi menurut saya omnibus ini memang proses itu sudah terjadi. Saya enggak boleh menyebutkan di umum kecuali dalam rapat pleno, baru saya bisa sebutkan malaadministrasi, tapi saya sebut sangat-sangat bertendensi malaadministrasi. Jadi kira-kira gitulah dia bertendensi malaadministrasi," tegas Alamsyah.
Selain itu, menurut Alamsyah, RUU Cipta Kerja juga keluar dari konteks. Alasannya, banyak pasal-pasal yang menurutnya secara tata kelola tidak penting.
Maka dari itu, ia menyarankan agar draf RUU Omnibus Law yang sudah ada di DPR agar dikembalikan lagi ke pemerintah. Sehingga, dapat dilakukan konsultasi lebih luas demi menjaga kepercayaan publik.
"Alangkah baiknya bila DPR mengembalikan dulu ke pemerintah, pemerintah melakukan konsultasi lebih luas. Sehingga nanti waktu masuk ke DPR, karena ini menyangkut banyak komisi, pembahasan bisa lebih efektif," ucap dia.
ADVERTISEMENT
"Dan lebih penting lagi trust di masyarakat itu terjaga, kecuali jika memang pemerintah merasa tidak diperlukan trust kepada publik," tutup Alamsyah.
Pasal 170 dalam Bab XIII mengenai Ketentuan Lain-lain menyebutkan PP bisa mengubah UU, adapun bunyi sebagai berikut:
(1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
(2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, pasal ini menuai kritikan lantaran dalam hierarki perundang-undangan PP merupakan penjabaran dari UU. Dengan demikian PP tak bisa mengubah UU.
Pihak Istana juga sudah mengakui terjadi kesalahpahaman dalam penyusunan draf tersebut.
"Yang saya bilang mungkin dia agak misunderstood instruction-nya gitu kan pasal itu berbicara mengenai apa, kemudian dia nulisnya seperti itu gitu, itu kan sebenarnya hal yang sangat basic untuk sarjana hukum," kata Staf Khusus Kepresidenan, Dini Purwono, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/2).