Ombudsman Temukan Malaadministrasi di Pergub DIY soal Larangan Demo di Malioboro

21 Oktober 2021 21:48 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana jalan Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (25/9) saat penerapan ganjil genap ditunda. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana jalan Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (25/9) saat penerapan ganjil genap ditunda. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY menemukan adanya dugaan malaadministrasi dalam penerbitan Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Dugaan malaadministrasi ada pada proses penerbitan pergub yang memuat Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka tersebut. Salah satu lokasi yang dimaksud dalam pergub itu adalah kawasan Malioboro.
ORI DIY menginvestigasi usai mendapat laporan dari Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) kepada ORI DIY awal tahun ini. Kemudian Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LHP) diserahkan ke Pemda DIY.
"Ini belum rekomendasi baru saran tindakan korektif," kata Ketua ORI DIY Budhi Masturi saat menyerahkan LHP kepada perwakilan Pemda DIY di Kantor ORI DIY, Kamis (21/10).
Budhi mengulas investigasi pergub ini. Pertama secara substansi, pergub dinyatakan malaadministrasi apabila bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi atau/dan pergub dikhawatirkan menjadi penyebabnya pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
"Setelah kita investigasi. Secara substansi kami memang menemukan berbagai aturan yang memungkinkan pemerintah melakukan pembatasan di area cagar budaya. Mana kala itu pada saat yang sama sebagai objek vital nasional," katanya.
Ilustrasi Setop Demo Anarkis. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Aturan yang dimaksud ada pada Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/MP/2016 tentang Penetapan Objek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata. Akan tetapi seharusnya ada dialog dengan masyarakat.
"Secara substansi hukumnya memungkinkan untuk dilakukan pembatasan. Tapi juga sebenarnya bisa ada proses dialog seperti apa harusnya pembatasan itu," bebernya.
Budhi menyebut substansi itu tidak ada persoalan, maka untuk proses penerbitan disebut ada malaadministrasi. Dari investigasi ditemukan dalam perumusan pergub ini pihaknya tidak menemukan tahapan pelibatan masyarakat.
"Di alur bagannya tidak ada dan kami tidak menemukan di peraturan lainnya. Sehingga itu alasan kepala biro hukum kemudian merasa tidak berkewajiban secara prosedural untuk melibatkan publik," bebernya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi hal itu menurutnya tak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 120 tahun 2016 pasal 166. Di situ dijelaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam pembentukan pergub baik itu lisan maupun tertulis.
"Artinya apa, hak ini dilindungi UU maka saya bacakan harusnya masyarakat punya hak harus diberikan lebih dahulu ditawarkan ini ada hak kalian untuk memberi masukan. Itu yang luput," katanya.
"Sehingga kami berkesimpulan telah terjadi malaadministrasi tindakan tidak patut," katanya.
Suasana kawasan Malioboro pada Jumat (24/9) sore. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ORI DIY berharap agar Pergub ini kembali ditinjau. Dilakukan perbaikan pada proses pembahasan substansial serta memberikan hak kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
"Dan apabila kemudian ternyata tidak dijalankan maka sesuai dengan mekanisme kami, hasil pemeriksaan dan saran ini kami ajukan ke ORI pusat untuk diusulkan sebagai rekomendasi," katanya.
ADVERTISEMENT
Budhi mengingatkan bahwa manakala sampai di ORI pusat dan menjadi rekomendasi maka gubernur harus menjalankannya. Pihaknya pun memberikan waktu 30 hari.
"Ada pasal yang menyebutkan kepala daerah menjalankan rekomendasi ombudsman dan yang tidak menjalankan bisa dikenai sanksi oleh Menteri Dalam Negeri. Harapan saya belum sampai rekomendasi kan. Mohon (saran) dijalankan," katanya.
Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda DIY Wahyu Nugroho mengatakan pihaknya akan mempelajari tindakan korektif dari ORI DIY ini dan melaporkan ke pimpinan.
"Tentu saja LHP ini akan kita pelajari dulu," kata Wahyu.
Salah satu bangunan peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta Foto: Shutter Stock
Sebelumnya, dalam Pergub tersebut dijelaskan bahwa ada lima lokasi yang dilarang untuk unjuk rasa alias demo di Yogyakarta.
Kelima tempat itu masing-masing Istana Negara Gedung Agung, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Pakualaman, Kotagede, dan Malioboro. Unjuk rasa boleh dilakukan asal di luar radius 500 meter dari objek vital nasional itu.
ADVERTISEMENT
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) mengkritik Pergub tersebut. Dalam rilis yang disampaikan Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli, dijelaskan bahwa Pergub ini membahayakan keberlanjutan demokrasi.
"Dengan menggunakan kedok pariwisata, gubernur menutup diri dari kontrol publik. Kalau kita baca, Pergub ini memakai keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 Tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata sebagai konsiderasinya," sebut Yogi, Rabu (20/1).
Yogi menyebut, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan diakui oleh UUD 1945. Kemudian esensi dari Pasal 28E ayat 2 bahwa setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Lalu ayat 3 mengatakan, setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat.
ADVERTISEMENT