SQR- Petugas Medis

Operasi Senyap Penyelidik Wabah untuk Membendung Corona

7 Juni 2020 17:40 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
Dokter Fiena Fithriah tidak punya banyak waktu bersantai begitu menjabat sebagai Kepala Seksi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan. Ia baru pindah tugas dari Suku Dinas Jakarta Timur awal Februari lalu.
Belum genap sebulan bertugas di tempat baru, gelombang pandemi virus corona COVID-19 datang. Medio Maret lalu, hanya beberapa pekan setelah pasien corona pertama teridentifikasi di Indonesia, jumlah kasus di Jakarta Selatan melonjak drastis.
Sepanjang bulan itu, kawasan tersebut menjadi daerah yang menyumbang jumlah penderita corona tertinggi di Indonesia. Pada pengujung Maret, kasus COVID-19 sudah tersebar di 48 dari 65 kelurahan di Jakarta Selatan. Fiena pun langsung tancap gas.
“Awal-awal (pandemi) itu luar biasa di (Jakarta) Selatan. Ibaratnya kalau mau nangis setiap hari, saya bisa nangis gerung-gerung. Tapi ya sudahlah jalani saja,” katanya kepada kumparan, Jumat (5/6).
Dokter Fiena Fithriah, Kepala Seksi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan. Foto: Dok. Pribadi
Fiena bertugas mengkoordinasi penyelidikan epidemiologi untuk memutus rantai penularan. Ia dan jajarannya harus mengidentifikasi orang-orang yang punya kontak erat dengan pasien COVID-19.
Mereka, kata Fiena, punya risiko tinggi tertular. Apabila orang dengan kontak erat terinfeksi, penyebaran wabah akan semakin meluas.
Maka, semakin cepat orang-orang itu ditemukan, potensi bencana lebih parah bisa dicegah. Petugas penyelidik epidemiologi akan meminta mereka untuk mengisolasi diri. Selanjutnya, mereka akan menjalani tes swab atau rapid test.
Informasi awal penelusuran kontak erat biasanya berasal dari pasien positif COVID-19. Data nama, alamat, dan nomor telepon menjadi bekal utama tim epidemiologi untuk menemukan orang-orang yang berhubungan dengan pasien 14 hari terakhir.
Para petugas epidemiologi akan menghubungi orang-orang tersebut. Mereka diwawancarai dengan sejumlah pertanyaan untuk menggali potensi risiko penularan.
Penyelidik epidemiologi juga akan mendalami aktivitas pasien dari keluarga atau orang-orang dekatnya untuk mendalami kemungkinan celah penularan lain.
Pekerjaan semacam itu, menurut Fiena, memang tidak terlalu tampak di masyarakat. Tetapi, tugas penyelidik epidemiologi tak kalah penting dengan para tenaga medis di garda depan penanganan COVID-19.
Para penyelidik epidemiologi yang mengumpulkan data, menganalisa bagaimana pola penyebaran COVID-19 di masyarakat, dan memutusnya.
“Dulu senjata kita stetoskop, sekarang senjata kami laptop dan data. Tanpa data kami, pekerjaan teman-teman di layanan terutama di rumah sakit tidak akan ada artinya. Jadi sebenarnya saling berhubungan,” kata Fiena.
Dokter memeriksa pasien secara online di India. Foto: Reuters/Sunil Kataria
Setiap hari, penyelidik epidemiologi harus berurusan dengan daftar orang yang berpotensi tertular. Pekerjaan tim di lapangan tambah berat ketika penambahan kasus positif COVID-19 harian di Jakarta Selatan sudah melompat-lompat berdasarkan deret hitung.
Jumlah kontak erat otomatis membeludak. Satu orang pasien positif bisa punya 10 orang kontak erat. Jumlahnya bisa mencapai puluhan apabila orang itu pernah beraktivitas di tempat umum.
“Kebayang kan kalau pasien gaulnya di tempat hiburan, ibaratnya satu pub harus kita tracing,” Fiena menjelaskan cara kerja jajarannya.
Semua kontak erat harus disisir. Ada satu titik ketika penyelidik epidemiologi di Jakarta Selatan kewalahan melakukan penelusuran saking banyaknya orang yang harus dihubungi.
“Jadi, saya pernah punya utang penyelidikan epidemiologi—waktu itu sehari bisa 100 orang,” tutur Fiena. "Itu yang bikin stamina kami juga kedodoran. Capeknya minta ampun.”
Ia menjangkau orang-orang yang di-tracing itu dengan bantuan tim penyelidik epidemiologi di puskesmas kecamatan dan kelurahan. Lain waktu, Fiena harus turun tangan ke lapangan apabila harus berurusan dengan orang penting.
“Wilayah Selatan kan banyak mantan pejabat, mulai dari presiden, mantan presiden, sampai mantan anggota dewan, ada semua. Enggak mungkin saya melepaskan teman-teman puskesmas untuk penyelidikan epidemiologi sendiri,” jelas Fiena.
Petugas berpakaian hazmat di Restoran Amigos, Kemang, Jakarta Selatan. Foto: Andesta Herli/kumparan
Tugas tim penyelidik epidemiologi di lapangan tidak mudah. Butuh teknik untuk mengumpulkan informasi dari orang yang kontak erat dengan pasien. Petugas penyelidik epidemiologi harus pintar-pintar membaca karakteristik orang yang menjadi sasaran.
“Masyarakat di Kebayoran Lama sama Kebayoran Baru akan berbeda. Kemudian di Pasar Minggu dengan Jagakarasa, dengan Setiabudi, dengan Tebet, akan berbeda,” Fiena berujar.
Terlebih, semakin hari terjadi perluasan kelompok masyarakat yang terpapar COVID-19. Di awal pandemi, menurut Fiena, sebagian besar penderita berasal dari kelompok menengah ke atas. Belakangan, trennya bergeser ke kalangan masyarakat bawah. Penyelidik epidemiologi dituntut untuk bisa beradaptasi menggunakan pendekatan berbeda.
“Saya awalnya berharap ini berhenti di klaster atas, terus disetop di tengah. Ternyata enggak, terus ke (masyarakat) menengah, ke bawah, sampai paling bawah banget. Gila banget emang penyakit ini,” kata Fiena.
Apalagi, menelusuri orang-orang bukan hal mudah. Tidak semua orang bersedia menerima tim penyelidik epidemiologi.
“Ada yang kami hubungi, (begitu) tahu kami petugas kesehatan, teleponnya langsung ditutup, terus diblok. Tim saya ada yang diblok,” ungkap Dokter Abimanyu Soeriawidjaja. Ia merupakan Koordinator Penyelidikan Epidemiologi Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Apabila target tidak kooperatif, tim epidemiologi terpaksa harus berkunjung langsung. Itu pun belum tentu langsung diterima.
“Beberapa ada yang sengaja enggak bukain rumah. Pintu sengaja ditutup,” kata Abi sambil terkekeh.
Tim penyelidik epidemiologi tidak cuma bertugas mengidentifikasi orang yang kontak erat dengan pasien. Mereka juga harus memantau orang-orang itu agar benar-benar mengisolasi diri selama 14 hari.
Tim puskesmas tentu tak mungkin mengawasi semua dengan sumber daya terbatas. Abi mengatakan, biasanya aparat di lokasi orang yang diawasi dimintai bantuan untuk memonitor.
Petugas medis di Jakarta Timur. Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Di puskesmas, tim epidemiologi merupakan tenaga kesehatan. Di samping menelusuri kontak dekat pasien COVID-19, mereka tetap harus mengerjakan layanan kesehatan rutin. Oleh karena itu mereka harus bisa membagi waktu. Dalam satu hari, biasanya ada jadwal khusus saat para tenaga kesehatan puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi.
Tidak cuma kontak erat pasien, pengawasan pasien positif yang menjalani isolasi mandiri di rumah juga menjadi tanggung jawab tim penyelidik epidemiologi.
“Kadang pasien-pasien ini bandel. Yang susah itu yang OTG-OTG (orang tanpa gejala). Dia merasa dirinya sehat, tapi dia positif, disuruh isolasi malah keluyuran,” cerita Abi.
Itu jelas menjadi pekerjaan tambahan bagi tim penyelidik epidemiologi. Mereka harus menjemput pasien isolasi mandiri yang membandel untuk dibawa ke rumah sakit.
Di lapangan, urusan jemput-menjemput ini pun tidak mudah. Pasien tertentu adakalanya menolak dibawa.
“Yang terlama itu kemarin. Kami berangkat dari jam sembilan pagi untuk jemput dia, baru siap dibawa jam satu siang. Negosiasinya susah,” tutur Abi.
Padahal tim dari puskesmas sudah didampingi lurah, Babinsa, hingga Satpol PP. Abi dan tim harus berunding dengan keluarga pasien dengan mengenakan alat pelindung diri level tiga lengkap.
“Lumayan itu keringetnya kalau mau nurunin berat badan,” kata Abi setengah bercanda.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten