ORI Ungkap Pelanggaran Lain di SMAN 1 Banguntapan: Penjualan Seragam-Tata Tertib

13 Agustus 2022 2:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala ORI Perwakilan DIY Budhi Masturi menyampaikan hasil investigasi kasus jilbab di SMA N 1 Banguntapan. ORI DIY menyimpulkan ada kekerasan terhadap anak setelah ditemukan unsur pemaksaan dan perundungan. Foto: Arfiansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala ORI Perwakilan DIY Budhi Masturi menyampaikan hasil investigasi kasus jilbab di SMA N 1 Banguntapan. ORI DIY menyimpulkan ada kekerasan terhadap anak setelah ditemukan unsur pemaksaan dan perundungan. Foto: Arfiansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY) menyampaikan hasil investigasi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul. ORI DIY menyimpulkan pemakaian jilbab oleh guru kepada seorang siswi baru merupakan kekerasan terhadap anak karena mengandung unsur paksaan dan perundungan.
ADVERTISEMENT
Namun tak hanya itu, ORI DIY juga menemukan pelanggaran diduga malaadministrasi lain oleh sekolah.
"Kebijakan kepala SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul melakukan penjualan seragam termasuk seragam khas muslimah dan menerbitkan tata tertib sekolah yang berjudul Tata Krama dan Tata Tertib kehidupan sekolah siswa SMA N 1 Banguntapan adalah bentuk malaadministrasi," kata Budhi membacakan kesimpulan investigasi di kantornya, Jumat (12/8/2022).
Budhi menjelaskan, sekolah tersebut telah melanggar Permendikbud 45 tahun 2014 tentang pakaian seragam sekolah bagi peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah. Selain itu juga tidak sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang menjelaskan adanya larangan jual seragam.
"Kebijakan kepala sekolah melakukan penjualan seragam termasuk seragam khas muslimah membuat tata tertib yang tidak sesuai dengan ketentuan Permendikbud 45 tahun 2014 adalah bentuk pelanggaran. Seusai pasal 6 permendikbud ini hal tersebut dapat dikenakan sanksi oleh ketentuan yang berlaku," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam investigasi ORI DIY ini, Budhi menjelaskan meski tata tertib sekolah tidak disebutkan secara eksplisit bahwa peserta didik muslimah wajib memakai seragam khas muslimah atau mengenakan jilbab, tetapi dalam pasal 1 tata tertib sekolah disebutkan bahwa siswa SMA N 1 Banguntapan diwajibkan untuk memakai seragam sopan dan rapi sesuai ketentuan sekolah.
Selain itu untuk siswi muslim juga disebutkan sangat diharapkan memakai jilbab berlogo SMA N 1 Banguntapan.
"Frasa yang berbunyi siswi muslim sangat diharapkan memakai jilbab berlogo SMA N 1 Banguntapan ini kajian kami tim menyimpulkan dapat juga diartikan bahwa pada dasarnya seluruh siswi muslim wajib mengenakan jilbab akan tetapi sangat diharapkan untuk memakai jilbab yang berlogo sekolah. Jadi sangat diharapkan itu bukan pakai jilbabnya tapi pakai jilbab berlogo sekolah karena semuanya sudah pakai jilbab gitu lho," katanya.
Karangan bunga berisi dukungan dari alumni berdatangan ke SMA N 1 Banguntapan, Senin (8/8/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Kewajiban yang menurut Budhi ini tersirat juga diperkuat dengan penjualan seragam yang sudah paketan dengan dilengkapi jilbab berlogo sekolah.
ADVERTISEMENT
"Termasuk untuk kelas 11 yang diwajibkan membawa uang Rp 75 ribu saat mendaftar ulang untuk membeli jilbab berlogo sekolah. Ini kita menemukan suratnya ada fotonya," ujarnya.
Selain itu, dalam lembar panduan sekolah yang diedarkan pada awal kelas 10 masuk, sekolah tidak memberikan pilihan bagi peserta didik muslimah apabila sesuai keyakinannya mereka ingin memilih seragam sekolah tanpa jilbab.
"Jadi kalau ada peserta didik muslimah yang belum ingin memakai jilbab gitu seperti korban itu (siswi yang dipaksa) tidak memiliki pilihan karena semuanya paketnya ada paket jilbabnya," ujarnya.
Padahal Permendikbud 45 tahun 2014 menurut Budhi telah mengatur tentang pilihan model seragam sekolah. Pada lampiran dari Kemendikbud dicontohkan ada model seragam tidak berjilbab. Termasuk pula baju lengan pendek.
ADVERTISEMENT
"Jadi ada pilihan, lha yang SMA N 1 Banguntapan tidak ada pilihan," katanya.
Suasana SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Senin (1/8/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Atas hasil investigasi ini mulai dari pemaksaan pemakaian jilbab hingga penjualan seragam, ORI DIY kemudian memberikan sejumlah Saran tindakan korektif kepada Kepala Disdikpora DIY. Berikut tindakan korektifnya:
1. Kepala Dinas Disdikpora DIY harus membangun komunikasi dengan Kemendikbudristek untuk mencermati dan mempertimbangkan dilakukannya review terhadap instrumen akreditasi tahun 2022 dan Permendikbud nomor 45 tahun 2014.
2. Menginisiasi peraturan tingkat daerah yang mengatur tentang tata tertib dan seragam sekolah dengan memperhatikan nilai-nilai Kebinekaan dan hak asasi manusia.
3. Memberikan sanksi dan pembinaan kepada terlapor 1 dalam hal ini Kepala SMA N 1 Banguntapan dengan memperhatikan tingkat dan luasan dampak yang timbulkan selama permasalahan ini mengemuka akibat kebijakan yang dibuatnya.
ADVERTISEMENT
4. Memberikan sanksi dan pembinaan kepada terlapor 2, 3, dan 4 (3 guru terlibat) sesuai peran dan perbuatannya masing-masing dengan memperhatikan tingkat dan keluasan dampak yang ditimbulkan selama permasalahan ini mengemuka akibat perbuatan tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
5. Melakukan review terhadap tata tertib seluruh SMA Negeri dan SMK Negeri di diy untuk memastikan keselarasannya dengan peraturan yang lebih tinggi dengan juga tetap memperhatikan nilai-nilai Kebinekaan dan hak asasi manusia.
6. Melakukan pengembangan dan kapasitas serta keahlian kepada kepala sekolah guru agama guru kelas, guru BK, dan tenaga kependidikan terhadap seluruh SMA Negeri dan SMK Negeri di DIY tentang moderasi dan literasi beragama dalam pelayanan di bidang pendidikan antara lain dengan menyelenggarakan diklat, bimtek dan bentuk capacity building lainnya secara berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
7. Membuat kebijakan pembagian kelas yang berperspektif Kebinekaan dengan memastikan setiap rombel (rombongan belajar) diisi siswa dari beragam latar belakang suku agama dan keyakinan.
"Kami menemukan siswa non muslim di-pool (dikumpulkan) di satu kelas. Penting karena kalau di-pool siswa jadi homogen dalam kasus ini (SMA N 1 Banguntapan) kan mereka di-pool di IPS 1. IPS 2 dan 3 semuanya Muslim," kata Budhi.
8. Melakukan pendampingan dan perlindungan terhadap korban baik sendiri maupun bekerja sama dengan instansi lainnya untuk memulihkan kondisinya dan memastikan serta menjamin keberlanjutan pendidikannya.
"Jadi dinas pendidikan melaporkan kepada kita, kita tunggu maksimal 30 hari. Tentang langkah-langkah yang dilakukan. Kalau ternyata tidak dijalankan tentu akan meneruskannya ke kantor pusat untuk diusulkan jadi rekomendasi," pungkas Budhi.
ADVERTISEMENT