Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Fit and proper test calon pimpinan (capim) KPK oleh Komisi III DPR telah dirampungkan. Lima orang sudah dipilih DPR untuk menakhodai lembaga antirasuah tersebut di periode 2019-2023.
ADVERTISEMENT
Kelima sosok pimpinan KPK terpilih itu adalah Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Nurul Gufron, dan Alexander Marwata. Komisi III DPR juga memilih Firli sebagai Ketua KPK secara aklamasi.
Sebelumnya, saat uji kelayakan dan kepatutan, mereka turut ditanya pandangannya terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Revisi itu kini sedang berpolemik karena dianggap melemahkan dan membatasi kewenangan KPK sebagai lembaga independen.
Poin-poin yang direvisi di antaranya menjadikan pegawai KPK Aparatur Sipil Negara (ASN), mengubah kewenangan penyadapan, membentuk Dewan Pengawas yang dipilih DPR, peralihan pelaporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), hingga kewenangan KPK untuk menghentikan perkara (SP3).
Mari simak pandangan lima pimpinan KPK terpilih terkait revisi UU KPK tersebut:
ADVERTISEMENT
1. Firli Bahuri
Irjen Firli Bahuri turut ditanya mengenai revisi UU KPK oleh anggota Komisi III DPR, salah satunya poin Dewan Pengawas. Kapolda Sumatera Selatan itu mengatakan setuju apabila KPK diawasi.
Namun ia tidak bisa menegaskan apakah itu dalam bentuk lembaga khusus atau sistem. Sebab, Firli mengaku belum membaca draf revisi UU KPK.
"Bagaimana pengawasan apakah dengan sistem atau lembaga saya belum tahu persis karena belum baca draf (revisi UU KPK). Saya tidak mau memberikan beban pikiran saya, karena saya lagi capim," ujar Firli dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (12/9).
Menurut Firli, pengawasan itu perlu agar ada fungsi check and balances terhadap kewenangan KPK yang luar biasa. Meski pada prinsipnya, kata Firli, tidak ada yang ingin diawasi.
ADVERTISEMENT
Dia kemudian menegaskan, sekali pun belum membaca poin-poin revisi UU KPK, tetap tunduk apabila nantinya UU KPK direvisi.
2. Lili Pintauli Siregar
Lili Pintauli Siregar mengaku salah satu poin dalam revisi UU KPK yang disepakatinya adalah SP3. Menurutnya, SP3 bisa memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berperkara.
"Saya pikir ini juga menjawab kegelisahan mereka-mereka yang jadi tersangka, terblokir rekeningnya, usaha enggak jalan, ini juga bisa menjawab. Karena pemberantasan korupsi juga tidak memunculkan masalah lain," ujar Lili.
Di sisi lain, menurutnya SP3 juga dapat membuka kasus lama jika ditemukan bukti baru. "Karena tidak menutup kalau ada bukti lain bisa dibuka kembali," sambungnya.
Namun Lili tak sepakat soal Dewan Pengawas. Sebab, menurutnya, KPK merupakan lembaga khusus yang tak perlu memiliki izin dalam penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
3. Alexander Marwata
Alexander Marwata tak menjawab secara tegas pertanyaan soal Revisi UU KPK. Namun, calon petahana ini menyinggung kasus dugaan pelanggaran kode etik terhadap mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri.
Alex menyebut ada pasal dalam UU KPK yang perlu direvisi terkait kasus Firli. Seperti kondisi pegawai KPK bisa bertemu dengan pejabat publik atau tersangka, ataupun saksi yang berperkara di KPK, secara tidak sengaja.
"Saya sekalian menyampaikan masukan untuk revisi UU KPK, masukan Pasal 36, membuat kami 'poin a, menyatakan dilarang membuat hubungan langsung atau tak langsung dengan pihak yang terkait kasus korupsi, apakah tersangka atau saksi, itu pidana ancaman lima tahun," kata Alex.
Alex menegaskan perlunya revisi di pasal tersebut untuk memberikan kepastian. Sebab bila tidak, pertemuan-pertemuan tidak sengaja itu bisa berpengaruh pada kinerja pegawai di KPK.
ADVERTISEMENT
4. Nawawi Pomolango
Nawawi Pomolango menyepakati beberapa poin dalam revisi UU KPK. Nawawi menyetujui pegawai KPK berstatus ASN, kewenangan penyadapan, dan penerbitan SP3.
Untuk status kepegawaian KPK, Nawawi berpendapat hal itu perlu dilakukan agar tak lagi tindakan Wadah Pegawai KPK yang seakan oposisi terhadap pemerintah.
Nawawi menyinggung soal keberadaan Wadah Pegawai KPK yang dinilai telah bertindak berlebihan. Untuk itu, Nawawi menilai status pegawai KPK menjadi ASN diperlukan agar pegawai KPK lebih terarah.
"Bukan ada rahasia umum ada sebuatan Wadah Pegawai, ada persoalan soal Wadah Pegawai, bahwa WP ini seperti sudah di luar aparat, di luar konteks. Tidak ada konsepsi dalam ketatanegaraan kita," ungkap capim berlatar belakang hakim itu.
Sementara soal SP3, Nawawi menilai aturan itu diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada penyandang status tersangka yang perkaranya tak kunjung disidangkan. Nantinya, kata Nawawi, perkara yang sudah dihentikan bisa saja dilanjutkan bila kemudian ditemukan bukti baru.
ADVERTISEMENT
Adapun, tentang penyadapan, Nawawi menganggap aturan tersebut harus dilakukan dengan pengawasan. "Perlu izin dari apa pun namanya, it's okay. Yang ingin saya tekankan harus hati-hati", tuturnya.
Dalam draf revisi UU KPK, kewenangan penyadapan memerlukan izin Dewan Pengawas yang ditunjuk DPR. Masih dalam draf, Dewan Pengawas juga nantinya menjadi pemberi izin penggeledahan dan penyitaan.
Namun, ada beberapa poin revisi UU KPK yang menurut Nawawi perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Misalnya soal koordinasi penuntutan KPK dengan Kejaksaan Agung. "Harus dipikir-pikir dulu. Di mana independensi KPK kalau harus koordinasi," ujar dia.
5. Nurul Ghufron
Meski tak mengungkapkan secara gamblang, secara tersirat Ghufron menyetujui adanya Revisi UU KPK, meski tak menyeluruh. Dia menyoroti poin pembentukan Dewan Pengawas untuk KPK yang selama ini belum tercantum di UU KPK.
ADVERTISEMENT
"Apakah kemudian hari ini (KPK) perlu diawasi? Saya, sekali lagi, berdasarkan konsep peradilan didasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa sesama manusia perlu saling diawasi," kata Ghufron.
"Tidak ada yang tidak bisa diawasi. Bahkan yaitu, semakin absolutnya, semakin independen, dan mandirinya semakin tidak mau diawasi, saat itu kemungkinan korupsinya semakin besar," sambung dia.
Tak hanya itu, Ghufron juga menyepakati kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Ghufron mengaku menuangkan pentingnya SP3 di dalam makalah yang ia tulis sebelum fit and proper test.
Namun, ia menekankan bahwa SP3 yang dimaksud adalah SP3 bersyarat. Salah satu contohnya, kata Ghufron, apabila orang yang tengah berperkara itu meninggal dunia.