Pandu Riono: Pemerintah Tidak Dengarkan Pendapat Ahli dan WHO soal Rapid Test

20 Agustus 2020 17:55 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pandu Riono. Foto: Dok. Pandu Riono
zoom-in-whitePerbesar
Pandu Riono. Foto: Dok. Pandu Riono
ADVERTISEMENT
Ahli wabah dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, mengkritik pemerintah yang masih enggan mengikuti pendapat ahli terkait penggunaan rapid test. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menyarankan penggunaan rapid test antibodi untuk mendeteksi virus corona.
ADVERTISEMENT
"Kenapa (pemerintah masih manfaatkan rapid test) demikian? Karena tidak mendengar pendapat pendapat ahli atau sains bagaimana pandemi ini dilakukan. Pedoman ada, WHO ada, banyak konsultan-konsultan kesehatan di Jakarta yang bisa membantu," ujar Pandu dalam penyampaian hasil survei Indikator Politik Indonesia terkait corona, Kamis (20/8).
Alat rapid test virus corona. Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan
Pandu menekankan sudah banyak masyarakat yang mulai meragukan keakuratan rapid test. Sebab, rapid test hanya mendeteksi virus melalui antibodi darah, bukan usap dahak seperti swab test PCR.
"Karena sekarang masyarakat sudah tahu bahwa rapid test itu tidak akurat, kenapa tidak akurat-akurat? Karena tidak mendeteksi orang dengan virus. Karena banyak rapid test itu yang mendeteksi orang dengan antibodi, terlambat seminggu setelah orang terinfeksi, baru terdeteksi dan orang yang reaktif belum tentu dia punya virus itu, hanya riwayat bahwa dia pernah terinfeksi. Jadi harus langsung di-swab lagi," ucap Pandu.
ADVERTISEMENT
Menurut Pandu, penggunaan rapid test yang diikuti swab test setelahnya sangatlah tidak efektif dan efisien. Apalagi, negara sedang berupaya menekan angka positif dan kematian akibat corona.
"Jadi berapa cost yang terlambat, kelihatannya rapid test itu melindungi, padahal membuat masalah menjadi tertunda dan terlambat akibat kesalahan pengambilan keputusan, apa yang dilakukan dalam situasi emergency dan terbatas," ungkap Pandu.
Pandu menyarankan pemerintah lebih baik meningkatkan jumlah pemeriksaan PCR di setiap laboratorium, termasuk meningkatkan kapasitas mesin. Ini lebih efektif ketimbang memaksakan melakukan rapid tes yang kualitasnya diragukan.
"Dengan PCR, memang sulit, mahal, tetapi begitu di-mapping banyak lab yang sudah punya mesin PCR cuma kapasitasnya kecil-kecil, tinggal di-upgrade, mesin yang lebih besar dan otomatis kita akan bisa mengejar testing swab, jangan lagi menggunakan rapid test," kata Pandu.
ADVERTISEMENT
Hasil survei yang digelar Lembaga Indikator menunjukkan, mayoritas masyarakat di atas 50 persen menyatakan rapid test tidak efektif sama sekali. Dalam survei tersebut, hanya 3,3 persen responden yang menilai rapid test sangat efektif dan 39,1 persen menilai cukup efektif. Sedangkan, 40,8 persen menilai rapid test kurang efektif dan 16,1 persen menilai sama sekali tidak efektif.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
***