Pasal-Pasal Kontroversial dalam RUU Ketahanan Keluarga

19 Februari 2020 21:48 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sejumlah pasal dalam draf RUU Ketahanan Keluarga menuai kritikan dari masyarakat karena dianggap terlalu mengatur wilayah privat seseorang. Dalam RUU tersebut mengatur soal penyimpangan seksual, hingga aturan donor sperma.
ADVERTISEMENT
RUU Ketahanan Keluarga merupakan usulan perseorangan yang terdiri dari 5 anggota DPR yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari PKS, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Ali Taher dari PAN, dan Endang Maria dari Golkar.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menuturkan pihaknya akan mencermati setiap pasal yang ada untuk menghindari penolakan dari masyarakat.
"Kita juga tidak ada pengin ada UU yang kemudian nanti menuai kontroversial, yang menurut beberapa kalangan ada beberapa hal yang perlu dicermati," kata Dasco di Gedung DPR, Senayan, Rabu (19/2).
Sementara, Endang salah satu pengusul RUU mengatakan awalnya RUU Ketahanan diajukan karena adanya keresahan orang tua terhadap sejumlah kasus anak menjadi korban kekerasan seksual hingga narkoba.
ADVERTISEMENT
"Latar belakangnya kita melihat dari anak terkena narkoba. Kemudian anak yang terpapar pornografi, kekerasan seksual, bullying," tuturnya.
Berikut sejumlah pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga yang menuai kontroversi:
1. Penanganan Krisis Keluarga karena Penyimpangan Seksual (LGBT-BDSM)
Ilustrasi LGBT Foto: REUTERS/Marko Djurica
Dalam RUU Ketahanan Keluarga dalam pasal 85-89 mengatur kewajiban keluarga untuk wajib lapor dan melakukan rehabilitasi bagi anggota keluarga yang memiliki penyimpangan seksual. Anggota keluarga wajib melaporkan kepada lembaga berwenang yang akan ditunjuk untuk mengurus penyimpangan seksual.
Pasal 85
Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa:
a. rehabilitasi sosial;
b. rehabilitasi psikologis;
c. bimbingan rohani; dan/atau
d. rehabilitasi medis.
ADVERTISEMENT
Pasal 86
Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 87
Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 88
Lembaga rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 87 untuk keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat yang ditunjuk oleh badan yang menangani ketahanan keluarga.
Pasal 89
Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor, rehabilitasi untuk keluarga yang mengalami krisis keluarga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
2. Aturan untuk Melarang Pendonoran Sperma
Ilustrasi sperma. Foto: pixabay
Dalam RUU Ketahanan Keluarga melarang keras upaya untuk mendapatkan anak dengan menggunakan cara pendonoran sperma. Bahkan, RUU itu mengatur sanksi pidana selama lima tahun dan denda Rp 500 juta bagi orang yang masih melakukannya.
Berikut sejumlah pasal yang melarang pendonoran sperma:
Pasal 31
(1) Setiap orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
(2) Setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
Pasal 139
ADVERTISEMENT
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 140
Setiap orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
3. Aturan untuk Melarang Surogasi (Penyewaan Rahim)
Ketika sperma bertemu sel telur dan terjadilah pembuahan. Sel telur yang dibuahi lalu menempel pada rahim. Foto: Shutterstock
Sama seperti pendonoran sperma, RUU Ketahanan Keluarga juga melarang praktik memperoleh keturunan dengan cara penyewaan rahim. Pelaku dapat dikenakan pidana selama 5 tahun atau denda Rp 500 juta.
Berikut sejumlah pasal yang melanggar penyewaan rahim:
Pasal 32
(1) Setiap orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
(2) Setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
Pasal 141
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan surogasi untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 142
ADVERTISEMENT
Setiap orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) untuk memperoleh keturunan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tahun) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 143
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
ADVERTISEMENT