Pasang Surut Hubungan Mikhail Gorbachev dan Vladimir Putin

31 Agustus 2022 11:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) berbicara dengan mantan Presiden Soviet Mikhail Gorbachev (kiri) sebelum konferensi pers bersama Kanselir Jerman Gerhard Schroeder dan Putin di kastil Gottorf di Schleswig, 21 Desember 2004. Foto: Alexander Nemenov/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) berbicara dengan mantan Presiden Soviet Mikhail Gorbachev (kiri) sebelum konferensi pers bersama Kanselir Jerman Gerhard Schroeder dan Putin di kastil Gottorf di Schleswig, 21 Desember 2004. Foto: Alexander Nemenov/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan pemimpin Uni Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, mengembuskan napas terakhir pada Selasa (20/8). Presiden Rusia, Vladimir Putin, segera menyampaikan belasungkawa atas kabar tersebut.
ADVERTISEMENT
Sosoknya memegang peran kunci dalam mengakhiri Perang Dingin. Dia juga merupakan pemimpin terahir sebelum Uni Soviet terpecah pada 1991. Gorbachev kemudian meninggal dunia pada usia 91 tahun akibat menderita sakit berkepanjangan.
"Vladimir Putin menyampaikan belasungkawa terdalamnya atas kematian Mikhail Gorbachev," tutur juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, dikutip dari TASS, Rabu (31/8).
"Di pagi hari dia [Putin] akan mengirimkan telegram berisi ucapan belasungkawa kepada kerabat dan teman-teman," tambahnya.
Mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Foto: Pascal Guyot/AFP
Sampai saat terakhirnya, Gorbachev hidup dalam realitas ganda. Dia dirayakan di Washington, Paris, dan London. Namun, Gorbachev dicerca oleh sebagian orang yang tidak dapat memaafkan gejolak akibat reformasi yang dia pimpin di Rusia.
Sejak memerintah Uni Soviet pada Maret 1990, Gorbachev memupuk pengaruh Barat. Dia memperkenalkan gerakan glasnost atau kebebasan berpendapat, serta perestroika atau reformasi politik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang mengenangnya sebagai pembawa kebebasan, sedangkan yang lainnya melihat dia sebagai penghancur lantaran mendorong kemerdekaan di bekas blok Soviet.
Mengingat pendekatannya tersebut, Gorbachev dan Putin tampaknya bertolak belakang. Walau mengantarkan kehancuran negaranya, Gorbachev mengakhiri Perang Dingin dan berusaha mendemokratisasikan Uni Soviet.
Sementara itu, Putin menggali otoritarianisme dan mengobarkan perang dingin hingga membangun kembali Rusia. Hubungan kedua tokoh tersebut lantas terlihat rumit.
Mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Foto: Stephane Bentura/AFP
Gorbachev sempat menyebut kebijakan Putin sebagai 'penghalang kemajuan' pada 2016. Putin pun dikenal pernah menggambarkan akhir Uni Soviet sebagai 'bencana geopolitik terbesar abad ini'.
Bagi masyarakat yang sempat menjalani kehidupan di era tersebut, pecahnya blok itu adalah sebuah tragedi. Sebab, negara tersebut mendapati posisi yang melemah dalam ranah internasional.
ADVERTISEMENT
Keruntuhannya turut membawa standar hidup masyarakat kian terperosok. Angka kriminalitas, mafia, dan kemiskinan melonjak selama tahun-tahun berikutnya.
"Pertama dan terutama perlu diakui bahwa runtuhnya Uni Soviet adalah bencana geopolitik terbesar abad ini," tegas Putin dalam pidato kenegaraan pada 2005, dikutip dari NBC News.
"Sedangkan bagi rakyat Rusia, itu menjadi tragedi yang nyata," lanjutnya.
Presiden Rusia Vladimir Putin menghadiri pertemuan dengan para pemimpin parlemen di Moskow, Rusia. Foto: Sputnik/Aleksey Nikolskyi/Kremlin via REUTERS
Nyatanya, pertentangan terhadap warisan Gorbachev mengantarkan keuntungan bagi Putin. Selama berkuasa, dia membatasi kebebasan berbicara dan membungkam kritikusnya yang vokal.
Putin menjinakkan parlemen Rusia dan memberantas pemberontakan pula di Chechnya. Dengan demikian, dia menikmati peringkat popularitas tinggi berkat kebangkitan otoritarianisme. Kegagalan bagi Gorbachev justru melambungkan daya tarik bagi Putin.
Keduanya lantas menemukan berbagai kesamaan pula. Sejak runtuhnya Uni Soviet, kekacauan politik dan ekonomi menjulang dalam pemerintahan Boris Yeltsin. Pada 2000, Gorbachev akhirnya menyambut pencalonan diri Putin.
ADVERTISEMENT
Gorbachev menekankan, Rusia memerlukan kepemimpinan yang kuat dan tegas. Dia bahkan mengakui bahwa negaranya membutuhkan 'dosis tertentu otoritarianisme'.
Mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada festival sastra lit.Cologne di 'Guerzenich' pada 13 Maret 2013 di Cologne, Jerman. Foto: Ralf Juergens/Getty Images
"[Putin harus menggunakan] langkah-langkah keras untuk membangun kembali negara dan menstabilkan ekonomi," terang Gorbachev, dikutip dari The Washington Post.
Dalam kebijakan luar negeri, Gorbachev juga terkadang menemukan kesamaan dengan Putin. Dia berharap dapat melampaui divisi Timur-Barat di Eropa. Gorbachev ingin menggantikan NATO dan Pakta Warsawa dengan struktur perdamaian baru.
Sebagaimana Gorbachev, Putin memperdebatkan ekspansi NATO. Demi menentangnya, dia mencaplok Semenanjung Krimea dan menginvasi Ukraina.
Menyaksikan Putin menindak media dan menangkap pengunjuk rasa, Gorbachev menentang pemilihannya kembali pada 2012. Kendati demikian, ketika ditanya kembali tentang kepercayaannya terhadap Putin pada April 2017, dia menjawab, 'Ya, saya percaya'.
ADVERTISEMENT
Gorbachev bersikeras membela demokrasi, tetapi tidak buta terhadap kritik. Dia menyadari bahwa banyak orang di negara itu menginginkan tipe kepemimpinan yang berbeda.
"Seorang tsar harus berperilaku seperti seorang tsar. Dan saya tidak tahu bagaimana melakukannya," ungkap Gorbachev, dikutip dari The Guardian.