Lipsus, Sertifikasi Pranikah

Pasangan Secara Sepihak Batalkan Pernikahan, Langkah Hukum Apa yang Dilakukan?

25 Maret 2021 10:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Perkawinan diatur tersendiri dalam sebuah Undang-Undang. Mulai dari syarat bahkan hingga soal pembatalan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana hukum pembatalan pernikahan bila dilakukan secara sepihak? Apa ada langkah hukum yang dapat dilakukan jika hal tersebut terjadi?
Ilustrasi pengantin pria menanda tangani dokumen pernikahan. Foto: Shutter Stock
Berikut penjelasan dari Andrian Febrianto, S.H., M.H., C.L.A., pengacara yang tergabung dalam Justika:
Sebelum menjawab pertanyaan ini, alangkah tepatnya untuk melihat dasar hukum pembatalan perkawinan terlebih dahulu sebagaimana Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 1, disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Ada syarat-syaratnya bila ingin melangsungkan perkawinan, yaitu untuk syarat izin orang tua calon mempelai. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan 2 yang mensyaratkan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan berlaku untuk calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.
ADVERTISEMENT
Tentang syarat umur calon mempelai, ada syarat terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, disebutkan perkawinan hanya diizinkan apabila pria berumur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun pada Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019, perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Apabila syarat umur tidak terpenuhi wajib, memohonkan dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Selain itu, juga ada larangan sesuai pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yakni dilarang terhadap dua orang yang:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
ADVERTISEMENT
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Tentang pembatalan perkawinan dan tata caranya, diatur pada Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan. Yakni perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Maksud aturan ini, perkawinan dapat dibatalkan apabila syarat-syarat perkawinan yang tertera pada Pasal 6 sampai 11 UU Perkawinan tidak terpenuhi. Sementara Pasal 25 UU Perkawinan menyebutkan bahwa Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
ADVERTISEMENT
Sementara Pasal 23 UU Perkawinan mengatur siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yakni: Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, Suami atau isteri, Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan, dan Pejabat yang ditunjuk.
Khusus untuk yang mengajukan pembatalan adalah suami atau istri ada alasan tambahan untuk mengajukan pembatalan yang tertera pada Pasal 27 UU Perkawinan, yakni:
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
ADVERTISEMENT
Pengertian salah sangka mengenai diri suami atau istri sebagaimana poin nomor (2) di atas terdapat penjelasan lebih lanjut pada Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Yakni ada penambahan tentang kata-kata penipuan.
Lengkapnya adalah sebagai berikut: Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Penipuan ini dimaksudkan bahwa ada penipuan identitas diri oleh suami atau istri.
Ilustrasi buku pernikahan. Foto: Shutter Stock
Maka menjawab pertanyaan tentang pembatalan perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur tentang pembatalan perkawinan dengan menjelaskan alasan apa saja yang dapat membuat perkawinan batal. Serta mekanisme permohonan pembatalan pembatalan.
Untuk pertanyaan langkah hukum bila ada pembatalan sepihak, dalam praktiknya pembatalan perkawinan ini adalah Permohonan sesuai Pasal 25 UU Perkawinan. Maka pembatalan ini harus diajukan permohonan ke pengadilan, tidak bisa hanya berucap suami atau istri membatalkan dengan cara lisan ataupun sepihak.
ADVERTISEMENT
Artikel ini merupakan kerja sama kumparan dan Justika
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten