Pasukan Penjaga Perbatasan Arab Saudi Dituding Bantai Ratusan Migran Ethiopia
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Tak sedikit dari para migran yang hendak mengadu nasib ke negara kaya akan minyak tersebut kehilangan nyawa atau kehilangan anggota tubuh.
Tudingan kepada pemerintah Arab Saudi tercantum dalam laporan terbaru Human Rights Watch (HRW), yang berjudul They Fired On Us Like Rain, pada Senin (21/8). Laporan ini mencakup kesaksian para migran yang hampir terbunuh di perbatasan Saudi-Yaman.
"Penjaga perbatasan Arab Saudi telah membunuh setidaknya ratusan migran dan pencari suaka asal Ethiopia yang mencoba menyeberangi perbatasan Yaman-Saudi antara Maret 2022 dan Juni 2023," bunyi laporan HRW, sebagaimana dikutip dari situs web resminya.
Bahkan, penelitian HRW berpendapat pembantaian yang dituding dilakukan secara sistematis ini masih berlanjut pada saat laporan HRW ditulis.
ADVERTISEMENT
"Penjaga perbatasan Saudi telah menggunakan senjata peledak dan menembak orang-orang dari jarak dekat, termasuk perempuan dan anak-anak, dalam sebuah pola yang meluas dan sistematis," sambung laporan HRW.
Menurut International Organization for Migration (IOM), lebih dari 200 ribu migran menempuh perjalanan berbahaya setiap tahunnya untuk menyeberang dari Horns of Africa melalui Yaman lalu tiba di perbatasan Arab Saudi.
Sekitar 90 persen dari migran yang menempuh rute 'Eastern Route' atau 'Yemeni Route' ini berasal dari Ethiopia. Terkadang, migran dari negara Afrika Timur lain seperti Somalia juga melintasi rute tersebut.
HRW mencatat adanya kenaikan signifikan dalam jumlah migran wanita dan anak perempuan yang melintasi area itu beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Pulang dengan Tangan Kosong dan Kaki Buntung
Sehubungan dengan laporan terbaru HRW, BBC mewawancarai beberapa migran penyintas untuk mengungkap dugaan kejahatan kemanusiaan yang berada di balik kejayaan Kerajaan Arab Saudi.
Mustafa Soufia Mohammed (21 tahun) mengaku beberapa dari rombongannya yang berjumlah 45 orang tewas ditembak saat mereka mencoba menyelinap menyeberangi perbatasan pada Juli 2022.
"Penembakan terus terjadi. Saya bahkan tidak menyadari bahwa saya ditembak," ujar Mustafa. "Tetapi ketika saya mencoba untuk bangun dan berjalan, sebagian kaki saya tidak ada," sambung dia.
Penembakan itu mengakibatkan Mustafa kehilangan kakinya yang harus diamputasi. Kini, pria yang semula hendak mengadu nasib untuk menjadi tulang punggung keluarga justru pulang dengan tangan kosong dan kaki buntung ke Ethiopia.
ADVERTISEMENT
"Saya pergi ke Arab Saudi karena saya ingin memperbaiki kehidupan keluarga saya," ujar ayah dari dua anak ini. "Tetapi apa yang saya harapkan tidak terwujud. Sekarang orang tua saya melakukan segalanya untuk saya," sesal dia.
Bulan lalu, Mixed Migration Centre mempublikasikan laporan soal tuduhan lebih lanjut atas pembantaian di sepanjang perbatasan Arab Saudi-Yemen. Laporan itu juga diperoleh berdasarkan wawancara dengan para penyintas.
Laporan Mixed Migration Centre mendeskripsikan banyaknya mayat-mayat yang membusuk dan tersebar tanpa dikubur di penjuru area perbatasan.
Selain itu, dikatakan bahwa senapan mesin dan mortir juga dilibatkan untuk 'menumpas' para migran dalam jumlah banyak. Kekerasan ini seolah menjadi akhir dari perjalanan nekat tiga bulan para migran yang penuh dengan bahaya, kelaparan, serta kekerasan di tangan para penyelundup Yaman dan Ethiopia.
ADVERTISEMENT
Disangkal Arab Saudi
Menanggapi laporan HRW, Riyadh mengaku mencermatinya secara saksama. Namun, mereka menolak keras klaim IOM dan HRW yang menyebut bahwa pembunuhan itu dilakukan secara sistematis atau dalam skala besar.
"Berdasarkan informasi terbatas yang diberikan, pihak berwenang di dalam Kerajaan tidak menemukan informasi atau bukti yang dapat mengkonfirmasi atau mendukung tuduhan tersebut," kata pemerintah Arab Saudi.
Menurut seorang migran yang diwawancarai HRW, pemberontak Houthi yang berseteru dengan pemerintah Yaman sejak 2014 diduga telah bekerja sama dengan para penyelundup di Ethiopia.
Dikatakan bahwa terdapat sebuah pusat detensi di Monabbih yang terletak di dalam wilayah Yaman — di mana para migran ditahan sebelum diantar ke perbatasan oleh para penyelundup bersenjata.
ADVERTISEMENT