Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya
PDIP: Pileg di Pemilu Serentak Bagai Partai Pembuka Tinju
ADVERTISEMENT
Politikus senior PDIP, Effendi Simbolon, menilai banyak hal yang harus dievaluasi dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Salah satunya terkait pemilu legislatif yang terkesan dianaktirikan oleh pemilu presiden.
ADVERTISEMENT
"Salah satunya contoh yang konkrit saja. Dari awal kita riskan terjadinya waktu yang bersamaan (antara) pemilu eksekutif dengan legislatif," kata Effendi di Diskusi Polemik 'Silent Killer Pemilu Serentak' di d'Consulate Cafe, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).
Menurut Effendi, pemilu yang dilakukan berbarengan merupakan titik awal dari komplektivitas masalah di pemilu. Salah satunya membuat masyarakat tidak fokus dalam memilih. Padahal keberadaan eksekutif dan legislatif sama pentingnya dalam sistem pemerintahan.
"Jadi seolah-olah menu utamanya pilpres, tapi menu tambahannya pileg. Jadi pileg seolah partai tambahan kalau di tinju. Partai tambahan itu penontonnya 10 persen, baru partai utama baru membeludak itu," jelasnya.
"Ini suatu yang mudah didapati di mana sama pentingnya sebenarnya keberadaan keterpilihan anggota legislatif dengan presiden dan wakil Presiden. Sama. Tidak ada artinya presiden terpilih tapi tidak ada anggota DPR-nya. Saya kira itu juga tidak dihitung ya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, dalam hasil quick count yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, angka golput dalam pemilu legislatif dan pemilu eksekutif berbeda. Padahal pemungutan suara dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
"Golput pilpres lebih rendah dari pileg. Pilpres di angka 19,27 persen dan pileg 30,05 persen," kata peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, di Kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (18/4).