Pedoman Pemidanaan Koruptor Dinilai Bisa Awasi Hakim yang Main Kekuasaan

3 Agustus 2020 15:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dosen FH Universitas Tri Sakti, Abdul Fickar Hadjar diwawancarai usai Diskusi bertajuk ‘Rombongan Koruptor Mengajukan PK’ di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (13/3). Foto: Ajo Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dosen FH Universitas Tri Sakti, Abdul Fickar Hadjar diwawancarai usai Diskusi bertajuk ‘Rombongan Koruptor Mengajukan PK’ di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (13/3). Foto: Ajo Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dinilai dapat mengontrol hakim dalam memutus perkara. Sebab, hakim punya patokan yang jelas dan tak bisa bermain-main dalam bertugas.
ADVERTISEMENT
"Aturan ini juga akan membatasi dan mengawasi para hakim yang seringkali bermain-main dengan kekuasaannya. Apresiasi tinggi untuk Mahkamah Agung, meski pada penerapannya juga harus tetap dijaga prinsip 'indefendensi judiciary', kebebasan kekuasaan kehakiman yang mekekat pada profesi hakim," kata dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kepada wartawan, Senin (3/8).
Dalam Perma 1/2020 tersebut, diatur mengenai besaran putusan hakim yang bisa dijatuhkan kepada terdakwa berdasarkan tingkat kerugian negara, kesalahan, dampak, dan keuntungan yang didapat dari korupsi. Sehingga hakim dinilai memiliki pegangan dalam memutus.
Fickar mengatakan, sistem hukum pembuktian dalam perkara pidana dibangun atas dasar minimal 2 alat bukti yang menimbulkan keyakinan hakim. Dengan kebebasan hakim, kerap terjadi disparitas atau perbedaan hakim dalam melihat fakta hukum sehingga berpengaruh pada putusan.
ADVERTISEMENT
"Dengan kebebasannya seringkali terjadi disparitas (perbedaan) dikalangan para hakim dalam mengekspresikan 'keyakinan'nya dari sebuah fakta hukum," kata dia.
Suasana di Gedung MA saat Aksi 55 Foto: Iqra Ardini/kumparan
"Sebabnya, ya seringkali intervensi 'uang' dalam berbagai bentuknya menjadi faktor yang utama, sehingga tidak heran dari sebuah fakta peristiwa dan persoalan hukum yang sama lahir putusan yang berbeda-beda besarnya," sambungnya.
Fickar menilai, dalam konteks tersebut, Perma pedoman pemidanaan ini jadi sangat relevan dan signifikan keberadaannya. Bahkan ia mengapresiasi adanya hukuman penjara maksimal yakni seumur hidup yang bisa dijatuhkan hakim.
"Nah dalam konteks itulah Peraturan MA tentang pedoman pemidanaan menjadi sangat relevan dan signifikan. Penentuan jumlah kerugian negara Rp 100 miliar lebih dengan hukuman penjara seumur hidup adalah sebuah aturan yang responsif dan progresif," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Sementara terkait dengan hanya pasal 2 dan 3 di UU Tipikor saja yang diatur dalam perma tersebut, Fickar ikut menyoroti. Namun, menurut dia, meski tak diatur, Perma tersebut masih bisa jadi pedoman untuk diikuti dalam pasal lainnya.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
"Itu khusus yang kerugiannya keuangan negara atau perekonomian negara. Jadi jika tidak ada kerugian negaranya (suap, gratifikasi, pemerasan, menghalangi penyidikan dll) relatif tidak terikat pada perma itu, namun perma itu bisa menjadi pedoman untuk diikuti," kata Fickar.
"Demikan juga perma itu hanya berlaku yang subjek pelakunya orang, sedangkan yang dilakukan subjek pelakunya korporasi tidak terikat, tapi juga dalam menentukan hukuman denda terhadap korporasi perma itu bisa jadi pedoman," pungkasnya.