Pembatasan Demo di Yogya Dikritik, Sultan HB X Persilakan Gugat ke PTUN

21 Januari 2021 15:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Jalan Malioboro usai demo berujung ricuh di DPRD DIY, DI Yogyakarta, Jumat (9/10).. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Jalan Malioboro usai demo berujung ricuh di DPRD DIY, DI Yogyakarta, Jumat (9/10).. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) mengkritisi Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka yang dianggap tidak demokratis.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, dalam Pergub tersebut dijelaskan bahwa ada lima lokasi yang dilarang untuk demo. Kelima tempat itu masing-masing Istana Negara Gedung Agung, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Pakualaman, Kotagede, dan Malioboro. Unjuk rasa boleh dilakukan asal di luar radius 500 meter dari obyek vital nasional itu.
Terkait hal tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) menjelaskan Pergub itu sebagai tindak lanjut dari keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 Tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata.
Demonstrasi menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
"Saya harus menindaklanjuti surat menteri, ya kan. Jadi kalau saya tidak melakukan itu, saya tidak melaksanakan," kata Sri Sultan di Kepatihan Pemda DIY, Kamis (21/1).
Dia pun mempersilakan apabila ada yang akan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurutnya, langkah tersebut tepat dan menimbulkan keputusan yang berdasar.
ADVERTISEMENT
"Ya kalau saya, usul saya di TUN (PTUN) saja. Sehingga kepastian ada di pengadilan," ujarnya.
Ia menyebut akan bersalah jika tidak melaksanakan surat menteri. Namun ketika Pergub itu keluar, dirinya dianggap tidak demokratis.
"Kalau saya tidak melaksanakan (surat menteri itu) kan juga salah. Melaksanakan juga dianggap tidak demokratis. Sudah di TUN saja. Jadi keputusan itu keputusan pengadilan, apa pun keputusannya aku manut," ujarnya.
Petugas membersihkan Jalan Malioboro usai demo berujung ricuh di DPRD DIY, DI Yogyakarta, Jumat (9/10).. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
"Ning dasarnya itu ada. Nak saya terus nyabut (Pergub sepihak) nanti Menteri Pariwisatanya negur aku kok tidak melaksanakan, kleru meneh (salah lagi)," pungkasnya.
Sebelumnya, ARDY mengkritik Pergub tersebut. Dalam rilis yang disampaikan Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli dijelaskan bahwa Pergub ini membahayakan keberlanjutan demokrasi.
ADVERTISEMENT
"Dengan menggunakan kedok pariwisata, gubernur menutup diri dari kontrol publik. Kalau kita baca, pergub ini memakai keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 Tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata sebagai konsiderasinya," tulis rilis ARDY, Rabu (20/1).
Padahal dijelaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan diakui oleh UUD 1945. Kemudian esensi dsari Pasal 28E ayat 2 bahwa setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Lalu ayat 3 mengatakan, setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat.
Terkait Pergub tersebut ARDY mengajukan somasi dan mendesak:
1. Gubernur Provinsi DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mencabut dan membatalkan segera Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka dan menghentikan segala upaya pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi.
ADVERTISEMENT
2. DPRD Provinsi DIY, sebagai lembaga perwakilan rakyat, hendaklah pro aktif menjalankan fungsi pengawasan kepada eksekutif melalui mekanisme yang tersedia serta menekan gubernur untuk menyudahi praktik sepihak dan sewenang-wenang terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Jika hal itu juga tidak ditanggapi Pemda DIY, maka koalisi sipil itu juga akan mengajukan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan Pergub tersebut.
"Karena bertentangan dengan UUD 1945, UU Nomor 9 tahun 1998, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik," jelasnya.