Pemerintah Harus Perhatikan Dampak Lingkungan Jika Ibu Kota ke Kaltim

23 Agustus 2019 5:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tambang batu bara PT Tunas Inti Abadi (TIA) di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tambang batu bara PT Tunas Inti Abadi (TIA) di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah kemungkinan besar akan memindahkan ibu kota baru ke Kalimantan Timur, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, meski lokasi spesifik ibu kota baru belum ditentukan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Presiden Joko Widodo rupanya masih belum mengungkapkan keputusan final, walau Sofyan terlanjur 'keceplosan' terkait lokasi calon ibu kota baru yang disebutnya ke Kalimantan Timur.
Pengamat Tata Kota Nirwono Joga mengungkapkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur tentu membuat biaya pembangunan semakin mahal karena lokasinya jauh dari Jakarta, yang notabene ibu kota RI saat ini. Apalagi infrastruktur dan fasilitas kota baru akan dibangun tanah yang masih kosong.
"Membangun di tanah yang kosong pasti lebih mahal dibandingkan dengan meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kota yang sudah ada. Pemerintah memerlukan determinasi yang kuat dan konsisten dalam membangun kota," jelas Nirwono dalam keterangannya, Jumat (22/8).
Presiden Joko Widodo berjalan di kawasan hutan saat meninjau salah satu lokasi calon ibu kota negara di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan tugas pembangunan yang belum selesai di Jakarta dan sekitarnya. Sehingga, dinilai pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur belum menjadi sebuah urgensi.
ADVERTISEMENT
Ia juga mengingatkan Kalimantan Timur memiliki wilayah hutan tropis yang begitu luas dan berperan sebagai paru-paru dunia. Sehingga dibutuhkan pendekatan pembangunan yang berbasis alam.
Dari situlah, Nirwono mengatakan, pemerintah harus berani deforestasi, melakukan penanaman pohon kembali, hingga merestorasi ekosistem hutan bakau dan gambut.
Tak hanya soal hutan, Kalimantan Timur juga memiliki banyak wilayah pertambangan. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah menyebut Kalimantan Timur tengah mengalami gelombang pengrusakan lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan ini salah satunya diakibatkan oleh operasi pertambangan yang masif di Kaltim.
"Kaltim adalah provinsi yang paling banyak izin tambang. Lebih dari 1.404 izin usaha pertambangan mineral dan batu bara. Dan 48 wilayah operasi minyak bumi dan gas alam. Ini saja sudah menciptakan banyak masalah, mulai konflik, perampasan lahan, konflik masyarakat dengan perusahaan, pencemaran, pengrusakan hulu sungai dan lubang tambang," jelas Merah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga harus mengingat bahwa Kaltim juga mengalami krisis lingkungan hidup, seperti kebakaran hutan dan lahan, lalu pada tahun '70 pembalakan hutan yang cukup masif, hingga eksploitasi perkebunan kepala sawit pada periode 1990-2000an.
Kutai Kertanegara menjadi kabupaten yang paling banyak izin pertambangan dengan total lebih dari 800 izin. Termasuk juga Bukit Suharto, yang digadang-gadang menjadi calon ibu kota baru, juga memiliki izin pertambangan yang tak sedikit, yakni 44 izin.
Merah menyebut pihak-pihak yang paling diuntungkan jika ibu kota jadi ke Bukit Suharto adalah pemilik konsensi perusahaan tambang dan pengusaha tanah.
Presiden Jokowi tinjau lokasi alternatif ibu kota di Bukit Soeharto, Jalan Tol Balikpapan-Samarinda, Kutai Kartanegara, Kalimantan TImur. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman
"Bukit Suharto bukan ruang hampa. Walaupun bukan konservasi. Pengumuman rencana pemindahan ibu kota ke Kaltim, ke Bukit Suharto memang ditunggu oleh para penambang dan pemilik perusahaan tambang, dan penguasa tanah," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, proyek pemindahan ibu kota ini disebutnya sebagai rencana bisnis baru yang bisa merusak lingkungan di Kaltim. Termasuk bisa berdampak pada kebudayaan, dan belum dipublikasikannya analisis dampak lingkungan (AMDAL). Bahkan, ia melihat belum ada dampak positif dari pemindahan ibu kota ke Kaltim.
"Pemindahan ibu kota belum urgent, masih banyak yang harus diselesaikan. Bangun pemerataan katanya di luar jawa, tapi yang kami butuhkan pemerataan penegakan hukum, bukan pemindahan ibu kota," kata Merah yang juga warga Kaltim.
Merah juga menyayangkan sikap pemerintah yang tak mengajak masyarakat Kaltim berbicara terkait rencana pemindahan ibu kota ke wilayah mereka.
"Tidak ada mereka (pemerintah) berunding, tidak ditanya rakyatnya. Padahal yang terima dampak dari kebijakan besar ini masyarakat. Saya merasa yang diajak hanya elite saja, dalam hal ini gubernur. Gubernur tak mewakili suara masyarakat, karena tak ada upaya mendengar pendapat masyarakatnya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT