Peserta aksi Black Lives Matter di Bristol, Inggris.

Pemilu AS: Sejak Kapan Perempuan dan Warga Kulit Hitam Punya Hak Pilih?

3 November 2020 8:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peserta aksi Black Lives Matter. Foto: AP Photo via PA/Ben Birchall
zoom-in-whitePerbesar
Peserta aksi Black Lives Matter. Foto: AP Photo via PA/Ben Birchall
ADVERTISEMENT
Pemilu AS 3 November hanya akan diisi oleh pemilih kulit putih jika tak ada perlawanan selama ratusan tahun. Diskriminasi politik yang sudah mengakar sejak dulu membutuhkan sejarah panjang agar perempuan dan warga kulit hitam bisa setara dengan laki-laki dan kulit putih.
ADVERTISEMENT
Hak perempuan yang dicetuskan filsuf Inggris, Mary Wollstonecraft, pada abad ke-18 telah memantik feminisme gelombang pertama dunia, tak terkecuali di Amerika. Dalam fase ini, perempuan fokus menghilangkan kesenjangan politik, salah satunya hak pilih dalam Pemilu.
Perempuan Amerika mulai menentang budaya yang dianut Ratu Inggris Raya, Queen Victoria, yang menjadi patokan mereka--mayoritas penduduk Amerika adalah imigran Inggris. Saat itu, Ratu Victoria mengharuskan perempuan menjaga kodratnya yang hanya boleh memasak, mengabdi kepada laki-laki, bersih-bersih, dan membesarkan anak.
Ratu Victoria dari Inggris Foto: Wikimedia Commons
Gerakan pertama dimulai dari aktivis perempuan anti-perbudakan, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton. Keduanya bertemu saat menghadiri Konvensi Anti-perbudakan Dunia 1840 di London, Inggris.
Saat itu, Mott dan Stanton dilarang masuk karena mereka perempuan. Berbagai diskriminasi lainnya juga mereka rasakan selama hidup di Inggris dan Amerika.
ADVERTISEMENT
Delapan tahun setelahnya, Mott dan Stanton berhasil mengajak 200 perempuan untuk menggelar konvensi di Kapel Wesleyan, Seneca Falls, New York.
“Ini adalah Konvensi untuk membahas kondisi sosial, sipil, agama serta hak-hak perempuan yang akan digelar di Kapel Wesleyan, Seneca Falls, pada Rabu dan Kamis, 19 dan 20 Juli, tahun 1848, pukul 10 pagi," tulis surat undangan itu, dikutip dari History.
"Pada hari pertama, pertemuan hanya boleh dihadiri oleh perempuan yang memang diundang untuk hadir. Pertemuan akan dibuka untuk umum pada hari kedua dan baru akan membahas Konvensi,” sambung surat itu.
Kapel Wesleyan di Seneca Falls NY. Foto: Moelyn Photos/Getty Images
Usai acara digelar, sebagian besar delegasi Konvensi Seneca Falls sepakat: perempuan Amerika adalah individu otonom yang pantas mendapatkan identitas politik mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
“Bahwa semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut, di antaranya adalah kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan," tulis tuntutan Konvensi Seneca Falls.
Tahun 1869, sebuah kelompok baru bernama National Woman Suffrage Association didirikan oleh Stanton dan Susan B. Anthony. Mereka mulai memperjuangkan amandemen hak pilih universal atas Konstitusi AS.
Baru pada tahun 1910, beberapa negara bagian di wilayah barat AS mulai memberikan suara kepada perempuan untuk pertama kalinya dalam hampir 20 tahun. Adapun Idaho dan Utah telah memberi perempuan hak untuk memilih pada akhir abad ke-19.
Sayangnya, Perang Dunia I sempat memperlambat kampanye para hak pilih. Hak pilih perempuan sepenuhnya baru bisa tercapai pada 18 Agustus 1920, ketika Amandemen ke-19 Konstitusi diratifikasi.
Para wanita memukul panci dan wajan saat menggelar unjuk rasa terkait pemogokan feminis nasional dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional. Foto: Reuters/Susana Vera
Tanggal 2 November 1920, lebih dari 8 juta wanita di seluruh AS akhirnya memberikan suara dalam pemilihan untuk pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama, semua jenis kelompok reformasi berkembang di seluruh AS — gerakan keagamaan, reformasi moral, organisasi anti-perbudakan — dan banyak petinggi di antaranya adalah perempuan.
Bagaimana dengan warga kulit hitam?
Setelah Perang Sipil berakhir, AS berada di wilayah yang belum dipetakan. Sekitar 4 juta pria, perempuan, dan anak-anak kulit hitam yang diperbudak telah dibebaskan, menandai emansipasi yang akan diresmikan dengan berlakunya Amandemen ke-13 Konstitusi.
Bagi warga kulit hitam AS, mendapatkan hak penuh kewarganegaraan — terutama hak untuk memilih — adalah hal penting untuk mengamankan kebebasan dan penentuan nasib sendiri.
Penghapusan perbudakan bukan berarti warga kulit hitam memiliki hak pilih. Para pemilih kulit hitam secara sistematis ditolak dari tempat pemungutan suara di seluruh negara bagian.
Warga berdemonstrasi di luar Pusat Pemerintahan Kabupaten Hennepin memprotes kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam tak bersenjata di Minneapolis. Foto: Reuters/ERIC MILLER
"Perbudakan tidak dihapuskan sampai orang kulit hitam mendapatkan suara," kata aktivis anti-perbudakan, Frederick Douglass, pada Mei 1865, dilansir History.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, Kongres mengeluarkan Amandemen ke-15 pada tahun 1870. Berikut kutipannya yang dilansir Library of Congress:
Hak warga negara AS untuk memilih tidak boleh ditolak oleh AS atau oleh negara bagian mana pun karena ras, warna kulit, atau kondisi penghambaan sebelumnya.
Munculnya Amandemen ke-15 tak membuat negara bagian patuh. Mayoritas negara bagian terus mencegah orang kulit hitam untuk memilih.
Mereka menerapkan persyaratan sulit; mematok pajak pemungutan suara, tes melek huruf sebagai syarat memilih, penipuan, intimidasi, dan sejumlah poin yang membuat warga kulit hitam menjauh dari pemungutan suara.
Demonstran Black Lives Matter dan petugas NYPD melakukan konfrontasi di dekat City Hall Park, New York, Rabu (15/7). Foto: Yuki Iwamura/AP Photo
Banyak juga negara bagian yang menggunakan "klausa kakek". Klausul tersebut mengharuskan warga kulit hitam tidak dapat memilih kecuali kakeknya--atau generasi sebelumnya telah memilih.
ADVERTISEMENT
Perlakuan diskriminasi terus diperdebatkan di jalan, Kongres dan di media. Lima puluh tahun penuh setelah Amandemen ke-15, orang kulit hitam Amerika masih merasa sulit untuk memilih, terutama di Selatan.
"Tahukah Anda, saya tidak pernah memberikan suara dalam hidup saya, tidak pernah dapat menggunakan hak saya sebagai warga negara karena pajak pemungutan suara. Saya tidak dapat membayar pajak pemungutan suara, tidak bisa bersuara di negra saya sendiri," ujar warga kulit hitam di Georgia, tahun 1930.
Diskriminasi ini terus berjalan sampai beberapa dekade, setidaknya sampai puncak unjuk rasa pada tahun 1963. Banyak orang Amerika yang memberontak dan vokal ditangkap bahkan meninggal dunia karena memperjuangkan kesetaraan suara.
Warga kulit hitam dan kulit putih diikat dengan rantai saat protes di depan Balai Kota New York, Amerika Serikat. Foto: AFP
Titik balik terjadi pada tahun 1963 dan 1964. Ketika itu, aktivis Martin Luther King Jr. memimpin ratusan orang kulit hitam ke gedung pengadilan di Selma, Alabama, untuk menggugat. Ketika mereka ditolak, King mengatur dan memimpin protes yang akhirnya mengubah gelombang opini politik Amerika.
ADVERTISEMENT
Tahun 1964, Amandemen ke-24 akhirnya melarang penggunaan pajak pemungutan suara bagi warga kulit hitam. Meskipun Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964 melarang segregasi di sekolah dan tempat umum, hal itu tidak banyak membantu masalah diskriminasi dalam hak suara.
Di tahun itu, Presiden Lyndon Johnson akhirnya menandatangani Undang-undang Hak Sipil, melarang tes melek huruf dan metode lain yang digunakan untuk mencabut hak pilih kulit hitam. Presiden Johnson merayakan kemenangan antidiskriminasi ini bersama Martin Luther King, setelah menandatangani RUU Hak Suara menjadi Undang-undang pada 6 Agustus 1965.
Martin Luther King saat berada di Monumen Washington dengan para pendukung gerakan hak sipil "March on Washington". King mengatakan pawai itu adalah "demonstrasi kebebasan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat." Foto: AFP
Undang-Undang Hak Suara memerintahkan Jaksa Agung untuk menegakkan hak pilih bagi orang Afrika-Amerika. UU ini menciptakan perubahan signifikan dalam status warga kulit hitam di seluruh Selatan.
ADVERTISEMENT
Tahun 1966, Mahkamah Agung AS juga memutuskan bahwa pajak pemungutan suara inkonstitusional untuk pemilihan negara bagian dan lokal.
Sebelumnya, hanya sekitar 23% orang kulit hitam usia pemilih yang terdaftar secara nasional. Tetapi pada tahun 1969, jumlahnya telah melonjak menjadi 61%.
Tahun 2012, jumlah pemilih kulit hitam melebihi pemilih kulit putih untuk pertama kalinya dalam sejarah. Sebab, 66,6 persen pemilih kulit hitam ternyata menggunakan haknya untuk memilih Barack Obama, presiden Afrika-Amerika pertama di AS.
Infografik Perjalanan Hidup Donald Trump. Foto: kumparan
Infografik Perjalanan Hidup Joe Biden. Foto: kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten