Pemimpin Kudeta Myanmar Tangguhkan UU yang Batasi Penahanan dan Penggeledahan

14 Februari 2021 4:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Panglima Tertinggi militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
 Foto: Thet Aung / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Panglima Tertinggi militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Foto: Thet Aung / AFP
ADVERTISEMENT
Pemerintahan kudeta Myanmar menangguhkan UU yang membatasi pasukan keamanan menahan seseorang atau menggeledah properti pribadi.
ADVERTISEMENT
Keputusan tersebut diteken pemimpin kudeta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, pada Sabtu (13/2) waktu setempat.
Dikutip dari Reuters, Jenderal Min Aung menangguhkan 3 bagian dari UU yang melindungi privasi dan keamanan warga negara. UU tersebut dibuat di era kepemimpinan sipil.
Adapun 3 bagian yang ditangguhkan yakni syarat perintah pengadilan untuk menahan seseorang lebih dari 24 jam, batas pasukan keamanan memasuki properti pribadi untuk menggeledah atau menangkap, dan larangan mata-mata mengakses komunikasi warga. Keputusan tersebut tidak memberikan batas penangguhan UU.
Keputusan terbaru diambil junta militer Myanmar di tengah aksi demonstrasi menentang kudeta yang terus terjadi.
Para pengunjuk rasa saat protes menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, Sabtu (13/2). Foto: Stringer/REUTERS
Militer Myanmar pun mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap 7 tokoh atas komentar mereka di media sosial yang mengkritik kudeta.
ADVERTISEMENT
Dalam surat perintah itu, warga Myanmar diminta menginformasikan ke polisi apabila melihat mereka. Militer tak segan menghukum warga yang justru melindungi 7 tokoh tersebut.
Dari 7 daftar orang yang dicari, terdapat nama Min Ko Naing (58) yang sebelumnya pernah dipenjara pada 1988-2012. Selama kudeta berlangsung, Min Ko Naing merupakan sosok sentral yang memimpin aksi protes dan pembangkangan sipil.
Para pengunjuk rasa saat protes menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, Sabtu (13/2). Foto: Stringer/REUTERS