Analisis Peneliti soal Belum Ditemukan Varian Baru Corona Inggris di Indonesia

20 Januari 2021 11:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi virus corona. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi virus corona. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Varian corona baru di Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan menyita perhatian dunia, khususnya para peneliti. Mutasi yang pertama kali ditemukan di 3 negara ini disebut lebih menular, bahkan dari mutasi sebelumnya yakni D614G.
ADVERTISEMENT
"Di dunia itu hanya 15.000 perubahan atau mutasi SARS-CoV-2. Dari 15.000 yang membuat masalah kan saat ini dimiliki oleh Inggris, Brasil sama Afrika Selatan. Karena varian saat ini itu macam-macam mutasinya, jadi dalam 1 tubuh virus itu banyak banget perubahan-perubahannya dari sebelumnya jadi kita menyebutnya mutasi majemuk," kata ahli genomika molekuler Riza Putranto melalui sambungan telepon, Rabu (20/1).
Riza adalah doktor dari Universite des Sciences et Techniques du Languedoc (Montpellier II), Prancis. Dia juga menjadi relawan untuk menganalisis genom SARS-CoV-2 pada Crowfight COVID-19 International.
Lebih lanjut Riza menjelaskan, saat ini di Indonesia memang belum ditemukan ketiga varian baru SARS-CoV-2 itu. Ia pun membeberkan analisisnya, apakah hal ini karena memang belum ditemukan atau karena kita belum mampu mendeteksinya.
ADVERTISEMENT
"Kalau profesional saya yang kedua (belum mampu mendeteksinya). Atau sebenarnya kita mampu tapi butuh penguatan tools. Jadi bayangkan, misalnya mau ngambil udang yang digunakan itu jalanya gede dapatnya cuma sedikit, kan. Karena ini masalahnya saya tidak ingin menyalahkan siapa pun, memang kondisi kita dengan banyaknya keterbatasan juga fokus ketika awal pandemi itu memang agak terlupa," urai Riza.
Katanya, Indonesia kini baru bisa melakukan whole genome sequencing sebanyak 221 per 18 Januari malam. Padahal, seharusnya sesuai rumus yang berlaku, seharusnya kita sudah meneliti lebih dari 600 genome.
"Jadi dasar dari genetika dan populasi kalau kita mau ngambil sample populasi mewakili dari populasi itu lebih besar sama dengan 0,05% dari total kasusnya. Misal kasusnya 930 ribu, kita harusnya sudah meneliti 645 genome," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Jadi masih jauh dari standar," imbuh dia.
Riza menjelaskan, di Indonesia kurang memperhatikan persoalan whole genome sequencing ini. Sebab, memang fungsinya tidak terlalu terlihat di kondisi normal atau kalau tidak ada pandemi.
"Tidak ada yang bikin berita yang seperti itu ramai karena penting banget ternyata. Dan Afrika Selatan membangun ini 10 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu utang ke WHO. Pokoknya bikin lab sebesar itu, semua alat digabungkan," urai Riza.
Terkait persoalan ini, Konsorsium Surveilans Genomika telah dibentuk oleh Kemenkes dan Kemenristek-BRIN. Berbagai pihak terkait telah memberikan masukan.
“Penting sekali saat ini untuk berkolaborasi. Semua harus dilakukan bersama-sama dan memanfaatkan sumber daya yang ada. Jangan sampai kita melewatkan mutasi endemik virus SARS-CoV-2 khas Indonesia yang sebenarnya ada namun tidak kita deteksi,” ungkap Riza.
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro (kiri) di Kompleks Parlemen, Selasa (26/11). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Jadi, sebenarnya belum munculnya varian baru dari Inggris itu tetap harus diwaspadai. Apalagi ia diklaim lebih menular hingga 17 kali dari SARS-CoV-2 yang ditemukan pertama di Wuhan, China.
ADVERTISEMENT
"Kalau mau normal ini itu kita harus clamping minimal 28 sequence. 28-30 kalau mau ngikutin laju kasusnya, cepat banget sekarang di Indonesia," tutur Riza.
"Ini minimal sequencing minimal 28/30 sequence tapi itu pasti akan sulit juga untuk dilakukan," tutup dia.
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters