Peneliti UGM: Penonaktifan 75 Pegawai KPK Cacat Hukum

13 Mei 2021 14:50 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Kamis (16/5). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Kamis (16/5). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Peneliti Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai Surat Keputusan (SK) Ketua KPK Firli Bahuri untuk menonaktifkan 75 pegawainya cacat hukum dan berpeluang besar dipersoalkan. Menurut dia, ada niat menyingkirkan pegawai yang berintegritas di KPK baru.
ADVERTISEMENT
"Menurut saya SK ini cacat hukum karena pembebastugasan pegawai didasarkan bukan karena pelanggaran kode etik atau pidana, tapi karena tidak lolos TWK (Tes Wawancara Kebangsaan)," kata Zaenur kepada kumparan, Kamis (13/5).
Apalagi, kata Zaenur, hingga saat ini belum ada keputusan pemberhentian kerja sebagai pegawai KPK. Sehingga status 75 orang tersebut masih pegawai KPK.
"Mereka ini masih jadi pegawai KPK, tapi mereka sudah dibebas-tugaskan. Jadi menurut saya itu cacat hukum," tegasnya.
Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) memberikan keterangan pers mengenai hasil penilaian TWK pegawai KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/5). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Zaenur juga menganggap alasan KPK menonaktifkan pegawai yang tak lolos TWK juga mengada-ada karena hasil tes tersebut tidak berhubungan dengan proses penyidikan. Apalagi, terlepas dari hasil TWK tersebut, para penyidik memegang SK yang menjadi keputusan dalam jabatan sebagai penyidik.
"Sehingga tidak ada alasan apa pun yang perlu dikhawatirkan karena keabsahan mereka dalam menangani sebuah perkara itu dipersoalkan pihak lain," lanjut Zaenur.
ADVERTISEMENT
"Para penyidik masih berstatus sebagai penyidik, sah untuk melakukan tugas jabatan, melakukan penyidikan, dan melakukan upaya-upaya penyidikan yang dilakukan KPK. Jadi menurut saya alasan tersebut tetap tidak berdasar," tutur dia.
Di sisi lain, menurutnya, UU No.19 Tahun 2019 tidak dibuat untuk menyeleksi ulang pegawai KPK, melainkan mengalihkan status pegawai KPK menjadi ASN. Sehingga seharusnya yang dilakukan bukan seleksi ulang atau pengadaan pegawai.
"Karena para pegawai KPK dulu saat masuk sudah melalui tahapan seleksi, sudah melalui pendidikan, dan mengabdi sekian lama di KPK," tutup Zaenur.
****
Saksikan video menarik di bawah ini: